Mentari

49 7 0
                                    

Happy Reading!

♣♧

Seperti minggu-minggu sebelumnya, aku kembali berada di taman komplek. Kembali melakukan aktivitas yang sama, tanpa bosan. Mengamati dua sosok yang aku sayangi, namun tak dapat kumiliki adalah hal yang tak pernah aku lewatkan. Membidik setiap gerak lincah dari si gadis kecil berkuncir kuda. Juga si wanita cantik yang tak pernah absen menguncir rambutnya.

Kuamati keduanya dalam diam. Dengan semangat 45, gadis kecil berumur empat tahun setengah itu mengikuti gerakan ibunya ketika melakukan pemanasan. Sesekali ia akan mengeluh dan meminta ibunya untuk memberikan minum.

Wajah menggemaskannya adalah duplikat dari wajah ibunya. Semua sama kecuali warna rambutnya yang sama denganku.

Andai aku bisa memutar waktu, takkan kulayangkan talak pada wanita cantik yang kini tengah tersenyum pada sosok lelaki lain.

Akan kupastikan, aku yang berada di sampingnya. Aku yang membantunya menjaga si kecil. Kupastikan, semua dilakukan bersama. Mentari adalah nama dari wanita yang kucintai. Mentari juga nama dari gadis kecil yang kehadirannya telat aku sadari. Mentari, satu nama dari dua sosok yang membuatku rindu setengah mati.

"Coba dulu kamu pikir dulu sebelum asal bilang cerai. Pasti sekarang ibu bisa main sama cucu ibu."

"Coba dulu kamu mau rujuk. Pasti sekarang kamu nggak perlu repot-repot jadi penguntit."

"Coba dulu kamu ...."

Orang-orang disekitarku banyak mencemoohku. Semenjak mereka tahu aku salah mengambil langkah. Ya, kuakui aku salah. Teramat salah karena aku melepas dua sosok hanya karena kesalahpahaman semata.

Dan mungkin, ini akan jadi yang terakhir kali aku mengamati dua sosok sumber kebahagiaanku. Esok, aku sudah tak bisa lagi mendatangi taman ini. Esok, aku akan terjebak dalam galian. Tertutupi tanah dan papan. Ragaku akan menerima balasan yang setimpal atas apa yang kulakukan pada dua Mentariku.

Kali ini, aku tak membawa kamera. Berbekal kertas dan pulpen, aku mulai melukis dua wajah yang tiap malam muncul dalam mimpiku. Setelahnya, kutulis surat untuk dibaca oleh keduanya.

Teruntuk Mentariku.

Gadis kecil yang jadi kesayangan Bunda dan Ayah. Tumbuhlah jadi sosok pintar yang berbakti pada orang tua. Jangan repotkan Bundamu. Tumbuhlah jadi gadis mandiri yang tetap rendah hati. Jangan tinggikan hatimu.

Aku menyayangimu dengan segenap hati yang kumiliki. Andai kata aku bisa menjangkaumu saat ini, pasti akan kujangkau. Kubawa kamu dalam dekap seorang Ayah yang tengah memandam rindu.

Nak, tumbuhlah dengan baik meski kamu tak sempat melihat sosokku.

Dan ini untuk kamu, Mentari.

Kamu satu-satunya gadis yang hingga kini masih menduduki tahta di hatiku. Aku mencintamu dan akan selalu begitu. Sejujurnya, aku ingin memulai kembali. Tapi aku jauh lebih sadar diri. Kamu tak mungkin mau mengulang kisah bersama orang yang pernah membuatmu patah. Jadi, kuputuskan untuk mengamatimu dari sini. Dari tempat yang besoknya semakin jauh. Kuputuskan untuk menerima kenyataan bahwa kamu telah menemukan bahagia barumu. Mentari, teruslah bersinar. Berikan cahaya terangmu untuk membimbing putri kita. Terimakasih masih mau menyematkan namaku dalam nama putri kita.

Dariku,

Reffin Arsenic.

Orang yang menyayangi Mentari dari jauh.

Kulipat surat yang telah selesai ditulis. Dengan sedikit bantuan, aku berhasil memberikan surat itu lewat perantara. Aku berjalan menjauh, sebelum keberadaanku ditemukan lebih dulu. Mentari, aku akan menjaga kalian dari atas sana. Aku mencintai kalian.

Bumi, 3 September 2019

Antologi CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang