Part 10 : Pesan Terakhir

8 1 0
                                    


Hari berlalu cepat. Bel masuk sekolah berdentang. Beberapa siswa kelas 1 F tampak masih asyik berbincang di luar, duduk di teras. Baru ketika Bu Apriani datang mereka menghambur masuk. Bassam geleng-geleng kepala atas tabiat buruk itu, padahal ia sudah memperingatkan berkali-kali. Untunglah Bu Apriani tidak seperti Bu Rani yang cerewet minta ampun mengomentari kelakuan siswa itu. Bu Apriani masuk dengan senyum tulus, wajah ceria, sorot mata bersahabat.
“Anak-anak, pagi cerah ini, kita akan sama-sama berlatih berbicara di depan khalayak ramai. Siap?” Bu Apriani memberi gambaran pelajaran hari ini. Bahasa Indonesia, pelajaran favorit Bassam.
“Nah, jadi begini, nanti beberapa orang dari kalian akan ibu minta maju untuk bercerita. Bercerita pengalaman kalian, baik yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, mengecewakan atau apapun itu.  Gampang kan?”
“Jadi bebas ya Bu cerita apa aja, cerita lucu juga boleh?” Imron, si jail itu bertaya antusias.
“Iya, bebas. Ah ya, untuk yang maju sebaiknya ibu yang tunjuk atau ada yang berani maju? Ayo?”
Semua terdiam. Malu-malu.
“Wah sepertinya harus Ibu paksa nih… Baiklah… biar adil. Kita adakan permainan, lewat permainan ini kita akan pilih siapa yang maju. Ini spidol ibu, nanti edarkan seisi kelas. Sembari edaran itu Ibu akan baca puisi. Ketika puisi berhenti, edaran dihentikan. Siapa yang ketika itu memegang spidol ini dialah yang maju. Mengerti, kan? Siap?”
“Mengerti Bu! Siap!” jawab seisi kelas serempak.
“Kita mulai…”

Pada Siapa

Jika pilu kau serba-serbikan:
Aku,
Mengadu pada biru?
Atau apa, atau siapa?

“Hap… Berhenti! Spidolnya ada di siapa?”
“Iwan Bu!”
Bu Apriani menghampiri Iwan yang tampak pias.
“Ayo… maju. Tak apa. Jangan gugup. Sebisanya saja.” Pinta Bu Apriani. Iwan bergeming.
“Ayo maju, jangan malu-malu, jangan malu-malu!” Tiba-tiba koor lagu TK itu membahana seisi kelas. Wajah Iwan memerah.
“Ayo!” Bu Apriani menyentuh bahu Iwan. Meyakinkan. Ia maju. Patah-patah. Malu-malu. Gemetaran.
Setelah cukup lama berdiri akhirnya ia berani buka mulut, lirih.
“Hmm… pengalaman yang paling berkesan, ketika jalan-jalan bersama keluarga ke Pangandaran. Berenang di pantai sepuasnya. Naik perahu. Bikin bangunan dari pasir. Foto-foto bareng turis asing. Main bola di hamparan pasir. Pokoknya senang deh.” Iwan lancar bercerita.
“Ada yang lain?” Bu Apriani bertanya.
“Cukup Bu!”
“Baik, tepuk tangan yang meriah untuk teman kalian yang hebat ini!”
Tepuk tangan mengiringi Iwan yang kembali ke bangku.
“Baik, kita lanjutkan!”

Segala kesah adalah racun
Semakin bertumpuk
Menenggelamkan langkah

Maka mengadulah pada siapa
Meneguh lentera jiwa:
DIA

“Cukup! Berhenti di siapa?”
“Frista Bu!”
“Ah ya, Frista Ayo maju!”
Frista melangkah mantap.
“Teman-teman. Kali ini Ista akan bercerita perihal kegemaran Ista berpetualang. Setiap minggu Ista diajak ayah berkeliling perkebunan karet menggunakan motor trail. Selain itu tak jarang juga ayah mengajak Ista memasuki  hutan-hutan sekitaran PTPN IX. Hal yang paling Ista suka dari petualangan adalah menemukan tanaman-taman baru, terutama anggrek. Mama Ista juga suka anggrek lho.  Di halaman rumah mama merawat puluhan jenis anggrek. Ada anggrek putih, anggrek teratai, dan lain-lain. Oh ya teman-teman, kami juga punya anggrek langka lho, angrek macan namanya. Kata mama Anggrek macan ini kalau dijual bisa mahal, harganya ratusan ribu rupiah.”
“Wahh…”Beberapa siswa tampak terperangah.
“Nah yang paling Ista suka dari anggrek selain bunganya yang cantik juga karena beberapa angrek punya wangi yang khas. Seperti parfum Ista ini!”
Beberapa murid di jajaran depan tampak mendengus, seperti hendak mengecek wangi parfum Ista. Bu Apriani hanya tersenyum melihat tingkah polos itu.
“Nah, pengalaman yang paling berkesan dari petualangan itu ketika liburan kelulusan SD, Ista bersama ayah mendaki Bukit Gunung Tilu. Ista sempat takut tak kuat mencapai puncak, tapi Ayah terus menyemangati. Akhirnya kami sampai. Di puncak bukit itu pemandangannya indah banget, Ista bisa melihat daerah-daerah sekitar. Asyik deh pokoknya. Ista ingin naik bukit lagi, bahkan nanti mau naik gunung. Sekian dulu teman-teman!” Frista mengakhiri cerita.
Teman-teman Ista terkagum-kagum. Bu Apriani melanjutkan permainan.

Penggenggam Manusia.
PadaNya lah segala rasa diadukan
Dimohonkan

Puisi berhenti ketika spidol berada di tangan Bassam.  Ia maju, patah-patah. Diliriknya kalender di dinding bagian depan kelas.  Melihat tanggal itu, ada sesak yang menelusup hatinya.
“Hari ini,” Bassam memulai cerita.
‘Tanggal, 25 Juli, 20 tahun lalu, kakakku Arman, lahir. Ia adalah seorang kakak yang baik. Penyayang dan perhatian. Bagiku, ia adalah kakak terhebat.’
Bassam mengungkapkan kalimat itu penuh kesungguhan.
‘Namun... tepat hari ini,’ lanjutnya lagi... Wajanya tampak sedih. Kelas hening.
‘Di tanggal itu pula, setahun yang lalu ia meninggal dunia. Kakakku mengalami kecelakaan kerja di Kalimantan....’
‘Innalillahi wainna ilaihi rojiun...’ beberapa orang refleks mengucap lafaz istirja.
‘Kakak kini memang sudah tiada, namun nasihatnya senantiasa terngiang di telinga... Jadilah anak yang kuat, belajar penus kesungguhan, bekerja keras, dan selalu berbakti pada orang tua dan guru.’
‘Itulah pesan terakhir kakakku. Mohon bantu doa. Semoga ia tenang di sisiNya. Aamiin.’
Tanpa diminta seisi kelas melafaz aamiin.
Doa-doa yang berpilin menujuNya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Selaksa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang