"Audriana, Audriana, tunggu!" teriak Andaru sambil menyusul langkah-langkah cepat milik sang adik.
Dirinya tahu, bahwa percakapan serta tingkah laku yang sempat terjadi di ruangannya tadi hanyalah sebuah taktik. Taktik sang adik untuk mengintimidasi dan menindas Vinka, agar gadis tersebut tidak memiliki sebuah ide aneh untuk mengakrab-akrabkan diri dengan adiknya itu .
Namun sayangnya, Andaru bukanlah seorang kakak pengertian yang penuh dengan kesabaran hati dalam menghadapi sikap menyebalkan adiknya ini. Apalagi bila sikap ini telah berulang kali Audriana lakukan, kepada setiap wanita yang dekat dan menjalin hubungan dengan dirinya kini.
Maka, wajar saja bukan bila ia menegur dan memperingatkan sang adik akan bersikap lebih baik lagi terhadap wanita-wanita tersebut. toh, bagaimanapun juga, dirinya yang tengah menjalin hubungan tak merasa keberatan kok dengan sikap wanita-wanita tersebut.
"Audriana, kakak bilang tunggu," Dan setelah dirinya sudah hampir berlari dalam mengejar sang adik, pada akhirnya Andaru pun dapat dengan mudah mengejar dan mensejajarkan langkah kakinya sebelum menahan lengan sang adik, agar sang adik tidak dapat lagi melarikan diri dari dirinya dan pembicaraan yang harus mereka bicarakan pada ini.
"Apaan sih, kak? Odi udah mau telat ini ke kampusnya. Kalau kakak mau ngomong, ya nanti aja. Biasanya juga malah kakak kan yang ngehindarin Odi kalau lagi diajak ngomong," sungutnya.
"Iya, tapi ini tuh penting, Di. Nggak bisa ditunda."
"Mau ngomong apa? Mau ngebelain medusa itu? Terus, mau nyalah-nyalahin sikap Odi yang keterlaluan? Iya kan?"
"Tapi, sikap kamu emang udah melewati batas, Di. Sejak kapan kamu bersikap jutek dan kasar ke orang lain, hm? Adik kakak itu anak yang baik dan manis. Nggak pernah bersikap arogan apalagi kasar kaya yang tadi itu. Terus, kenapa kamu berubah kaya begini coba?"
"Dulu aja, Odi main senggol bacok dibilangnya sikap Odi barbar. Nggak sopanlah, nggak panteslah. Sekarang bersikap sinis juga dinyir-nyirin , Odi tetep aja dibilang kasar. Kayanya sikap Odi salah terus dimata kakak. Nggak ada yang bener. Mau Odi kaya apa juga, masih aja disalahin terus. Kakak sebenarnya mau Odi kaya apa sih? Aku tuh udah nggak ngerti lagi deh sama kakak."
"Ya, kakak maunya tuh kamu nggak bersikap kaya gitu lagi, Di."
"Gitu gimana?"
"Nggak bersikap senggol bacok atau pun bersikap sinis sama cewek-cewek yang dekat maupun jadi pacar kakakmu ini. Kakak mau kamu itu dapat bersikap dengan anggun dan manis, kaya sikap kamu yang dulu, Di."
"Oh, mungkin maksud kakak, bersikap manis kaya cewek-cewek yang nggak tau diri itu? Soalnya aku secara pribadi, nggak ngerasa pernah mempunyai sikap yang manis sih. Aku kan emang gini kak orangnya dari dulu. Judes, jutek dan nggak pernah ramah sama orang. Apalagi sama orang-orang yang selalu ngedeketin dan berusaha manfaatin kakak," cibir Audri menimpali lagi ucapan sang kakak.
"Kamu tuh ya, kalau dibilangin sama kakak. Selalu aja ngelawan. Dengerin kek, sekali-sekali. Kamu itu tuh perempuan, Di. Nggak pantes berbuat kasar kaya gitu keorang lain. Apalagi ke sesama perempuan. Emangnya kalau dibalik, kamu mau digituin sama orang lain."
"Ya, nggak juga, sih."
"Tuh, kan. Kamu nggak mau juga, kan? Ya, mereka juga sama, Di."
"Loh, jadi kakak nyalahin aku? Maksud kakak aku yang salah, gitu kan?"
"Bukan gitu, Di. Kakak Cuma ngingetin agar kamu nggak bersikap kelewatan, baik sama mereka ataupun siapapun juga."
"Kak, gini deh. Aku juga nggak akan bersikap atau bereaksi sekeras begini, kalau bukan karena mereka duluan yang memulainya, kak. Mereka duluan yang ngusik kakak dan keluarga kita. Sehingga, mau tidak mau aku pun harus bertindak. Agar mereka sadar, kalau mereka itu nggak bisa seenaknya aja bersikap kayak gitu ke aku ataupun kakak."
"Nah, justru itu yang nggak kakak ngerti, Di. Bagian mananya sih dari sikap mereka yang mengusik kamu?"
"Ya, sikap mana lagi kalau bukan sikap sok kecantikan nan kecentilan yang mereka miliki itu. Pake sok-sok godain dan ngedeketin kakak, lagi. Mereka pikir aku nggak tau apa, akal bulus mereka kaya apa? Mereka tuh munafik kak, nggak bener-bener tulus sama kakak. Dan aku nggak terima itu. Enak aja, mereka mau manfaatin kakak kayak gitu."
"Denger ya, Odi. Kamu tuh, salah sangka."
"Salah sangka gimana, orang jelas-jelas aku lihat dengan mata kepala aku sendiri, kalau cewek-cewek itu juga ada main belakang, kok. Itu yang masih mau kakak belain, dan dianggap salah sangka?"
"Oke, oke. Anggaplah semua perkataan kamu itu benar adanya. Bahwa mereka itu emang nggak pernah tulus mau bersama dengan kakak, lalu memangnya kenapa? Kok, malah kamu yang repot? Itu semua adalah urusan kakak, Di. Kakak yang lebih tau, kamu sebagai anak kecil nggak usah sok ikut campur mau ngatur-ngatur urusan dan kehidupannya kakak. Kakak bisa jaga diri kakak sendiri. Kakak bukan kamu, yang masih perlu perlindungan. Kakak udah dewasa dan kakak udah bisa menilai mana sisi yang baik dan sisi yang buruk. Nggak kaya kamu."
"Oh, WOW. Aku bener-bener nggak nyangka loh kak, kakak bisa sampai berkata seperti itu sama aku. Aku sampai bener-bener nggak tau lagi mau ngomong apa ke kakak, saking kecewanya aku sama sikap kakak yang seperti ini. kakak tuh ternyata udah berubah. Udah nggak kayak dulu lagi."
"Well, manusia itu akan bertumbuh dan juga menjadi dewasa, Di. Tentu mereka akan berubah. Kamu nggak bisa selamanya berharap kakak untuk selalu bersikap begitu-begitu aja bukan? Waktu aja terus berjalan, Di. Masa kita mau tetap diam di tempat dan nggak berubah?"
"Ck, Odi tuh 'Ah udahlah, Odi capek ngomong sama kakak. Terserah kakak aja, percuma juga kalau Odi ngomong dan maksain pendapat Odi ke kakak, nggak bakalan bisa. Kakak bakalan tetep kekeh dengan pendapat kakak itu, dan nganggap omongan Odi hanyalah angin lalu yang nggak perlu diperhatikan. Kalau kayak gitu kan, mending sekarang Odi pergi terus lanjutin kelas aja, dari pada ngurusin kakak yang jelas-jelas nggak mau diurus. Dari pada, Odi jadi makin senewen nantinya," kata Audriana pasrah, lalu pergi meninggalkan Andaru.
"Eh, tunggu dulu. Kakak belum selesai ngomong, Odi."
"Udahlah kak, Odi pergi dulu aja. Bye kak, Daru" kata Audriana. Kemudian ia bergerak cepat meninggalkan kakaknya sekaligus tempat perbincangan mereka tadi, seraya mengabaikan panggilan sang kakak yang terus saja bergema memanggil namanya ini.
Dirinya sudah lelah, selalu saja dianggap sebagai anak kecil oleh Andaru. Anak kecil tak tahu apa-apa yang sudah sepantasnya dilindungi tetapi tidak perlu didengarkan nasihat ataupun perkataannya itu. Ia juga sudah tak mau lagi peduli dengan seluruh sikap seenaknya yang dimiliki oleh kakaknya itu.
Karenanya, sebelum permasalahan ini kian keruh dan bercampur aduk, Audriana pun memutuskan akan lebih baik kalau ia menghilang sejenak dari hadapan sang kakaknya tersebut. Agar dirinya sikap keras kepala yang dimiliki kakak laki-lakinya itu.
Sehingga, hubungan persaudaraan mereka yang telah renggang, tidak semakin hari semakin alot untuk keduanya hadapi.
Ck, seandainya saja kakaknya itu mau mendengarkan perkataannya barang sejenak, maka ia pun tidak perlu harus bersusah payah menyusun strategi apalagi berbuat nekat hanya demi mengawasi kehidupan kakaknya yang kelewat bebas itu, bukan? Toh, ia juga memiliki kesibukan sendiri yang lebih pantas untuk dipikirkan, ketimbang mencampuri setiap urusan dari kakak menyebalkan miliknya itu.
Dirinya sendiri nyaris tidak lagi memiliki kehidupan sendiri yang dapat dinikmatinya dengan tenang. Emang ya, kadang pria itu suka tidak tahu diri dan tak tahu diuntung!
***
PS : Terima kasih telah membaca cerita ini ^-^ Unexpectedly Yours akan mengalami perubahan dan penyuntingan dibeberapa bagian. Jadi, saya harap kalian akan stay tuned di cerita ini untuk melihat perubahan yang terjadi :) See you soon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpectedly Yours [Ready to Order]
RomanceBerawal dari rasa keingintahuannya yang tinggi, Audriana pun memutuskan untuk bersikap nekat dan mengikuti segala sesuatu yang berhubungan dengan kakak lelakinya itu. Mulai dari memata-matai kegiatan sang kakak, bertandang ke tempat kerjanya hingga...