Tak Usah Banyak Harap

13 2 0
                                    

Pernah waktu itu sudah mulai merasa banyak yang harus aku ceritakan pada raga lain. Merasa agar tidak sendiri. Sudah menyiapkan akan bercerita ini itu. Sudah berekspetasi pada dia yang setidaknya jadi teman penenang. Dengan hati yang masih  bertanya cerita atau tidak. Tapi kata-kata yang ada dalam hati seakan sudah ingin memberontak keluar. Memberanikan diri pada dia untuk bercerita. Satu, dua, dan masih banyak cerita aku utarakan. Dengan hati yang masih bercampur aduk. Menunggu balasan pada sang penerima pesan. Mulai terdengar dua notif yang ditunggu. Mengkliknya dengan harap jawaban sesuai ekspetasi. Mulut mulai membaca. Nyatanya, pesan sangat singkat. Memahami yang disampaikan. Ya, benar seperti itu. Benar sekali. Kata dia "kembali pada-Nya". Sangat bermakna. Namun, diri ini berkata "aku sudah tau perihal demikian, aku sudah mencoba untuk selalu dekat dengan-Nya" tak pernah, tak ingin, dan tak terlintas untuk jauh dari-Nya. Aku menerimanya dan tak berkata apa-apa lagi. Mengirim balasan terima kasih padanya. Namun, setelah berkata begitu yang mengirim pesan menghilang tidak menyaut lagi balasanku. Oh ini maksud-Nya jangan terlalu berharap pada manusia. Oh ini maksud-Nya jangan terlalu berekspetasi terlalu tinggi. Dirinya yang dianggap dekat saja seperti demikian. Dan pada akhirnya, semua masalah, semua yang aku ceritakan, semua yang aku rasakan, aku telan lagi sendiri. Pahit. Gaenak. Tapi, bagaimanapun ini hidupku. Aku sendiri yang harus jalaninya. Maka, aku sendiri yang harus menyelesaikannya. Dan pada akhirnya yang aku takutkan terjadi 'masalahku' memuncak pada suatu hari. Aku sendiri tidak mampu menahannya. Bertahun sudah aku memendam. Satu hari itu jadi hari pelampiasan aku mengutarakan dengan tak semestinya. Seharian. Dan bekasnya sampai saat ini masih terasa.
Kamu tidak salah. Kamu baik. Kamu hebat. Makasih

By : Roslina Sutansyah
Salam hangat untuk kamu

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang