Petang itu Diarty akhirnya membawa Beno pulang ke rumah. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya apalagi pria itu belum pernah sekalipun pergi ke kampung seperti dirinya.
Pada awalnya, Diarty hendak meninggalkan pria itu di stasiun. Dengan begitu, Beno akan balik lagi ke kota dan mengurungkan niatnya buat mencari Diarty. Namun dugaan Diarty ternyata salah, Mas Beno malah tetep kukuh dan terus nungguin dia hingga dua jam berikutnya.
Di dalam sebuah taksi yang mereka tumpangi, Mas Beno memeluk tubuh Diarty dengan erat. Pria itu tanpa malu memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu gadis pujaannya.
Sang supir taksi sesekali melirik mereka dari kaca depan. Melihat hal tersebut, Diarty merasa sangat canggung dengan perbuatan Mas Beno.
"Ehm, Mas, bisa gak duduknya biasa aja? Aku gak enak dilirikin terus sama pak supir," bisik Diarty pelan pada Beno yang masih menggelayut manja di tubuhnya.
"Gak, aku nyamannya kek gini. Siapa suruh kamu bikin aku nunggu sampai dua jam lamanya. Kamu tau nggak, perbuatan kamu itu kelewat jahat." Mas Beno gak mau ngalah, ia bahkan semakin mempererat pelukannya di tubuh Diarty.
Menghela napas, Diarty merasakan ada aura balas dendam yang coba Beno tunjukkan padanya. Tak ingin bertengkar, akhirnya Diarty lebih milih ngalah.
Tak ada percakapan dari keduanya, posisi masih saja tetap sama, membuat sang supir yang melirik mereka mengernyitkan dahi karena tak paham.
"Di, kamu kok nggak ngomong, kamu kesel ya ma aku?" tanya Beno sembari mengangkat wajah. Ia mengamati wajah Diarty cukup lama membuat gadis itu memerah tak karuan.
"Nggak, buat apa aku kesel."
"Kok tiba-tiba diem? Aku gak suka ya kalo kamu boong lagi sama aku," rajuk Beno dengan serius. Pria berjaket jeans itu kini meraih tangan Diarty lalu menggenggamnya erat.
"Beneran, aku nggak papa kok." Diarty menjawab seraya membuang pandangan keluar jendela taksi.
Beno menghela napas, ia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Diarty sambil menggenggam erat jemari gadis itu.
"Terakhir kali kamu bilang ke aku bahwa kamu nggak kenapa-napa, kamu baik-baik aja tapi nyatanya ..., kamu boong. Di, kenapa sih kamu demen banget boongin aku? Kita udah sama-sama gedhe, aku gak sama kayak empat tahun yang lalu. Jangan suka main petak umpet apalagi soal perasaan," tukas Beno dengan lirih.
Wajah Diarty memerah mendengar sindiran halus tersebut. Ia memilih bungkam dan tak menjawab apapun.
"Dulu kamu pergi karena ibuk dan sekarang kamu nyoba buat pergi lagi dari aku. Di, semua ini apa ada kaitannya dengan ibuk?" tanya Beno lalu menegakkan tubuhnya. Pria itu duduk dengan tegap, siap mendengarkan jawaban dari bibir kekasihnya.
Diarty pura-pura tak mendengar, ia terus memalingkan wajah keluar jendela hingga akhirnya jemari Beno terangkat dan menarik dagu Diarty perlahan. "Di, jangan menghindar lagi. Jujurlah padaku apa yang kamu rasain selama ini."
Mereka bertatapan cukup lama. Diarty mengerti arti bahasa mata yang Beno coba tunjukkan padanya. Pada mulanya Diarty tak ingin jujur tapi melihat sorot mata penuh ketulusan itu maka ia tak kuasa untuk menolaknya lebih jauh.
Diarty mengangguk lalu perlahan tertunduk. "Ya, sore itu ibuk Mas Beno datang ke rumah. Kali ini ucapannya benar Mas. Mas Beno jangan karena aku, Mas lebih milih ngehancurin masa depan sendiri. Mas udah capek-capek kuliah buat jadi arsitek tapi malah Mas lebih milih jadi bos kedai toko kopi di tempat aku kerja. Mas, jangan karena aku, Mas jadi kayak gitu. Aku ...,"
"Emangnya aku keliatan terpaksa ya ninggalin profesi aku lalu jadi bos kedai kopi di tempat kamu kerja? Kayaknya kamu nggak ngerti. Jangankan ibuk, kamu pun nggak ngerti apa itu ketulusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DILAMAR MAS MANTAN
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK E-BOOK DAN FISIK. Apa jadinya kalo sudah lama putus tapi masih dikejar-kejar sama Mas Mantan? Dikejar-kejar buat dinikahin lagi?! Seperti itulah yang dirasakan oleh Diarty saat ini. Bisakah Diarty menepis peso...