SENIN pagi, sehari setelah latihan Pramuka, seusai upacara bendera, tiba-tiba corong pengeras suara dari arah kantor kepala sekolah mengumumkan kabar duka. Tadi malam, ayah Yudha, Pinru Regu Badak, berpulang ke Rahmatullah.
Innalillahi wainna ilaihi raajiuun....
Rupanya, Yudha tidak hadir latihan pramuka karena ia dan keluarga menunggui ayahnya yang sedang dirawat dan sekarat di rumah sakit. Ayah Yudha mengidap penyakit jantung, dan sudah sering masuk ke luar rumah sakit.
Aku terkejut mendengar kabar itu. Begitu juga guru dan teman-teman lainnya. Di sekolah, Yudha bisa disebut sebagai siswa yang sering menjadi pembicaraan karena prestasinya, khususnya bakat di kepramukaan dan sering menjadi pemimpin upacara bendera.
Sepulang sekolah aku ikut rombongan guru dan siswa bertakziah ke rumah Yudha di Tambun Tunong. Rumahnya ramai sekali, sebab didatangi pelayat lainnya. Sore itu juga jenazah ayah Yudha dimakamkan dan anak itu telah menjadi yatim. Tetapi Yudha terlihat tegar, meski air matanya jatuh menahan kesedihan sebab kehilangan tulang punggung keluarga.
"Semoga kau diberi kesabaran, kuat dan tabah," ujarku kepada Pinru Regu Badak itu.
Dia mengangguk, dan aku menyalaminya, juga kusalami ibu Yudha yang didampingi Ani, kakak Yudha. Kak Ani telah berkeluarga, dan konon setelah musibah itu, ibu dan Yudha akan tinggal bersama Kak Ani yang rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakan keluarga Yudha.
Usai membezuk, aku pulang. Tapi hatiku gelisah, sebab aku merasakan apa yang dirasakan Yudha. Hidup tanpa ayah tentu sangat berat. Aku bayangkan juga jika suatu hari nanti aku kehilangan sosok ayah, dan separuh jiwaku akan ikut hilang.
Sebelum ke rumah, aku singgah di sebuah toko buku di simpang empat. Aku suka melihat-lihat koran dan majalah di toko buku ini, sebab pemiliknya baik hati. Di toko buku inilah pertama kali aku membeli sebuah buku diary, agar tidak ketinggalan zaman sebab di masa itu teman-temanku banyak yang menulis catatan harian di buku diary. Simpananku dari pekerjaan ngesol sepatu beberapa hari lalu cukup membeli sebuah buku diary.
Setelah membayar di kasir, buku itu aku masukkan ke dalam tas. Sebelum pulang, aku membolak-balik isi koran dan majalah. Yang kucari adalah puisi maupun cerita pendek. Di koran, aku suka membaca puisi-puisi yang terbit setiap hari Minggu. Puisi-puisi itu aku kliping dengan menempelnya di selembar kertas HVS polos, lalu aku bundel untuk bacaan harian yang kuulang-ulang. Aku mempunyai pekerjaan baru yang asyik di sisa waktu luang.
Malam harinya, seusai belajar, aku membuka buku diary. Tapi aku dirundung risau sebab bingung harus menulis dari mana. Rasanya semua perlu ditulis.
Setelah termenung beberapa menit, mulailah pena kuayunkan di lembar pertama buku itu.
Diaryku....
Kau adalah kawanku saat ini. Izinkan aku berkabar, suka maupun duka, dan kumohon kau selalu bahagia.
Tahukah kau, jika siang tadi, aku melihat kedukaan yang begitu dalam dari seorang anak manusia, dan dia temanku: Yudha. Ayahnya meninggal dunia, dan aku menyaksikan ia sungguh tegar. Teman Pinru di reguku, Badak, dan dia seorang pemimpin yang baik. Sehari-hari dia ceria, dan tidak memilih-milih teman, terutama kepadaku.
Diaryku....
