"Aku hanya manusia biasa yang masih mempunyai rasa takut di sertai rasa iba."
Matahari bersinar cukup terik hari ini, di sertai lambaian angin yang menenangkan, membuat rumput-rumput yang tingginya seperutku seakan mengelitiki.
Aku berjalan menerobos rumput-rumput, lalu naik ke pohon oak yang sudah di modifikasi menjadi rumah pohon.
Aku duduk termangu sembari menatap hamparan grassland dan seseorang yang masih mencoba menerobosnya. Aku terkekeh sekilas ketika melihatnya kalap, mengambil pisau kecil lalu memotong apapun yang menghalanginya, meskipun itu hanya ilalang.
Butuh watu hampir tiga puluh menit untuknya sampai ke atas rumah pohon, lalu seperti biasanya ia akan merajuk sebab sepatu kets putihnya bermandikan lumpur, padahal sudah sering kuperingatkan untuk tidak memakai sepatu pemberian neneknya itu. Untung saja aku menggunakan sepatu boots berwarna hitam, jadi tidak perlu kalap seperti cowok itu.
"Hei, Leon. Apa grassland di bawah sana membuatmu begitu kalap pagi ini?" Ejekku dengan wajah tanpa dosa
Ia menghela nafas, menoleh sekilas lalu kembali membersihkan sepatunya.
"Tidak! Bukan itu," bantahnya cepat"Lalu?" Selidikku dengan nada sok polos
Ia berdecak sebal, menghela nafas panjang seolah ingin mengatakan sesuatu yang berat.
"Eum ... Areolla, kau tau mimpiku bukan? Minggu depan aku mulai kuliah di distrik 15. Bagaimana denganmu, apa yang kau lakukan saat aku kuliah nanti, kau sudah temukan mimpimu?" Terang Leon penuh semangat sembari meletakkan sepatunya di tempat yang terkena sinar matahari.
"Hum mungkin ada ... kau tau game Full-Immersive Virtual Reality? mungkin aku sedikit tertarik tentang itu," jawabku sambil bermain game di ponsel transparan.
Sementara cowok itu berbinar seperti anak kecil di beri permen--ralat-- mungkin dia bersyukur sebab tidak perlu mengkhawatirkanku.
"Woaaah! Kau ingin membuat game?" Pekik Leon seperti seorang wanita. Aku mengangguk"Aku harus menjadi orang pertama yang mencobanya, ingat itu," pintanya memaksa.
"Kalau begitu, kau tidak boleh mati karena banyak tugas," sarkasku dengan seringai menjengkelkan.
"Kalau begitu ... aku juga akan berusaha. semangaaat," balasannya sembari membuat simbol Peace dengan jarinya, membuatku mendongak memperhatikan setiap inci wajahnya.
Sungguh aku tidak berbohong, makluk menyebalkan ini salah satu ciptaan tuhan yang terpahat sempurna terutama ketika ia menyipitkan matanya dan mengukir lengkungan tips di bibir.
"Eum ... Leon, Apa kau tidak bisa kuliah di sini saja -- maksudku disini juga banyak universitas yang cukup bagus" tanyaku ragu-ragu
Leon mengacak-acak puncak kepalaku dengan gemas, sementara aku? Aku hanya bisa menggembungkan kedua pipiku sebagai respon tidak suka. Ia terkekeh ringan
"Mbul, kau tau? Bagus saja tidak cukup bagiku. Jangan rindu ya," godanya dengan memanggilku 'mbul' yang berarti gembul atau berpipi tebal."Kau mau jalan-jalan? Nonton, cari makan atau apapun itu terserah," ajaknya selagi mengambil sepatunya yang hampir kering, aku mengangguk
"Kebetulan sekali, isi perutku juga sudah meraung," jawabku sembari mendahuluinya lalu turun menggunakan tangga yang terbuat dari tali.
Tidak butuh waktu lama buatku ataupun dia turun dari rumah pohon, yang menyita waktu hanyalah hamparan grassland di depan sana, membuatku menghela nafas.
***
Matahari mulai tenggelam menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Dan kami masih disini, di lantai dua sebuah kedai, menatap lurus ku luar jendela, memandangi indahnya keramaian kota saat senja.

KAMU SEDANG MEMBACA
RF 2018 [Pindah Platform]
Ciencia FicciónPada hakekatnya, manusia memang tidak pernah tau tentang apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan meramal masa depan, manusia saja hanya tau 5% dari bumi, jadi kesimpulannya manusia tidak benar-benar tau, mereka hanya "sok tahu" Ah selain itu...