2-My Diary is My Memory

73 11 4
                                    

Rabu, 06 November 2013

Dear Diary

Hari ini aku menangis sejadi-jadinya bukan karena tidak ada bahan makanan, atau belum melunasi biaya sekolah, bukan juga karena cemoohan teman satu sekolah karena penampilan burukku. Aku sudah terlalu kebal untuk itu semua. Tapi hancur rasanya hati ini melihat ibu menahan kesedihannya dan berusaha selalu tersenyum di depan anak semata wayangnya ini.

Empat puluh lima tahun sudah usia ibu, tapi dari wajahnya mungkin orang mengira sudah ia berusia 60 tahunan. Terlihat sangat renta dari usia sebenarnya. Matanya terlihat lelah namun selalu bersinar memancarkan cahaya kasihnya kepadaku. Tangannya kasar dan mengeras, bukti betapa keras kehidupan yang dijalananinya dan betapa keras pekerjaan sehari-hari yang ia lakukan.

Badannya sedikit demi sedikit mulai membungkuk dan ia selalu mengeluh kesakitan dalam tidurnya. Karena ketika musim panen tiba, ibu dengan senang hati bekerja memanggul padi-padi dari para petani. Iya, ibuku pekerja kasar.

Hari ini kami belum mendapatkan rezeki, kepala mulai pening dan badan sangat lemah karena belum ada asupan energi. Dan itu bukanlah hal baru untuk kami berdua. Itulah sehari-hari kami yang bagaimanapun tidak pernah menyurutkan semangatku untuk terlihat baik-baik saja di depan malaikatku itu. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan.

Entah sudah keberapa kalinya aku minum air, berharap dengan itu bisa mengganjal perutku yang melolong minta makan. Kualihkan perhatianku dengan mengerjakan hal lain agar tidak terus menerus memikirkan rasa lapar ini. Alhasil otakku seperti tidak dapat bekerja dan berakhir dengan perutku yang semakin melilit. Lagi-lagi aku menangis.

Tidak berselang lama...

"Aisha, ayo nak kita makan. Ibu sudah selesai masak." Tiba-tiba ibu memanggilku. Aku tidak merespon apapun, aku terdiam dan pertanyaan-pertanyaan bermunculan. Ada secuil rasa bahagia setelah dua hari penuh belum menyentuh makanan.

"Ibu masak apa?" tanyaku sambil membuntutinya ke dapur.

"Emm Alhamdulillah tetangga sebelah bagi-bagi rezeki untuk kita." Jawabnya dengan senyum yang sangat dipaksakan. Aku menggandeng lengannya yang terlihat hanya terbungkus kulit itu, sedih rasanya tidak bisa berbuat apa-apa untuk ibu.

Ibu bercerita banyak hal kepadaku sembari mempersiapkan makan kami berdua, mengenai dirinya ketika masih muda belia, kegemarannya menari, sampai kisah almarhum ayah yang piawai memainkan seruling bambu.

Aku tersenyum lebar mendengar semua kisah ibu juga kepada hidangan di hadapanku ini. Makan besar, pikirku. Tidak berpikir panjang langsung kulahap saja ayam goreng yang masih hangat itu.

Gigitan pertama, aku tersedak. Bau seperti daging yang sudah sangat lama langsung mengisi tenggorokanku, teksturnya licin saat menyentuh kulit.

Aku tidak ingin membuat ibu sedih apalagi kecewa.

Biasanya ketika aku sudah berekspresi seperti itu, ibu akan balik tersenyum dan kita akan bersenda gurau bersama. Tetapi tidak dengan hari ini.

Ibu menghentikan aktifitas di piringnya dan terdiam. Matanya memerah dan tangannya menutupi wajah lelahnya. Ia terisak. Lama sekali membuatku tidak kuasa melihat adegan itu, aku tidak sanggup menyaksikan malaikatku menangis sampai napasnya tersengal-sengal.

Kupeluk ia dan hanya ungkapan "Ibu jangan nangis" yang sanggup kukeluarkan karena ternyata bendunganku bocor, air mataku ikut meleleh.

"Ibu tidak bisa jadi orang tua yang baik buat kamu nak. Ibu tidak bisa buat kamu bahagia." Ungkapnya dalam terbata, tercekat karena tangisnya.

Aku tidak bisa berkata apapun, hanya tangis dan tangis yang mengiringi kami berdua. "Aisha bahagia punya ibu. Aisha bangga jadi anak ibu." Ibu menggeleng membuat air mata ini semakin berlomba jatuh. Sepertinya ini adalah hari terberat dalam hidupku.

***

Minggu, 13 April 2014

Dear Diary

"Aisha mau lanjut kuliah di mana?" Tanya ibu suatu waktu, mendengar pertanyaan itu aku hanya tersenyum dan menggeleng.

"Aisha mau cari kerja saja ibu. Biaya kuliah kan besar lebih baik cari uang saja untuk kebutuhan sehari-hari, tapi kalau Allah memberi rezeki yang tidak terduga Aisha mau kuliah bu." Jawabku sambil terkekeh. Mendengar itu, tatapannya sendu, ia terdiam dan malah memelukku. Kami hanya berbicara dari hati ke hati. Aku tahu ibu sedang mengungkapkan betapa sayangnya ia kepada putrinya yang sudah beranjak dewasa ini.

Menjadi seorang dengan gelar Sarjana Hukum adalah salah satu mimpi mustahilku dari sejuta mimpi lainnya, yang ku tahu tidak akan pernah terwujud. Otak kecil di kepalaku ini sering kali melalang buana, berlayar di dunia khayalan yang berujung kepedihan setelah terbangun dari semua ilusi itu.

Aku selalu menyampaikan keinginan itu kepada ibu, dan ibu selalu memintaku terus dan terus berdoa mendapat rezeki yang besar, ia meminta maaf kepadaku karena aku harus terlahir dari wanita sepertinya yang tidak bisa membahagiakan anaknya. Dan jika ibu sudah berkata seperti itu, aku akansegera memotongnya dengan "Ibu yang terbaik buat Aisha."

Aku juga sangat ahli dalam berkhayal, bahkan mungkinitu adalah bagian dari jiwaku sendiri.

"Maaf Ketua Hakim. Tetapi sudah ada bukti-bukti yang sangat jelas dan relevan bahwa tergugat telah melakukan kekerasan terhadap penggungat." Ungkapku selaku pengacara professional dalam suatu pengadilan mengenai tindak kekerasan dalam sebuah rumah tangga.

"Saudari Aisyah Farhana, bisa tunjukkan bukti-bukti yang Anda maksudkan?" tanya hakim kepadaku, yang semakin membuatku antusias. Seperti ingin ku robohkan gedung pengadilan ini.

"Terdapat luka-luka memar di sekujur tubuh si penggugat. Bukti-bukti ini sangat real dengan pernyataan saya tadi. Silahkan Ketua Hakim bertanya kepada saksi untuk memperkuat bukti saya." Jawabku dengan mantap.

Kemudian aku terbangun dari mimpi-mimpi itu karena realitanya semua hanya terjadi di dalam kepalaku.

***

My Diary is My MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang