SUDAHLAH, lupakan Andi dan Yanti. Biar saja kedua anak manusia itu berkembang, kita lihat nanti ending kisah mereka, seperti apa. Yang pasti, sejak surat terakhir itu, aku tidak pernah mau lagi menuliskan surat buat anak itu, meski dia selalu imingi aku uang jajan.
"Tega sekali kau. Bikinlah lagi suratnya. Lebih bagus dari sebelumnya," mohon Andi, agak meratap.
"Ah, tidak, kau saja. Tulislah!" tolakku.
"Satu surat lagi, kumohon. Setelah itu terserah kaulah," ia masih memelas.
Iba juga aku melihat air mukanya yang kusut. Dia sudah seperti orang tidak waras menggilai Yanti, sementara gadis remaja itu setiap hari hanya tebar pesona dan membuat Andi semakin klepek-klepek dari kejauhan.
"Aku nggak bisa tidur. Makan pun sudah nggak enak. Semua yang kupikirkan dia," keluhnya.
"Gila, kau. Kau sudah sakit, Andi. Sadarlah!" hardikku. Suaraku agak keras. Dia terkejut.
"Cobalah nanti kalau kau jatuh cinta!" Dia menahan amarah.
Aku tak peduli. Aku berlalu meninggalkan dia yang mematung duduk di taman sekolah. Aku pergi ke perpustakaan, memilih buku di rak roman Balai Pustaka, di saat jam istirahat. Aku asyik membaca lanjutan novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Novel berlatar Ranah Minang itu begitu indah ditulis pengarangnya, dan latar cerita detil sekali. Aku bercita-cita kelak ingin merantau ke Padang. Bukankah ibuku orang Minang? Tentu saja impian paling besar dalam hidupku adalah menyinggahi tanah leluhur ibu.
Barangkali Andi tersinggung padaku. Tapi aku harus memberi dia pelajaran bahwa hidupnya sudah tidak normal. Ia harus sadar diri. Ia sedang dimabuk asmara meski itu dikenal sebagai cinta monyet. Entah apa pula cinta monyet itu. Mungkin seperti monyet jatuh cinta. Ah, aku pun tak pernah melihat monyet kasmaran apalagi sampai berkirim surat ke monyet lainnya.
***
DI RUMAH, seusai makan malam aku menyampaikan kepada Bapak dan Ibu jika sepekan lagi aku mengikuti Perjusami ke Langsa. Aku meminta izin. Bapak dan Ibu awalnya meragukan informasi yang aku sampaikan kepada mereka, tapi setelah aku jelaskan apa itu Perjusami, akhirnya kedua orang tuaku itu paham.
"Bagaimana dengan biayanya?" tanya Ibu yang merisaukan kalau-kalau ada pungutan.
"Tidak pakai biaya, Bu. Ditanggung sekolah. Cuma aku perlu membawa bekal sedikit uang saja, untuk jaga-jaga di jalan," jawabku.
Bapak tidak berkomentar. Ia hanya tersenyum. Seperti biasa, selama untuk kemajuanku apalagi kegiatan sekolah, Bapak selalu mendukung.
"Baik-baik di kampung orang," hanya itu kata Bapak.
Aku mengangguk. Aku senang sekali mendapat dukungan dari Bapak dan Ibu.
Sehabis percakapan itu aku memeriksa tugas-tugas sekolah, dan sebelum tidur aku membaca Alquran. Di Kruenggeukueh, aku belum menemukan tempat pengajian yang menurutku cocok untukku. Padahal Masjid Bujang Salim punya TPA/MDA yang ramai sekali santrinya. Aku hanya salat berjamaah di masjid megah itu.
Ketika masih berumah di Kampung Jawa Lama, Bapak memasukkan aku mengaji di Musala Jalan Perdagangan, di tempat kerja Bapak. Pengajian diasuh Ustaz Ismail dan beberapa ustaz muda lainnya. Dalam mendidik, Ustaz Ismail berkarakter keras, dan di tangannya selalu ada sebuah rotan panjang—tapi di luar kelas iya sangat baik dan ramah. Jika santri bermalas-malasan, sudahlah, rotan itu tak jarang melayang ke kaki, pantat, bahkan telapak tangan. Semua santri takut pada Ustaz Ismail, tak terkecuali aku. Tak ada yang berani melawan, apalagi mengadu kepada kedua orang tua di rumah. Tak jarang, jika mengadu, malah orang tua sering menambah lecutan lagi. Double hukuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Masa Kecil
Teen Fiction"Rumah Masa Kecil" adalah novel trilogi "Rumah di Tengah Sawah" yang ditulis Muhammad Subhan (Padangpanjang, Sumatra Barat). Novel ini berlatar Aceh, berkisah seorang remaja bernama Agam yang mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Negeri Tanah Ren...