"Setiap mendengar ceritamu tentang sosok yang kamu kagumi, entah mengapa itu membuat dadaku terasa sesak."
***
Alina terbangun dari tidurnya dengan wajah yang pucat, ia merasa lemas akibat kekurangan tidur. Entah mengapa semalam ia terus menerus muntah, pikirnya mungkin ini masuk angin.
Suara ketukan pintu terdengar tetapi Alina masih terbaring di tempat tidurnya, ternyata itu adalah mamanya. Vita–mama Alina masuk ke dalam kamarnya.
"Ternyata kamu udah bangun, Nak. Mama kira belum, kamu kenapa?"
"Aku gak apa-apa, Ma," jawab Alina lemas.
Vita mengernyit, sepertinya anaknya sedang sakit. Suaranya lemas dan wajahnya pucat, ia menyimpan telapak tangannya di dahi anaknya untuk mengecek suhu tubuh.
"Kamu sakit?"
Alina menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok, Ma."
"Iya, sih. Badan kamu gak panas soalnya," ujarnya sambil terus mengecek suhu tubuh Alina. "Tapi, kenapa kamu kayak lemas gitu?" lanjutnya.
"Gak tahu, Ma. Mungkin kemarin aku begadang."
"Begadang? Kenapa bisa?"
"Kemarin malam perutku gak enak, aku mual terus muntah-muntah. Gak tahu kenapa," rengeknya.
"Yaudah kamu gak usah sekolah hari ini, nanti mama panggilin dokter untuk cek keadaan kamu."
"Gak usah, Ma. Aku mau sekolah aja," pintanya.
"Enggak boleh, nurut sama mama, ya. Nanti kamu pingsan di sekolah gimana? Mama khawatir nanti," larangnya sembari tangannya mengusap lembut puncak kepala Alina.
Perempuan itu menghela napasnya pelan. "Yaudah deh, Ma."
Sejujurnya ia ingin sekolah, karena dengan bersekolah ia bisa melihat Aldan. Padahal rencananya ia akan membawakan bekal untuk lelaki itu.
Mamanya sudah pergi dari kamarnya, kini Alina melamun memikirkan Aldan yang saat ini sering menghubunginya semenjak lelaki itu mengantarkannya pulang ke rumah, sehingga membuat ia tersenyum sendiri mengingatnya.
***
Aldan tengah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari ini ia akan membawa mobil agar bisa mengajak Alina berangkat bersama.
Ia menata rambutnya dengan bibir yang tak henti menyunggingkan senyuman, ia harus terlihat perfect di mata Alina. Perempuan itu selalu ada dalam bayang-bayangnya, ia merasa Alina memiliki perasaan yang sama kepadanya.
Saat Aldan berjalan menuju meja makan, ia menemukan adiknya sedang sarapan sendiri tanpa diteman mama dan papa. Mesya menunjukkan raut sedihnya, sehingga lelaki itu merasa iba kepada adiknya.
"Mesya, kamu kenapa sedih?" tanya Aldan lembut.
Mesya menatap kakaknya dengan mata yang sedang menahan air mata yang akan keluar. "Mesya, pengen makan sama mama dan papa."
Lelaki itu tersenyum getir, ia mengusap puncak kepala adiknya. "Sayang, mama dan papa lagi sibuk kerja. Kamu harus bisa ya makan tanpa adanya mereka, kan Mesya anak yang pintar, baik, dan kuat."
Air mata adiknya keluar dengan deras membasahi pipinya, lalu ia berhambur memeluk Aldan. "Ta-tapi Mesya ili ... hiks ... hiks ... sama olang-olang yang bisa makan sama mama dan papanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIPLE A [REVISI]
Teen FictionSebuah kisah sederhana tentang Alana yang mencintai Aldan. Dan tentang Aldan yang begitu mencintai Alina. Tentang luka yang harus di terima. Dan tentang sebuah pengorbanan yang sangat berkesan. Semoga kalian menyukai kisah sederhana ini. Kisah Alana...