Part 8 : Definisi Cinta

3 1 0
                                    


Langit hari itu sepertinya memang sengaja meruah air. Menjelang magrib hujan reda beberapa saat. Namun itu tak berlangsung lama. Hujan, kini dengan derasnya turun menghujam. Hawa dingin menelusup.

 Walau begitu, suasana masjid Al Mubarok terasa hangat. Santri-santri cilik riang memecah hening. Bahkan sesekali terdengar amat riuh. Gaduh. Anak-anak berebut mendapat giliran mengaji lebih dulu. Teh Winda dan teh Yulia tampak kerepotan. Bahkan ada yang berebut sambil saling dorong.

 “Tenang adik adik… Tenang! Sabar!” Teh Winda memasang wajah serius. Anak-anak sedikit tenang.

 “Kelas 1 dan 2 Diniyyah mengaji sama Teh Yulia. Antri berdasar abjad. Kelas 3 dan 4 mengaji sama Teteh, juga berurut berdasar abjad.” Ayo-ayo…!” 

 Di ruang utama digunakan Ustadz Khoer mengajar kitab kuning untuk remaja setingkat SMA.

 Beranda masjid yang luas juga digunakan untuk pembelajaran. Di sayap kiri digunakan untuk pengajian anak-anak tingkatan wustho (SMP sederajat). Keciprat air membuat mereka duduk merapat, terpisah laki-laki dan perempuan. Mereka  menghafal ayat suci dibimbing Kang Arif. 

 Setengah jam berlalu. Kang Arif mengajak adik didiknya itu untuk berdiskusi.

 “Nah, adik-adik malam ini Akang ingin mengajak kalian bertukar pikiran, diskusi. Eum… tajuk diskusi kita malam ini adalah…. Cinta! Sebelumnya izinkan akang bercerita”

 Mereka terlonjak riang.

 “Nun jauh di sana hiduplah dua sejoli. Saling mengasihi, saling bertaut sayang. Mereka siap hidup bersama. Nahas. Tepat ketika mereka hendak menikah, terbukanlah sebuah rahasia. Kedua Ayah dari sejoli itu saling bermusuhan. Mereka tak merestui hubungan mereka. Benar-benar tak merestui. Keduanya frustrasi. Bagaimanapun cinta mereka begitu kuat. Mereka siap mempertaruhkan apapun. Termasuk mati sekalipun. Sang wanita –demi mengetes cinta kekasihnya- pura-pura menenggak racun. Pura-pura mati. Si Pria yang kelabakan melihat kekasihnya terkapar, akhirnya memutuskan meminum racun itu, sungguhan. Ia Mati. Si wanita yang tadi pura-pura takjub. Ditengguklah juga racun itu. Mereka meninggal. Tragis. Konyol. Atas nama cinta. Itulah yang kita kenal kisah Romeo-Juliet!” 

 Anak-anak sedikit ngeri, yang lain tampak mengernyit. Jiwa pubertas mereka mendorong untuk bertanya,

 “Apakah memang demikian makna cinta, Kang? Semua dipertaruhkan?”

 “Nah, karena itulah kita akan sama-sama mendiskusikannnya. Cinta. Baik. Sebelumnya, ada yang mau menguraikan apa itu cinta, versinya?!”

 Hening. Mereka sibuk merangkai definisi cintanya masing-masing.

 “Ah ya, Asad!” 

 “Eum… menurut saya, cinta itu anugerah Allah.” Asad lancar mengurai definisi versinya-sok dewasa.

 Agus mengacungkan tangan.

 “Cinta itu bikin deg-degan Kang!”

 Giliran Annisa.

 “Kalau Nisa dengar dari Kak Eva sih, katanya cinta itu luas Kang. Bukan hanya soal hubungan lawan jenis.”

 Malu-malu, Anton, si jail, mengacungkan tangan.

 “Menurut daku siih… Cinta itu.. cinta itu…. Eumm… cinta itu ya cinta Kang!” Cempreng suara Anton disambut tawa.


 “Baik, terima kasih atas pendapat kalian perihal cinta. Semuanya benar -menurut versi masing-masing-. Nah, Akang akan mendefinisikannya berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar makna cinta berarti:  suka sekali; sayang benar, atau bisa juga bermakna, kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan) ingin sekali; berharap sekali; rindu dan juga ternyata mengandung artian susah hati (khawatir); risau. 

 Nah dari pengertian itu kita tahu, kata cinta, selain membawa makna positif;  kasih sayang, ternyata juga mengandung makna negatif: susah hati (khawatir), risau. Seperti halnya yang menimpa Romeo-Juliet tadi. Mereka terpayahkan cinta. Cinta yang menyengsarakan. Ah ya, perihal definisi cinta, sepertinya Akang juga cenderung sependapat dengan si ganteng Anton, cinta adalah cinta.”

 Anto jumawa, menggosok-gosokan jari ke hidung. Anak-anak yang melihat lagaknya yang sok, tersenyum lucu.

 “Nah adik-adik, satu hal yang harus dipahami. Kita tak boleh ditaklukan cinta. Sebaliknya kitalah yang menaklukan cinta. Cinta jangan sampai mengatur hidup kita, sebaliknya kitalah yang mengatur cinta. Seperti yang tadi dikatakan Annisa, muara cinta kita adalah padaNya, Sang Maha Cinta, kepada Rasulullah, kemudian pada orang tua, kerabat dan manusia lainnya. Jangan terbalik. Mengerti?!”

 “Mengerti Kang!” Seru semua.

 “Oh ya Kang,  kalau cinta lawan jenis boleh nggak Kang?” Asad bertanya polos. Kang Arif tersenyum simpul.

 “Tentu saja boleh Asad. Sangat boleh! Asalkan, sekali lagi, muaranya adalah pada Allah. Sesuai jalanNya!” Tegas kang Arif.

 Asad sebenarnya masih penasaran bertanya. Sayang. Pukulan bedug tanda sholat isya sudah ditabuh. Pelajaran akan segera ditutup.

 “Adik-adik, Akang juga punya cinta. Akang sayang sekali pada kalian! Karena Allah.” Kang Arif memutar pandangan, menyapu wajah adik didiknya satu persatu.

 “Kami juga sayang Akang!” Seru Bassam mewakili.

 “Alhamdulillah…”

 Mereka menciumi tengkuk tangan kang Arif.

 Adzan isya berkumandang syahdu ditemani gerimis sayu.

Selaksa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang