****
Malam itu sudah terlalu larut bagi Beno untuk keluar dari kamarnya. Mencoba menarik selimut, Beno memejamkan mata erat-erat. Namun semakin lama ia memaksakan, ia cenderung merasa tergelitik dan ingin terjaga semakin lama.
"Aku gak bisa tidur," gumam Beno mengeluh seraya menyibak selimut yang baru saja menelannya bulat-bulat di atas kasur.
Mengedipkan mata berkali-kali, bola mata hitam milik Beno berputar menatap jarum jam yang mengeluarkan bunyi di dinding kamar.
"Setengah dua belas malem, haruskah aku menggedor pintu kamarnya hanya untuk tanya siapa Damia?" gumam Beno lagi seraya menelengkan kepala.
Untuk sesaat perasaan Beno dibuat gundah dan ia tidak bisa hanya diam aja bak patung pancoran yang menunggu dirobohkan.
"Siapa Damia? Kenapa Diarty gak pernah bilang soal statusnya?" gumam Beno lagi lalu diiringi dengan gigitan kecil di bibir bawahnya.
Beno menghela napas, ia merasa bahwa ia gak bisa menahan perasaan anehnya dalam jangka waktu yang lama. Perlahan ia meraih ponselnya yang berhasil ia isi dengan bantuan charger milik Diarty.
Setelah mempertimbangkannya cukup lama akhirnya Beno dengan nekat menelpon Diarty tanpa peduli apakah dia mengganggu atau tidak.
Cukup lama panggilannya tak tersambung, membuat kesabaran Beno nyaris meledak malam itu. Andai aja ini di rumah Beno, mungkin aja pria berambut pendek itu sudah membanting ponselnya ke dinding atau berteriak gila.
Karena panggilannya tak terjawab, Beno segera beranjak dari tempat tidurnya dengan perasaan semakin resah. Ia mondar-mandir seperti juragan pengepul yang sok-sokan sibuk.
"Kenapa gak diangkat sih, Di? Kamu sengaja ya?" bisik Beno berbicara dengan ponselnya.
Kembali menarik napas panjang, Beno meletakkan ponselnya dengan setengah membanting. Bola matanya kembali tertuju ke arah dinding, sepertinya ia nggak bisa nunggu lebih lama lagi.
Bergegas keluar dari kamar, Beno menuju ke kamar Diarty yang terletak hanya beberapa meter dari kamarnya.
Kondisi seluruh ruangan terlihat begitu temaram, pencahayaan yang teduh memungkinkan seluruh anggota keluarga tidur dalam tenang.
Malam itu suara jangkrik di sekitar rumah berbunyi begitu dominan. Setelah menunggu cukup lama, Beno memberanikam diri untuk mengetuk pintu kamar Diarty.
Nekat emang tapi bagi Beno yang notabene adalah warga kota, bodo amat.
Kali ini tak ada jawaban membuat perasaan tak nyaman Beno makin meluap. Sekilas Beno justru membayangkan bagaimana ia berusaha mendobrak pintu itu gegara Diarty yang pasif dan pura-pura gak denger.
Menggelengkan kepala, Beno mencoba menghapus pikiran buruknya yang terlalu dalam. Mana mungkin ia memasuki kamar gadis macam penyamun kurang cinta. Tunggu! Gadis? Ya, kali kalo Diarty masih gadis coba kalau dia janda? Mungkinkah Beno bakal bernasib seperti perjaka yang dapet durian runtuh, beli satu dapet dua.
Mengulur kesabaran bukanlah ahli Beno. Ketika ketukan yang ketiga, dengan rasa tak sabar Beno mengeluarkan suaranya setengah berbisik. "Di, kamu keluar dong. Badanku demam, mungkin kamu bisa bantu?"
Duh, berbohong? Beno tak punya cara lain selain itu. Memancing ikan di malam hari memanglah sulit, salah-salah kait malah nyantol di kaki sendiri malah.
Tak ada jawaban, membuat emosi Beno benar-benar di ujung ubun-ubun. Ketika ia hendak merangsek masuk atau justru mendobrak pintu dengan kekuatan kakinya, pintu itu berderit dan terbuka.
"Mas Beno, ada apa?" tanya Diarty pelan seraya mengucek matanya yang terasa begitu perih.
Untuk sesaat Beno melongo. Jadi begini, dia sudah tertidur dan mendayung sampan mimpi sedangkan Beno bagai orang gila hanya karena teka-teki yang Diarty berikan tadi sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILAMAR MAS MANTAN
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK E-BOOK DAN FISIK. Apa jadinya kalo sudah lama putus tapi masih dikejar-kejar sama Mas Mantan? Dikejar-kejar buat dinikahin lagi?! Seperti itulah yang dirasakan oleh Diarty saat ini. Bisakah Diarty menepis peso...