PEKERJAAN tukang sol sepatu tidak begitu menjanjikan. Rezekinya rezeki harimau. Kadang ada, kadang tidak.
Bulan puasa apalagi menjelang hari raya adalah momen yang agak sedikit mendatangkan uang buat Bapak. Di hari-hari itu, orang yang memakai jasa Bapak lumayan banyak. Tentu lumayan juga uang yang dibawa Bapak ke rumah.
Bapak telah memutuskan tetap bekerja sebagai tukang sol sepatu. Mungkin pekerjaan itu yang cocok buat Bapak, di samping faktor usia juga. Bapak tidak mungkin lagi membuka warung kopi seperti di Medan, mengingat modalnya besar di samping tempat berjualan harus ada.
Membuka usaha sol sepatu yang lapaknya di samping sebuah gang pertokoan di tengah Kota Lhokseumawe membuat Bapak berurusan dengan petugas ketertiban umum. Beberapa kali Bapak nyaris digusur. Tapi untunglah pemilik toko dan pengurus musala membela usaha Bapak. Bapak pun diizinkan menjahit sepatu di lokasi itu. Andai digusur, aku tak dapat membayangkan bagaimana nasib kami.
Kondisi keuangan keluarga yang tidak sehat mengharuskan Ibu bekerja lebih keras. Ibu ikut meringankan Bapak. Di hari Minggu Ibu mengambil upah cucian di rumah orang dan kain kotornya dibawa pulang. Ibu menimba air sumur yang dalamnya lebih 15 meter. Sehabis dicuci kain digosok, sementara di hari Senin hingga Sabtu Ibu berjualan kue di sekolahku.
Sebelum azan Subuh berkumandang, setiap hari aku lihat Ibu sudah bangun dan memasak kue. Ibu membuat bakwan, risoles, kue lapis, dadar gulung, dan jagung grontolan yang dibungkus plastik. Tak heran di pagi buta itu dapur rumah kami sudah berisik dengan suara gorengan. Setelah kue-kue masak, Ibu meletakkannya di sebuah tampah penampi beras yang dialas dan ditutup sehelai plastik. Tampah itu dijujung Ibu di kepalanya dan dibawa berjalan berkeliling kampung maupun di sekolahku. Menjelang jam istirahat, aku lihat Ibu sudah menunggu di luar pagar. Kawan-kawanku membeli kue Ibu. Dari jauh aku memandang Ibu dan betapa letihnya ia bekerja sementara tubuhnya kurus dan tak terawat.
Di luar pagar sekolah tentu bukan hanya Ibu yang berjualan. Ada pedagang lain juga. Mereka berjualan di pondok-pondok kecil, semacam kantin, meski kondisinya jauh dari kantin-kantin yang layak. Mereka sudah lama berjualan di situ.
Ibu yang orang baru di lahan itu tentu saja menjadi gunjingan mereka. Kehadiran Ibu dianggap menjadi saingan dan mengurangi pendapatan mereka. Tapi Ibu tidak peduli. Ibu tetap berjualan. Alasannya aku bersekolah di situ. Hampir setiap hari aku dengar pedagang-pedagang itu mengata-ngatai ibu.
Suatu hari, Ibu menemui kepala sekolah. Ruang kepala sekolah bersebelahan dengan ruang perpustakaan. Aku sedang baca buku di perpustakaan. Bu Fauziah, kepala sekolahku, berdiri menyambut Ibu.
"Ada apa, Bu?" tanya Bu Fauziah.
Ibu tak segera menjawab. Ia tampak takut-takut. Wajah Ibu pucat, mungkin karena kelelahan.
"Saya... saya berjualan di luar pagar, Bu. Tapi... tapi..." ucapan Ibu tergantung.
"Tapi kenapa, Bu?" tanya Bu Fauziah penuh selidik.
"Tapi..."
"Ayo, katakanlah. Mana tahu saya bisa membantu."
"Terima kasih, Bu. Saya dilarang berjualan di situ...."
"Lho, kenapa?" Wajah Bu Fauziah terlihat serius memandangi Ibu. Muncul rasa ibanya.
"Saya tidak tahu, Bu. Mungkin karena saya orang baru," jawab Ibu polos.
Bu Fauziah berdiam sejenak. Ia pandangi dari jauh pondok-pondok pedagang di luar pagar. Mereka warga di sekitar sekolah yang mendapat kesempatan berjualan di sana, dan memang sudah lama.
"Begini saja, Bu. Mulai besok, Ibu boleh berjualan di dalam pagar. Ibu duduk di bangku taman itu," tunjuk Bu Fauziah ke arah bangku taman di bawah sepohon kayu besar yang rindang.
Ibu melongo. Seperti tidak percaya. Matanya berbinar. Senyumnya mengembang.
"Benarkah, Bu?"
"Iya, saya izinkan."
Tetapi sesaat kemudian wajah Ibu murung kembali.
"Tapi..."
"Tapi kenapa, Bu?" tanya Bu Fauziah heran.
"Saya khawatir nanti pedagang di luar akan bertambah marah kepada saya." Terdengar suara Ibu pelan, wajahnya memperlihatkan kecemasan.
Bu Fauziah tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundak Ibu, penuh perhatian. Sangat bersahabat sekali. Bu Fauziah usianya lebih tua dari ibu.
"Jangan khawatir, nanti saya beri penjelasan kepada mereka. Rezeki itu Allah yang atur. Semua sudah dibagi. Tak baik jika ada yang mencemburui rezeki pemberian Tuhan itu," ujar Bu Fauziah, bijak.
Mendengar ucapan Bu Fauziah, Ibu tersenyum. Ia mendapat karunia Tuhan yang sangat besar dapat berjualan di dalam pekarangan sekolah. Ibu mengucapkan terima kasih kepada Bu Fauziah, kepala sekolah yang baik hati itu.
Sejak mendapat izin berjualan di dalam pagar, pagi-pagi sekali sebelum pintu pagar ditutup penjaga sekolah, Ibu sudah masuk ke dalam pagar dan duduk di bangku taman. Ibu meletakkan tampah berisi kue-kuenya di bangku taman. Ibu duduk bermenung hingga waktu istirahat tiba. Dari balik jendela kelas aku lihat Ibu. Ia sangat sabar sekali.
Mulai hari itu terkenallah aku sebagai anak tukang sol sepatu dan penjual kue di sekolah. Beberapa kawanku meledek, dan aku sangat malu.
"Hei, Gam, lihat tuh ibumu. Minta dong gratis kuenya..." teriak Dudi, anak yang paling necis gayanya di sekolah. Anak orang kaya. Bapaknya dokter. Dia sombong dan nakal.
Suara Dudi didengar oleh kawan-kawanku yang lain. Mereka berbisik-bisik menyebut namaku. Sejak itu aku menjadi anak yang minder karena Ibuku berjualan kue di sekolah. Aku juga menjadi anak yang tidak percaya diri.
Setiap jam istirahat, aku duduk di perpustakaan. Dari jauh aku lihat kawan-kawanku mengerubungi Ibuku, mereka membeli kue yang dijual Ibu. Aku sendiri malu meminta kue kepada Ibu. Walau diberi uang jajan oleh Bapak, tapi aku tidak biasa jajan di sekolah. Uang itu aku tabung saja, dan setibanya di rumah aku beli roti cokelat yang dijual di warung. Roti cokelat itu paling aku suka.
Ibu berjualan di sekolah sampai jam belajar selesai. Kadang jualannya habis, kadang juga tidak. Jika tidak habis biasanya Ibu membawa pulang kue itu dan dibagi-bagikan ke tetangga sebelah rumah. Kadang juga aku pulang bersama Ibu, tapi lebih sering pulang sendirian. Sebelum sampai di rumah, Ibu juga menjajakan sisa kue yang tidak habis di jalanan. Kadang ada yang membeli, kadang juga tidak.
Ketika pulang bersama Ibu melintasi trotar menuju rumah kami di Kampung Jawa Lama, aku lihat Ibu murung. Aku tahu masalahnya, pasti soal uang kontrakan rumah yang tidak cukup. Beberapa hari lalu aku dengar Bapak dan Ibu berbincang di kamar soal uang yang kurang itu, ke mana hendak dicari? Penghasilan Bapak begitulah, kadang ada kadang tidak. Dagangan kue Ibu pun kadang habis kadang pula tidak.
"Ibu kenapa? Ibu sakit?"
Aku pandangi wajah ibu. Aku minta membawakan tampah kuenya yang isinya masih bersisa. Ibu tidak memberikannya.
"Tidak, Ibu tidak sakit," jawab Ibu.
Tapi perasaanku tidak enak. Sepanjang jalan aku dan Ibu banyak diam.
"Kau malu ibu berjualan di sekolah?" tiba-tiba Ibu bersuara. Aku terkejut.
"Siapa bilang, Bu? Tidak, kok," jawabku
"Kenapa kau tidak pernah mendekati Ibu di saat jam istirahat?"
Aku salah tingkah. Aku tak ingin mengatakan kepadanya kalau aku sering diledek kawan-kawan sebagai anak penjual kue. Aku takut Ibu bertambah sedih.
"Aku tak ingin mengganggu Ibu saja. Mohon Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak ya?"
Ibu diam. Wajahnya masih tampak murung. Aku juga diam.
"Ibu hanya ingin melihatmu," ujar Ibu memecah kesunyian.
Aku termenung.
Kami terus berjalan melewati Rumah Sakit Cut Mutia yang besar. Di jalan kendaraan berlalu lalang. Tak lama, kami tiba di rumah. Aku berganti pakaian, sementara Ibu kembali dengan kesibukannya di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Masa Kecil
Teen Fiction"Rumah Masa Kecil" adalah novel trilogi "Rumah di Tengah Sawah" yang ditulis Muhammad Subhan (Padangpanjang, Sumatra Barat). Novel ini berlatar Aceh, berkisah seorang remaja bernama Agam yang mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Negeri Tanah Ren...