Sesuatu

16 4 0
                                    

Aku kenal dengan situasi ini. Akrab. Bahkan hafal dengan segala tetek-bengeknya.

"Mbak, jangan sambil melamun, nanti gosong."

Sebagai respons, aku mengalihkan diri dan mempercepat ayunan kipasku di atas pemanggang ayam. Untung ditegur pelanggan setia, kalau pelanggan baru mungkin sudah kabur sejak azan Isya tadi.

"Iya, iya. Maaf, ya," aku terkekeh pelan campur malu.

"Sudah lapar, ya?"

Si pelanggan menggeliat dari duduknya di kursi rotan. "Bukan lapar, tapi mengantuk berat ini."

"Oalah, masih sore lho, Mbak."

Aku beringsut ke meja dan berbalik ke gerobak setelah meletakkan kipas tangan. Lanjut mengemas daging ayam yang masih panas setelah dibakar.

"Itu yang lagi pujian di Sanggar, suaranya bagus ya. Pantas orang-orang sekitar pada muji dia," celotehnya sembari bersiap bangun menyambut pesanan menu makan malamnya.

"Jadi trending topic dia. Apa lagi setelah acara PHBI kemarin, giat sekali membersihkan Sanggar dan perabot bekas makan Kyai, padahal dia bukan pengurus Sanggarnya, kan?"

Aku menyerahkan pesanan yang telah siap beralih tangan sambil melempar senyum. Kuterima beberapa rupiah sebagai bayaran.

"Eeh, tumben si kecil Lili nggak keliatan, Ris? Ke mana dia?" setelah menanyakan keberadaan keponakanku, si pelanggan tetiba mendekat.

"Kalau aku jadi ibumu, sudah pasti aku jodohkan dia denganmu, Ris!"

Aku melotot seiring roma yang mendadak berdiri kompak, reaksi refleks yang disalurkan indera pendengaranku.

Dia menjawil lenganku, "Kalian itu, sangat cocok! Kulihat dia juga nggak pernah segan bermain dengan adik bungsunya, meskipun beda ibu."

Aku makin merinding.
"Sudah, jangan banyak melamun, tuh pujiannya belum berakhir, masih nunggu makmum." Dia menyengir geli. "Wes, makasih ya!"

Aku hanya bisa menatap punggung si pelaanggan yang menjauh. Termenung. Sholawat Badar versi UJE favoritku masih terdengar jelas. Hanya saja, yang melantunkan adalah "si anak baru" yang mendadak naik daun di desa orang.

Aku merapikan perapian di atas alat pemanggang. Menyelipkan batok kelapa di antara arang-arang yang merah membara. Kemudian duduk di kursi rotan panjang, menanti pelanggan berikutnya. Si kakak belum balik, mungkin sekalian sholat Isya di rumah.

Senandung iqamat terdengar. Pelan, merdu, menenangkan. Seakan melambai, merangkul para pendengar untuk ikut berjamaah di Sanggar.

Anak itu, si pendatang baru yang ikut tinggal dengan ibu tirinya, memang agak aneh-menurutku. Dibilang introvert, dia kadang keluar cuma-cuma sekadar menyenangkan si adik bungsu yang baru tiup lilin angka satu. Dibilang friendly, dia lebih banyak di dalam rumah ketimbang keluyuran tidak jelas, serta lebih banyak aktif di Sanggar.

Nah, kenapa pula aku pusing-pusing memikirkan dia?

Jawaban yang aku terima adalah: satu: karena belakangan, sholatku yang semula jarang lengkap, sedikit-sedikit jadi genap. Setelah ada dia, aktivitas lamaku sebagai guru ngaji anak-anak usia dini tambah bergelora. Dan kedua: karena aku mendadak kepikiran dengan guyonan Mbak Diva-si ibu tiri-perihal ajakan ta'aruf.
Ya. Sering sekali Mbak Diva menjailiku dengan guyon seperti itu.

Jika sudah begitu, aku akan langsung merasa ringan seringan-ringannya tanpa aba-aba. Sebagai bentuk euphoria nurani perempuan.

Dan perihal pelanggan yang barusan menyanjungku sekaligus "menyarankan" sesuatu itu, lagi-lagi aku merasa ringan. Butuh pijakan.

Sebentar kemudian, si kakak pemilik usaha ayam bakar datang dan langsung sibuk dengan ponselnya yang menyuarakan sebuah ceramah.

Aku bergidik. Berusaha menjaga diri agar tidak "kosong". Pun berusaha untuk mengalihkan pikiran dari dia. Dan berakhir pada isi ceramah dari ponsel Kakak.
Aku terisak. Mendadak. Beristighfar sebanyak yang aku bisa.

Dan aku tersadar, betapa Tuhan menciptakan sesuatu, tak pernah pincang. Selalu berpasangan. Betapa Tuhan tak pernah mengingkari janji. Selalu tepat. Akurat. Betapa Tuhan tak pernah meninggalkan. Selalu menyertai. Bagi yang mempercayai.

"Kamu kenapa?" Kakak heboh memelukku. Ditinggalkannya begitu saja ponsel di atas meja. Merengkuhku erat. Melupakan petuah Kyai yang masih betah mengalun di speaker ponselnya.

Aku diam dalam isak. Teringat kisah Rasul ketika hijrah ke Madinah. Penuh pengorbanan, berdarah-darah. Penuh ujian, berderet-deret. Penuh keikhlasan, berlapis-lapis.

Ponsel Kakak mengatakan bahwa, bersama segala sesuatu, pasti ada "sesuatu", dan setelah ada sesuatu, pasti di awali dengan "sesuatu" pula.

Aku tercenung cukup lama sebelum akhirnya menarik napas dalam dan menjawab pertanyaan Kakak.

"Hijrahku selama ini ternyata palsu, Kak!"

Im, 9 Agustus 2018

Antologi CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang