Enjoy!**
Sekujur tubuhku basah. Aku terperangah. Sudah cukup lama aku duduk di atas pembaringan.
Mimpi itu kembali lagi dan membuatku terjaga di tengah malam untuk ke sekian kali. Sejak tragedi itu, hidupku tak lagi tenteram. Nyata maupun maya. Dia selalu datang menjumpa. Dengan segala rupa.
Aku menyeka setitik keringat yang tersisa di kening. Dia tidak ada, Ra! Satu sisi jiwaku mengatakan demikian.
Tapi segala upayaku hanya terbalas sia. Bahkan kini aku mulai bingung bagaimana caranya membedakan nyata dengan tak nyata. Mimpi barusan contohnya, membuat pikiranku terlempar beberapa jarak.
Kata mereka, kecantikan paras yang aku miliki memang pantas untuk menyandang gelar kembang desa. Semua yang tidak mereka miliki ada pada diriku.
Di desa sebelah, seorang pemuda pegiat karang taruna adalah kekasihku. Lulusan sekolah dasar setelah belajar delapan tahun, dan tak lagi melanjutkan jenjang sekolah. Tetapi yang paling aku sukai adalah jiwa kepemimpinan yang melekat pada dirinya.
Tolong perbolehkan aku untuk memaparkan tentangnya sedikit lebih detail agar kalian tak seperti mereka yang mencemooh dan menggunjing tanpa batas akhir itu.
Hal lain yang aku sukai dari dia adalah dia memiliki sepasang mata yang indah. Agak besar dengan ujung-ujung yang lancip, serta retina yang selalu menatap tegas dan menusuk. Setiap kali aku memandangnya tepat pada mata, aku bagai terhipnotis.
Hingga tiba pada saat dia mencoba keberuntungannya. Memanfaatkan sihir dalam matanya untuk merayu batinku supaya mau diajak bercinta di sisi pematang.
Aku menolak. Dia memaksa. Dan dalam keputus asaanku, sebelah tanganku meraih gagang celurit di semak-semak sebagai penyelamat.
Suatu desakan di bawah perut menginterupsi presentasiku. Bersamaan dengan penuhnya kantung kemih, membuat rasa takutku sedikit berkurang.
Dalam hati aku menggerutu sebal sekaligus bersyukur. Masih ada sebagian dari jiwaku yang bekerja normal. Setelah mimpi itu, aku pasti akan sulit tidur lagi sampai pagi.
Namun, saat keluar rumah lewat pintu belakang, hendak menuju kamar mandi yang memang letaknya terpisah dari rumah, membuat kadar ketakutanku meningkat. Semilir angin timur dari pojok sawah begitu tajam menusuk. Tetumbuhan di kebunku tampak asyik menari bersama genta angin dan khusyuk bercumbu dengan pekatnya malam yang polos.
Guruh terdengar di kejauhan sana. Sedetik kemudian kilat menyambar, mencerahkan malam sesaat. Udara masih bersih walau lembab. Hujan memang belum turun, dan sedari bangun tadi tengkukku sudah terasa begitu dingin.
Usai menuntaskan hajat, aku keluar dari kamar mandi. Mengeringkan kaki di sebuah keset yang terletak sebagai pembatas pintu belakang rumah dengan pintu kamar mandi. Sesaat aku menatap pojok sawah. Bulu kudukku meremang seiring dengan sentuhan halus di telapak kaki.
Sejujurnya aku meyakini bahwa makhluk tak kasatmata itu memang ada. Dan 'dia' ada. Pasti. Sebab, 'dia' telah menjadi bagian dari mereka.
Sedetik kemudian, ketakutanku meningkat pesat lantaran pandanganku menyapu ujung kaki. Sesuatu yang bergerak-gerak di sana bukanlah sentuhan dari bulu lembut keset buatanku.
Jeritku melengking tinggi sebelum akhirnya tumbang mencium dinding. Satu-satunya yang selalu kuingat di sisa hidupku adalah:
Keset mata.
Kelopaknya membuka dan menutup murka. Minta dikembalikan pada tubuh pemiliknya.
____
Thanks for reading❣👀
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerita
Short StorySekumpulan cerita yang dibuat oleh para Admin Perajut Aksara. Let's enjoy the story!