Three

904 64 38
                                    

"Woy, ngelamun aja, lo. Makan ngapa makan, Ru."

"Hm."

"Dih, nih anak. Ham-hem, ham-hem wae, makan tuh makanan lo. Daripada di aduk-aduk doang, di makan nggak. Pamali tau, mainin makanan. Masih banyak diluar sana orang-orang yang nggak bisa makan, padahal perutnya kelaparan. Lah, lo. Makanannya ada, enak pula menunya. Tapi, cuma diliatin sama di aduk doang. Mubazir, Ru, mubazir," ucap Raksaka sebelum menyuapkan sesendok besar nasi beserta lauknya ke dalam mulutnya itu,

"lagi, lo kenapa dah? Gue ajak ngomong, tapi kerjaannya cuma diem-diem aja. Tumben banget. Biasanya kan kalau gue udah ngomong, lo suka sensian. Kaya cewek-cewek PMS. Kok ini adem-adem aja. Lo sariawan? Apa sakit gigi, makanya nggak bisa ngomong?"

"Nggak. Gue lagi nggak mood aja ngeladenin omongan lo yang nggak ada faedahnya itu."

"Eee, si anjir. Ngomong kagak tapi sekalinya ngomong penuh dengan cacian," sindir Raka, "serius gue, Ru. Lo kenapa sih? Perasaan gue perhatiin lo lesu bener. Kaya orang yang kehilangan semangat idup. Udah gitu, muka lo juga lusuh banget. Kaya baju yang nggak dicuci seminggu. Lo ada masalah? Cerita dong, jangan dipendem sendiri. Kalau dipendem sendiri ada solusinya sih nggak apa, tapi kalau dipendem sendiri terus tiba-tiba gantung diri? Kan itu yang berabe."

"Ck, berisik aja deh lo, Ru. Suara lo itu, sumpah nggak ada bagus-bagusnya. Kaya kaleng rombeng, tau nggak? Nggak bisa tenang sebentar apa ya? gue lagi butuh ketenangan buat berpikir tau" rutuk Andaru sebal. Pasalnya, saat ini dia sedang mumet-mumetnya dan membutuhkan waktu sejenak untuk berpikir.

Berpikir mengenai kehidupan yang sekarang tengah ia jalani, sekaligus hubungannya yang kian renggang dengan orang-orang rumahnya sendiri.

Kerenggangan yang awal terjadi lantaran kesibukan dirinya sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Kesibukan yang lama kelamaan telah mendorongnya menjauh dari orang-orang terdekat yang selalu mendukung dan juga mencintai dirinya secara tulus. 

Kesibukan yang sama yang juga membuat dirinya merasa kosong serta kesepian, lantaran tak dapat bercengkrama dengan keluarga terdekat, ketika ia membutuhkan atau menginginkan keberadaan mereka.

Akibatnya, ia pun mulai mencari pelampiasan lain. Alternatif lain yang bisa menambal kekosongan yang ia rasakan tersebut. sayangnya alternatif tersebut justru membuat dirinya kian terlena. Hingga tanpa Andaru sadari, dirinya semakin berjalan menjauh dari keluarga dan orang-orang terdekatnya tersebut.

"Ka, lo pernah nggak ngerasa udah ngelakuin sebuah kesalahan dan merasa menyesal karenanya?"

"Ya Iyalah, ini pertanyaan macam apa sih?"

"Ntar dulu, belum kelar kali gue ngomongnya. Udah main dipotong aja. Maksud gue, lo tau lo salah dan juga terkadang lo merasa menyesalinya, tapi kesalahan itu merupakan suatu hal yang sebenarnya nggak lo sesali-sesali banget. soalnya lewat kesalahan itu, lo merasa bisa belajar banyak mengenai kehidupan yang sempat dilewatkan, sekaligus juga merasa bebas karena udah kepalang tanggung kejeblos dalam kesalahan tersebut. Lo pernah ngerasa gitu, nggak?" tanya Andaru menatap lekat Raka.

"Ha? Gimana-gimana? Kok gue rada gagal paham ya, sebenarnya maksud lo ini gimana."

"Ck, ah. Pea nih bocah! Makanya dengerin dong kata-kata gue. Perhatiin. Gini nih yang Namanya dokter? Gue ragu dah sama kemampuan lo. Jangan-jangan lo nyogok ya, pas tes sertifikasi kedokteran kemarin? Iya, kan? Ngaku lo."

"Ebuset, tuh congor ya. kurang ajar sekali ngomongnya. Sekata-kata lo, nuduh gue nyogok. Orang nilai gue masuk lima besar yang paling bagus seangkatan pas tes kemarin. Lo kali tuh yang nyogok!"

"Nggaklah. Mana gue nyogok, orang nilai gue bagus kok. Masih jadi sepuluh besar."

"Bagusan gue kemana-mana dong, kalau begitu jamet."

"Lah, iyaya? Hahaha."

"Yaudah terus ini permasalahan lo gimana? Tadi katanya, lo ngelakuin kesalahan gitu?"

"Iya, tapi kesalahan itu sebenarnya nggak gue sesali-sesali banget sih. Di satu sisi gue menyesal karena udah ngelakuin hal itu, tapi di sisi lain gue juga merasa beruntung, Ka. Karena setelah ngelakuin kesalahan itu, banyak pengalaman yang sebelumnya nggak pernah gue alami, bisa terjadi dan gue pelajari. Dan karena kesalahan itu juga, gue bisa ngerasa lebih bebas dari kehidupan gue yang sebelum-sebelumnya. Makanya, gue jadi bingung sekarang. Sebaiknya gue gimana ya, ke keluarga gue? Minta maaf? Terus, janji nggak ngelakuin lagi? Tapi tuh, kayaknya nggak mungkin gitu."

"Tunggu, tunggu. Emang lo kesalahannya apaan dah? Terus, keluarga lo kenapa emangnya? Lo berantem sama mereka?"

"Yoa, gara-garanya gue itu terlalu sibuk sama kerjaan gue sebagai dokter."

"Sibuk yang kaya gimana nih? Soalnya, gue juga dokter, tapi perasaan hubungan gue sama keluarga baik-baik aja."

"Yee, itu sih karena lo-nya aja yang emang anak kurang ajar. Ngeles teroos kerjaannya. Gue kan anak baik, jadinya gue nggak pernah ngeles kalau ditanya ortu sama adik gue."

"Alah, bokis lo. Apaan yang nggak pernah ngeles. Gue denger sendiri ya, lo ngomong apaan kemarin di Lorong lobi sama adek lo. Nggak usah sok suci lo. Wong, kita berdua sama aja kok."

"Jadi, lo tau? lo tau gue sama adek gue cekcok?"

"Taulah. Suara lo kenceng gitu. ya, nggak kenceng sekenceng toa masjid sih. Tapi masih bisa kedengeranlah ya, sampai di ujung Lorong mah."

"Mampus! Pasti banyak orang lain yang denger juga nih."

"Oh, so pasti itu mah. Orang lo jadi trending topics di antara para suster tadi pagi."

"Ah, elah tuh suster. Mulutnya beneran deh, kaya ember bocor banget. segala urusan orang diomongin. Heran gue."

"Ya kan lo tau sendiri, suster-suster kalau udah ngegerombol kaya apaan. yang baru desas-desus aja udah diomonginnya kaya heboh sedunia akhirat, apalagi yang kejadian beneran kaya lo gini. Yaudahlah, toh udah kejadian juga mau lo protes kaya apapun juga percuma. Mulut, mulut mereka. Mana bisa lo kendalikan? Yang bisa lo lakuin ya, bersikap masa bodo aja. Selama mereka nggak ganggu atau nyerang lo, ya lo-nya santai aja sob."

"Iya sih, cuma risih aja gitu Ka, gue ngedengerinnya."

"Ck, biasa itu mah. Ntar lama-lama juga lo nggak peduli lagi sama mereka. Terus, keluarga lo jadinya gimana? Kok, lo bisa berantem sama adek lo? Bukannya lo rukun-rukun dan akur-akur aja sama dia?"

"Ya Iya, tapi semenjak gue sibuk. Gue tuh jadi ngerasa berjarak gitu sama mereka. Kaya tanpa sadar, komunikasi yang gue miliki dengan ortu dan adik gue itu nggak selancar yang gue bayangin. Alhasil, adik gue mencak-mencak kemarin."

"Lah, nggak lancar gimana? Katanya lo deket sama keluarga, punya grup WhatsApp bareng."

"Iya, tapi beberapa kali tuh, gue suka ngilang nggak ada kabar gitu loh. Sampe-sampe keluarga gue panik dan nyariin gue ke rumah sakit."

"Kalau begitu mah, salahnya di lo-lah. Udah tau orang rumah nggak bakalan rese kalau lo aktif berkomunikasi. Ini pake ngilang segala."

"Ya, namanya gue pengen seneng-seneng, Ka. Nikmatin masa muda kaya lo gitu."

"Dih, gue dibawa-bawa. Apaan. seneng-seneng sih boleh, tapi ya lo jangan keterlaluan juga sama bonyok lo. Gitu-gitu mereka kan keluarga lo. Kalau lo sekarat, mau kasih tau sama siapa? Ya, pihak keluarga lo-lah. Lo kadang otaknya suka sempit sih. Heran gue sama kelakuan lo," celetuk Raka memutar bola mantanya malas.

"Ya, bener juga yang lo omongin. Tapi tuh, semenjak gue kerja jadi dokter, otomatis kan gue nggak tinggal lagi sama ortu, gara-gara harus cari hunian yang deket sama rumah sakit. Nah, semenjak itu gue jadi ngerasa bebas banget gitu. apa-apa nggak dikekang, nggak ada yang ngatur atau nanya-nanyain gue. Jadinya, yaudah, bablas."

***

Unexpectedly Yours [Ready to Order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang