Mas

17 5 0
                                    

Happy reading!
♧♣

"Mas?" panggilku pada sosok di seberang telepon.

"Hm."

Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Tersenyum optimis dan bertanya, "Mau bantu aku nggak?"

"Apa?"

"Ini ikut event. Tapi harus sama pasangan." Kugigit bibir bawahku dengan gugup setelah mengutarakan masalahku padanya. Event menulis bertema pasangan. Jadi peraturannya, peserta wajib mempunyai pasangan dan menceritakan hal-hal yang mereka lewati. Dan sekarang aku tengah menanti jawaban dari sosok yang kuharap mau meng-iya-kan permintaanku.

"So, what should I do?"

Kelopak mataku terbuka lebar. "Kamu beneran mau, Mas?"

"Enggak."

"Ck, terus kenapa tanya kayak gitu?" Aku bertanya dengan senyum masam dan hati yang harapannya sudah pupus.

"Nothing."

"Pulang kapan, Mas?" Kualihkan obrolan. Melupakan masalahku perihal event. Aku takkan mengikuti event yang kali ini.

"Kenapa?"

"Dicari Ayah, Mas. Adekku juga kangen sama kamu." Aku jujur perihal ini. Pemuda yang tengah berbicara dengan via telepon ini dicari oleh Ayahku.

"Nggak pulang."

"Kok gitu?"

"Males. Sampein ke Ayahmu, Saya pulangnya besok."

"Besok kapan?" tanyaku cepat. Aku tak ingin melewatkan hari dimana aku dapat menyambutmu di stasiun.

"Pas nikah hukumnya wajib buat saya."

Aku terdiam sejenak dan melanjutkan dengan nada datar, "Kamu udah ada calon toh."

"Of course. "

"Siapa?" tanyaku pelan. Aku berharap pemuda ini tidak akan menjelaskan apapun. Sayangnya ia langsung bicara dengan tenang tanpa beban. Berbeda denganku yang mendengarkannya dengan wajah malas.

"Dia gadis manja, ngambekan, nyebelin, rese, nggak bisa diem, bawel, suka nggak tau malu, suka gangguin saya, suka ngeyel kalo di kasih tau, nggak pinterr tapi nggak bego-bego amat sih. Cantik? Dia biasa aja. Tapi semua yang ada sama dia bikin saya terpesona. Dia nggak jago masak, dia pemalas. Dia nggak jago ngurus rumah, dia bakal rajin ketika mood dia bagus."

"Beruntung ya dia, sejelek apapun tingkahnya. Kamu tetap bertahan dengan pilihanmu." Aku berujar sembari membanding-bandingkan diriku dengan perempuan lain.

"Dan dia adalah orang yang sedang ngobrol sama saya via telepon."

"...." Aku menahan napas sesaat. Sepertinya ada yang salah dengan telingaku.

"Dan saya harap, dia paham. Saya di sini berjuang hanya untuk dia."

"..."

Ketika sambungan telepon terputus, aku membaringkan badan di atas tempat tidur. Mengulum bibir dan tertawa bahagia. Pemuda itu, aku semakin menyukainya.

Bumi, 2018

Antologi CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang