Miracle : Jadi Bahan Gunjingan

72 5 0
                                    

Miracle sampai di kampus. Ia melihat sekeliling dan mendadak gugup setengah mati. Bagaimana tidak, banyak sekali orang di sana. Ya memang sih pasti banyak orang, namanya juga kampus. Tapi kalau begini, dia merasa seolah-olah banyak pasang mata yang memperhatikannya. Ia menunduk memperhatikan penampilannya. Dia jadi merasa minder. Penampilannya amat jauh berbeda dengan gadis kota pada umumnya. Harusnya Miracle sadar bahwa ia sekarang bukan anak SMA lagi yang memakai baju seragam. Apalagi kan ini kampus elit. Yang ngampus disini adalah jajaran orang-orang terpandang, seperti kakaknya yang memang sejak berumur 15 tahun sudah menjadi seorang model. Sedangkan dirinya? Mendapatkan beasiswa karena prestasinya yang gemilang saja ia sudah sujud syukur. Tapi soal bergaya? Jujur ia lebih terlihat seperti seorang gadis kampung.

Ia mencoba memberanikan diri. Ia memeluk erat buku di depan dadanya dan berjalan dengan menunduk. Bahkan dagunya saja sampai bersentuhan dengan dadanya saking tertunduk dalam.

Di tiap langkahnya, ia mulai mendengar bisik-bisik tentang dirinya. Dan yang paling membuat dia terkejut adalah bisikan dari salah satu geng wanita memakai pakaian serba ketat

"Itu bukannya Miranda? Kok gayanya jadi kampungan gitu sih?"

"Tau tuh. Biasanya juga tampil glamour"

"Udah gak laku jadi model kali tuh"

Kumpulan wanita itu pun tertawa mengejek. Oh tidak! Mengapa dia tidak sadar bahwa dia punya kembaran yang amat mirip dengan dirinya. Dan lagi, Miranda kan model terkenal. Mereka pasti menyangka bahwa Miracle adalah Miranda. Padahal kan mereka serupa tapi tak sama.

Bisa dipastikan nanti kakaknya itu akan di pergunjingkan oleh orang-orang kampus dan akhirnya ia yang akan kena lagi. Publik mana tahu seorang Miranda Anastasya mempunyai kembaran.

Ia terus melafalkan dalam hatinya bahwa ia harus mencoba untuk tak peduli. Keringat dingin sudah mulai bercucuran, tubuhnya pun sedikit gemetaran. Mengapa dirinya harus se introvert ini sih?! Kalau saja Nindy sekampus dengannya, ia tidak akan se gelisah ini. Jujur dari semenjak sekolah dasar sampai sekarang, ia tidak pernah mempunyai teman satupun. Itu karena dirinya yang sangat introvert. Susah sekali untuk diajak berbicara. Itupun dapat teman seperti Nindy, tidak terlalu dekat. Nindy hanyalah teman kelas yang sangat bar-bar dan cerewet. Orangnya humoris dan hanya Nindy yang mampu membuat Miracle jadi bisa diajak mengobrol walaupun hanya dengan dirinya saja.

Nindy juga yang membantu Miracle saat Miracle kesulitan. Percaya atau tidak, saat sekolah Miracle tak pernah datang ke kantin. Karena meskipun lapar, ia tak punya uang. Bukan karena masalah uang juga, tapi dia terlalu takut akan keramaian.
Jelas saja insiden 12 tahun lalu yang membuatnya jadi seperti ini. Ditambah dirinya yang terus-menerus merasa bersalah, juga keluarganya yang tidak memperlakukannya dengan baik.

Nindy yang selalu mengajak Miracle ke kantin untuk mengisi perut. Jelas saja Nindy yang akan membayarnya. Katanya itu sebagai ucapan terimakasih karena selalu membantunya menyelesaikan tugas sekolah.

Namun sekarang Ia harus bagaimana?

Ia bergelut dengan batinnya sendiri sampai tak sadar bahwa orang-orang sudah mulai mengerubutinya layaknya sebuah tontonan gratis

"Ini beneran si model sombong itu? Gak salah?"

"Masa iya sih jadi kampungan gini. Jadi jijik gue liatnya"

"Halah di majalah, TV, sama medsos aja gayanya kayak orang kaya. Ini nyatanya udik"

"Liat aja tuh pake bajunya juga nggak branded lagi. Beli dimana, Mbak? Di pasar loak ya? Hahaha"

Berbagai cercaan dan makian terlontar dari mulut-mulut kurang ajar itu. Miracle tidak suka keramaian. Ia akan semakin gugup kalau begini, tanpa sadar air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya. Tapi seperti biasanya, ia akan menahannya mati-matian agar air mata sialan itu tidak tumpah.
Ia semakin mengeratkan pelukannya pada bukunya bahkan jari-jarinya Sampai memutih.

***

Miranda yang baru datang dengan mobil mewahnya, tak lupa dengan penampilan yang elegan keluar dari dalam mobilnya tak lupa kacamata hitam bertengger di hidungnya.
Kemana orang-orang kampus? Model terkenal datang bukannya di sambut. Ini malah pada gak ada, tidak seperti biasanya. Karena biasanya kan, dia itu keluar dari mobil langsung dikerubuti orang-orang terutama kaum Adam yang selalu mendambakan dirinya.

Ia berjalan dengan anggunnya dan barulah ia tahu apa penyebab tidak ada yang mendatanginya tadi. Ia melihat kerumunan di depan sana. Ada apa sebenarnya. Makin dekat makin terdengar tawa dan hinaan yang membawa-bawa namanya.
Ia makin mempercepat langkahnya dengan wajah yang sudah memerah menahan marah. Pasti gadis terkutuk itu!

Ia menerobos kerumunan dan benar saja, ada Miracle disana. Saat melihat bahwa Miranda yang asli di depan mata, barulah cercaan itu terhenti dan berubah menjadi gumaman tak jelas.

"Lha itu Miranda. Terus ini siapa?"

Miranda mencoba tersenyum semanis mungkin menanggapi pertanyaan itu. Ia tidak mau di cap buruk. Biarlah marahnya pada Miracle ia tahan setidaknya untuk nanti di rumah.

"Ini adik saya. Lebih tepatnya kembaran saya, namanya Miracle..."
Katanya sambil menggenggam tangan halus nan dingin Miracle. Bisa dipastikan setelah ini ia akan mencuci tangannya dengan sabun mahal yang dibelikan oleh Ibunya setidaknya 7 kali bilasan.

"... Ya kan, Racle?"
Miranda mengeratkan genggamannya pada Miracle sambil menancapkan kuku tajamnya pada tangan Miracle.

"I... Iya" Miracle menggigit bibir bawahnya, rasanya sakit sekali.

"Tapi kok beda jauh dengan penampilan kamu?"

"Memang dia ini gayanya kampungan sekali. Saya sudah beberapa kali membelikan dia pakaian dan barang-barang mewah tapi dia tidak mau pakai, jadi ya mau bagaimana lagi"

Barang mewah katanya. Baju bekasnya saja ia tidak pernah Sudi memberikannya pada Miracle. Ia lebih sudi membakar pakaiannya di tong sampah daripada harus diberikan pada Miracle.

Miracle semakin keras menggigit bibirnya karena kuku tajam Miranda serasa menancap sampai ke dagingnya. Cengkraman pada tangannya baru terlepas saat orang-orang mulai mengerubuti kakaknya, bahkan ia sampai tersenggol beberapa kali seolah mengisyaratkan bahwa ia harus pergi dari sana agar tak menghalangi mereka mendekati Miranda.

Miracle bergegas pergi dari sana sambil memegangi tangan kanannya yang serasa perih. Benar saja, darah mengalir dari sana. Bekas kukunya menganga lebar. Ia meringis melihat itu. Wajahnya pucat pasi melihat darah yang keluar begitu banyak. Ia jadi teringat dulu saat Ayahnya meninggal berlumuran darah. Sangat ngilu mengingat hal itu.

Hug Me, Please My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang