AKU tidak pernah minta dilahirkan dari keluarga miskin. Tapi Tuhan sudah menciptakan aku, dan mengeluarkan aku dari rahim ibuku.
Tentu, Tuhan punya skenario yang tak mampu kucerna dengan akal sehat sebagai seorang kanak-kanak. Apa yang sudah disuratkan Tuhan pada kehidupan manusia, itulah takdir, seperti takdir yang sedang kami lakoni sebagai orang miskin.
Tiba-tiba aku ingat tembang masa kecil yang sering dilagukan dalam sebuah permainan berkelompok: Kami ini orang kaya ya oma ya oma... Kami ini orang miskin ya oma ya oma... Rumah kami di tengah kota ya oma ya oma... Rumah kami di pinggir laut ya oma ya oma...
Sebagai kanak-kanak, jika boleh meminta, aku ingin lahir dari kedua orang tua yang kaya. Punya rumah sendiri, punya kendaraan pribadi yang mengantar aku ke sekolah, punya pakaian bagus, makan enak di rumah makan mewah, tidur di kasur empuk dengan pendingin ruangan yang sejuk.
Aku yakin, kau akan tertawa mendengar igauanku itu, Kawan. Kau pasti menganggap aku sedang berkhayal tingkat dewa. Gadang angan-angan!
Terserah kaulah mau bilang apa. Sebagai seorang kanak-kanak—anak-anak di mana pun itu, aku kira mereka punya mimpi yang serupa denganku—, mungkin kau juga! Siapa yang mau hidup susah? Kau tahu, betapa susahnya menjadi orang susah?
Di kota asing ini, kami memulai hidup baru. Semua dari nol. Bapak mencari pekerjaan dan rumah kontrakan. Ibu membantu Bapak dengan bekerja sebagai babu cucian di rumah orang. Aku pun akan dimasukkan ke sekolah baru yang nantinya punya kawan-kawan baru. Mungkin, seragam sekolahku saja yang tidak baru karena Bapak pasti tidak punya uang untuk membelinya.
Sepekan lamanya kami menumpang tinggal di rumah Pak Fakhruddin. Rumah kontrakannya yang kecil itu menjadi saksi sejarah kepulangan kami. Rumah itu pengap. Selama itu pula Bapak dan Ibu memperlihatkan rasa segam mereka karena takut memberatkan keluarga Pak Fakhruddin. Sebab Pak Fakhruddin dan keluarganya juga miskin.
Aku pernah mendengar bisik-bisik suami-istri itu di dapur yang menceritakan beras tidak ada lagi untuk ditanak. Uang belanja juga sudah habis dan tak ada lauk-pauk bisa dibeli. Mereka segan tak dapat menjamu tamu. Bapak dan ibu juga ikut segan dengan kehadiran kami yang terlalu lama tinggal di rumah itu.
Syukurlah keseganan itu tak berlangsung lama. Akhirnya Bapak menemukan rumah kontrakan—walau kota kecil yang tak sebesar Medan, soal rumah kontrakan di Lhokseumawe lumayan sulit didapat. Bapak sudah mencari ke sana ke mari tapi tak juga bertemu. Kalaupun ada harganya mahal sekali, tak terjangkau kemampuan saku Bapak, apalagi Bapak belum mendapat pekerjaan tetap. Dan, rumah yang ditemukan Bapak itu dapat disewa bulanan yang agak sedikit terjangkau harganya.
Di hari itu, kami pun berkemas. Pak Fakhruddin berat melepas, tapi sepertinya itu hanya basa-basi. Bapak dan Ibu maklum, dan memang kami sudah terlalu lama menumpang badan di rumah Pak Fakhruddin yang berpenghasilan tidak seberapa dari dagangannya yang kecil itu.
Berpamitanlah kami dengan mengucapkan banyak terima kasih atas segala budi baik Pak Fakhruddin dan keluarga yang telah menumpangkan kami tinggal di rumahnya. Sungguh tak terbalas jasa keluarga itu. Kalaulah mereka tidak ada, mungkin sudah jadi gelandangan kami di tengah Kota Lhokseumawe yang panasnya merayap hingga ubun-ubun.
Bapak sebenarnya punya keluarga di Aceh, tapi bukan di Lhokseumawe. Bapak ada seorang adik di Sigli. Tapi adik Bapak hidupnya juga miskin. Sigli jaraknya tiga jam perjalanan jika ditempuh menggunakan bus dari Lhokseumawe. Itulah Bapak, ia tidak mau tinggal di kampungnya karena kata Bapak kalau tinggal di kampung hidup tidak akan berkembang. Tak ada pekerjaan yang menantang untuk mengubah ekonomi keluarga.
Maklumlah, di kampung namanya, tentu pekerjaan yang dapat dilakukan hanya ke sawah atau ke ladang. Aku tentu tak mau bernasib sama dengan Bondan kawanku di Tembung dulu yang terpaksa mengikuti bapak dan emaknya ke Samosir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Masa Kecil
Teen Fiction"Rumah Masa Kecil" adalah novel trilogi "Rumah di Tengah Sawah" yang ditulis Muhammad Subhan (Padangpanjang, Sumatra Barat). Novel ini berlatar Aceh, berkisah seorang remaja bernama Agam yang mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Negeri Tanah Ren...