KEPERGIAN Darmawi yang mendadak itu memukul batinku. Itulah pertama kali aku melihat jenazah terbujur kaku tak bernyawa dan dibaringkan di liang lahat. Tubuhnya berbalut kain kafan. Usianya sangat muda untuk kembali ke pangkuan Tuhan. Di dunia ia sering dihina orang, semoga di akhirat kelak ia menjadi manusia mulia lantaran belum berdosa.
Ibu Darmawi tak sadarkan diri sejak ia mengetahui anak satu-satunya itu meninggal dunia. Guru-guru dan murid di sekolahku datang melayat, tak terkecuali penjaga sekolah. Semua ikut berduka atas kepergian Darmawi, anak jago menggambar dan selalu memenangkan perlombaan menggambar di Kota Lhokseumawe. Dia anak yang disebut-sebut idiot, dungu, tapi hanya dia yang sering mengharumkan nama baik sekolah karena prestasi-prestasi menggambarnya.
Darmawi, sungguh aku bangga kepadamu.
Sepeninggal Darmawi, aku tetap bersekolah, meski hari-hariku terasa ada yang kurang. Dan, tak lama lagi aku akan meninggalkan sekolah itu. Tamat. Aku bertekad mewujudkan wasiat Darmawi agar kelak aku berkeliling dunia, menaiki pesawat terbang, seperti yang ia gambar di buku gambar yang dihadiahkannya kepadaku, sehari sebelum ia meninggal dunia.
Di pengujung sekolah, aku bertekad meraih peringkat terbaik. Aku ingin membuat Bapak yang tukang sol sepatu itu bangga. Aku ingin melihat Ibu yang tukang cuci dan penjual kue tersenyum haru menatapku.
Ah, aku sudah tak sabar segera tamat dari sekolah itu.
***
WAKTU terus berlalu. Gambar pesawat terbang yang dihadiahkan almarhum Darmawi sahabatku aku tempel di dinding kamar. Aku meminta Bapak membingkai gambar itu. Setiap malam sebelum tidur aku selalu memandangi gambar itu. Aku berkhayal, aku duduk di dalam pesawat terbang itu sembari melambaikan tangan keluar jendela dan tersenyum bangga kepada dunia. Aku ingin menjelajahi negeri-negeri jauh yang aku lihat pulau-pulaunya di buku peta yang ada di perpustakaan sekolah.
Di buku-buku Ensklopedia Dunia untuk anak-anak yang paling suka aku baca, aku lihat kekayaan alam negara-negara di Asia dan Eropa. Aku ingin menjelajahi semua itu. Aku yakin aku bisa. Aku harus menunjukkan kepada orang-orang bahwa anak tukang sol sepatu dan tukang kue ini mampu menjadi yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Di dalam mimpi aku sering bertemu Darmawi. Anak itu datang sembari tersenyum. Ia selalu membawa buku gambar. Dia melukis taman-taman yang indah di surga.
"Suatu hari nanti kau akan datang ke sini, dan kuajak bermain-main di taman istanaku," bisiknya.
***
MENJELANG tamat sekolah, aku dengar perbincangan serius antara Bapak dan Ibu. Bapak bilang kami akan pindah rumah. Pemilik rumah menaikkan harga kontrakan yang dua kali lipat besarnya dari harga semula. Tentu saja Bapak dan Ibu tidak sanggup. Rumah-rumah kontrakan di tengah Kota Lhokseumawe kian hari bertambah mahal saja. Kami tak pernah bermimpi membangun rumah sendiri, membeli tanah misalnya, lalu mendirikan rumah. Mustahil itu, sebab untuk makan saja susah.
"Ke mana kita pindah, Pak?" tanya Ibu. Wajahnya murung.
"Kita cari keluar kota, tentu lebih murah harga sewanya," jawab Bapak.
Ibu menarik napas dalam-dalam. Lalu melepaskannya pelan. Aku sangat merasakan betapa beratnya beban pikiran Bapak dan Ibu saat itu.
"Bapak punya kenalan di Kruenggeukueh, sebuah kampung di dekat Pabrik Pupuk ASEAN. Nanti aku coba menanyakan apakah ada rumah di sana yang bisa disewa," ujar Bapak kemudian.
"Berapa jauh kampung itu dari tempat kerja Bapak?"
"Setengah jam, naik bus kota."
"Jauh sekali. Bagaimana dengan pekerjaan Bapak nanti?" tanya Ibu bertambah was-was.
"Aku akan tetap kerja di Lhokseumawe, karena hanya pekerjaan itu yang aku bisa."
"Tentu uang keluar akan bertambah, untuk ongkos bus pergi-pulang, Pak?"
"Ya, mau gimana lagi. Kita harus berhemat, Bu. Semoga di daerah yang baru Allah menambah rezeki kita," jawab Bapak dengan penuh keyakinan.
Aku hanya menyimak berbincangan itu dari bilik kamar tidur. Aku bayangkan Bapak setiap pagi dan petang pergi pulang naik bus kota ke Lhokseumawe. Kalau Bapak lagi dapat uang aku maklumkan keadaan itu, tapi bagaimana jika dalam sehari tak seorang pun yang memanfaatkan jasa Bapak? Tentu tak ada uang yang akan dibawanya pulang. Mungkin saja Bapak akan meminjam uang kepada kawan-kawannya, tapi jika sering begitu hanya akan menambah beban pikiran Bapak, juga Ibu. Oh, Tuhan. Bukalah pintu rezeki kedua orang tuaku.
Bulan berganti, dan waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Aku mengikuti ujian akhir. Hasilnya, alhamdulillah, aku lulus.
Bapak tidak bekerja seharian itu. Bapak datang ke sekolah bersepeda onta dari rumah. Bapak berdebar-debar menunggu hasil pengumuman kelulusanku. Itu terlihat dari wajah Bapak. Bapak khawatir kalau aku tidak lulus.
Ketika namaku dipanggil kepala sekolah, Bapak maju ke depan kelas dengan tergopoh-gopoh. Bu Fauziah, kepala sekolahku, tersenyum melihat Bapak. Bapak menyalami Bu Fauziah penuh takzim dan ia duduk di depan meja Bu Fauziah yang di atasnya menumpuk rapor dan map berisi ijazah.
"Anak Bapak lulus, nilainya bagus. Selamat ya, Pak?"
Bapak melihat isi raporku. Paling rendah angka tujuh, paling banyak angka delapan. Beberapa angka sembilan. Bapak menoleh ke belakang dan memandangku sembari tersenyum bangga. Bapak tampak gembira sekali.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu."
Bapak kembali menyalami Bu Fauziah. Takzim.
"Ke mana Agam meneruskan sekolahnya?" tanya Bu Fauziah lagi.
Sejenak Bapak diam.
"Kami mau pindah rumah, Bu."
"Lho. Pindah? Ke mana?"
"Ke Kruenggeukueh."
"Oh, berarti si Agam akan sekolah di sana, ya?" tanya Bu Fauziah lagi.
Bapak mengangguk.
"Mohon doa Ibu semoga ada rezeki saya menyekolahkan anak saya."
"Amin. Teruslah si Agam sekolah. Dia anak yang baik dan rajin belajar. Jangan sampai terputus di tengah jalan," pinta Bu Fauziah.
"Insya Allah, Bu. Saya akan berusaha semampu saya."
Bapak pamit kepada Bu Fauziah. Sekali lagi Bapak menyalami kepala sekolahku itu. Tapi sebelumnya aku disuruh Bapak maju dan menyalami Bu Fauziah juga. Aku berdiri dan maju dengan agak malu. Aku salami tangan Bu Fauziah. Bu Fauziah memandangku sembari tersenyum. Kepalaku diusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
"Kau pasti akan merindukan perpustakaan sekolah ini. Nanti kalau sudah masuk SMP, makin giatlah baca buku di perpustakaan ya?"
Aku mengangguk. Bu Fauziah sering melihat aku membaca buku di perpustakaan sekolah. Ruang perpustakaan berada di samping kantor kepala sekolah. Aku suka sekali membaca buku, apalagi buku-buku cerita, komik khususnya.
"Terima kasih Bu," jawabku sembari berjanji akan mematuhi nasihat Bu Fauziah.
Bapak memboncengku pulang ke rumah. Di jalan, Bapak bersiul-siul. Ia tampak gembira sekali. Di belakangnya, aku duduk dengan tersenyum pula. Memeluk pinggang Bapak.
Satu urusan sudah selesai. Tamat sekolah dasar. Aku akan menjadi anak SMP, tak lama lagi. Tapi, mampukah Bapak menyekolahkan aku?
Ah, entahlah. Macam-macam saja pikiranku ketika menatap masa depan yang terasa buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Masa Kecil
Teen Fiction"Rumah Masa Kecil" adalah novel trilogi "Rumah di Tengah Sawah" yang ditulis Muhammad Subhan (Padangpanjang, Sumatra Barat). Novel ini berlatar Aceh, berkisah seorang remaja bernama Agam yang mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Negeri Tanah Ren...