Seandainya kedukaan itu juga menimpa diriku, sungguh, aku tidak kuat, dan aku tidak berharap itu terjadi. Aku menyayangi Bapak dan Ibu, oh, Tuhan, sehatkan orang tuaku. Amin.
Itulah catatan pertamaku di buku diary bersampul gambar Menara Eifel. Aku baca ulang. Aku kurang puas. Aku coret beberapa kata, tulis lagi, coret lagi, terus begitu. Aku pikir menulis itu susah. Sama susahnya orang susah merasakan kesusahan. Ah, aku tidak berbakat menulis!
***
SUATU hari, di kelas dua, aku mulai tertarik membaca tulisan kawan-kawanku yang tertempel di majalah dinding (mading) yang terpajang di samping labor IPA. Aku pandangi mading yang terbuat dari kayu persegi empat seukuran setengah papan tenis meja, berbingkai kaca. Aku baca tulisan-tulisan di mading itu. Aku baca juga nama-nama penulisnya, serta dari kelas berapa mereka berasal. Ternyata lumayan banyak juga penulis di mading itu. Tulisan didominasi karya siswa kelas dua dan tiga.
Didorong rasa penasaran dan merasa keren jika karya sendiri dibaca guru dan siswa lainnya, aku mulai coba-coba menulis. Karya pertamaku sebuah puisi pendek, berjudul Tua. Aku gambarkan sosok seorang tua yang berjalan gontai dan hidupnya telah di ujung senja. Puisi pendek itu aku tulis tangan di selembar kertas, lalu kubingkai dengan lukisan penghias di sekelilingnya. Puisi itu aku masukkan ke dalam amplop, lalu aku serahkan ke pengurus mading melalui sebuah kotak kayu di samping papan mading.
Sepekan dua pekan aku menunggu karyaku itu, tapi belum muncul juga meski mading terus diperbarui setiap hari Senin. Aku tidak bosan mendatangi mading dan melihat kalau-kalau ada puisiku yang muncul.
Terbersit juga di pikiran jika aku tidak berbakat menulis. Aku ingin tutup buku saja. Ah!
Suatu hari, pada edisi mading berikutnya, aku dikejutkan dengan kemunculan puisi pendekku di papan mading. Ternyata karyaku itu diterbitkan juga. Aku baca berulang-ulang puisi itu yang di bawahnya tertera namaku. Aku tersenyum-senyum sendiri. Aku tidak tahu siapa pengurus mading yang baik hati telah membaca puisiku dan memilihnya untuk terbit di mading edisi terbaru. Andai tahu, aku ingin menyalaminya dan mengucapkan terima kasih.
Pembakar semangat memang sangat diperlukan, seperti pengurus mading sekolah memberi kesempatan kepada karyaku untuk terbit. Aku girang sekali. Hampir setiap hari aku menulis puisi-puisi pendek, dan rutin aku kirim ke pengurus mading agar tulisanku itu terbit lagi.
"Tidak kusangka kau bisa nulis juga," seru Andi, suatu hari di sesi latihan pramuka.
Aku tersenyum saja.
"Coba-coba, mana tahu keterampilan ini bisa aku kembangkan," jawabku bangga.
"Ya, teruslah," katanya.
Setiap kali selesai menulis, aku memperlihatkan tulisan itu kepada Andi. Ia membacanya, juga memberi masukan. Aku semakin termotivasi ketika mendapat respon juga dari kawan-kawan yang lain, termasuk guru. Mulailah aku dikenal sebagai siswa yang berbakat menulis, meski setiap kali tulisan terbit di mading aku merasa sangat tidak puas. Apa yang dikatakan orang bertolak belakang dengan apa yang kurasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Masa Kecil
Teen Fiction"Rumah Masa Kecil" adalah novel trilogi "Rumah di Tengah Sawah" yang ditulis Muhammad Subhan (Padangpanjang, Sumatra Barat). Novel ini berlatar Aceh, berkisah seorang remaja bernama Agam yang mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Negeri Tanah Ren...