1

67 9 5
                                    

  Di depan pagar hitam yang menjulang tinggi, duo kembar ini berdiri saling menatap. Melihat setiap orang yang masuk dan keluar memakai jas merah berlogo bulan. Saling memantapkan niat, akhirnya duo kembar pun melangkah masuk ke dalam sekolah barunya, Moon Red Senior High School. Salah-satu dari keduanya tiba-tiba melihat kilasan memori akan bangunan megah yang ada dihadapanya.

"Arghh ...," rintih Alvis.

Memori-memori itu diputar dalam benak seperti film lama yang telah usang. Menghadirkan rasa yang tak dimengerti olehnya. Akan tetapi, saudaranya (Malvin) tak menghiraukan itu dan memilih tetap berjalan memasuki area sekolah.

Di dalamnya sudah banyak siswa dan siswi yang berjalan mengitari antero sekolah. Tentunya duo kembar ini juga seperti mereka, mereka melihat-lihat bagaimana keadaan sekolah barunya.

Tak lama kemudian, suara bel pun berbunyi. Setelahnya, disusul dengan suara pengumuman dari toa sekolah.

"Selamat pagi, semua! Diharap bagi siswa dan siswi baru Moon Red Senior High School segera berbaris di lapangan, kami akan memberi sedikit pengumuman. Terima kasih."

Semua murid baru pun bergegas menuju lapangan sekolah. Berbaris dengan rapi layaknya akan ada apel mingguan. Entah apa yang akan disampaikan pihak sekolah, yang jelas mereka menurut saja.

Pada apel itu mereka diberitahu tentang visi dan misi sekolah, peraturan-peraruran sekolah, ekstrakulikuler, jurusan, dan organisasi yang ada di sekolah.

Sebagai murid baru, tentunya Malvin dan Alvis tidak akan membuat banyak ulah. Bahkan, mereka terlihat biasa-biasa saja. Sedari tadi tidak ada orang yang berkenalan dengan mereka berdua, tapi mereka menyadari,bahwa banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua.

"Lo ngerasa?" tanya Malvin pada Alvis.

"Iya, gue ngerasa." jawab Alvis sembari menyibakkan rambutnya.

Seperti murid baru semestinya, mereka diajak untuk mengitari sekolahan. Mereka diberi tahu di mana letak :  kelas sepuluh, sebelas, duabelas; letak koperasi, kantin, perpusatakaan; laboratorium ipa, bahasa dan ruang komputer;  masih banyak lagi.

Entah mengapa setelah mengetahui tempat-tempat di sekolah ini, Malvin dan alvis merasakan kejanggalan di sekolah ini. Entah pada masa lalu, bahkan masa yang akan datang.

Tak ingin terlibat dalam pikiran yang rumit, mereka berdua memilih tidak peduli.

"Jadi paham sampai di sini?" tanya OSIS pembimbing, di akhir penjelasannya mengenai letak sekolahan.

Semua siswa dan sisiwi baru mengangguk mengiyakan, kecuali dia. Anak yang sedari tadi melakukan polah.

"Gue gak paham, Kak!" ujarnya nyaring sampai menarik banyak pasang mata ke arahnya.

"Apa? Biar saya jelaskan ulang," jawab OSIS pembimbing dengan sabar.

"Di sana, yang di sana apa?" tanyanya sembari menunjuk pintu lusuh di sebrang taman.

"Saya juga tidak tahu, yang jelas tidak ada yang boleh pergi ke gudang itu."

Jawaban itu tentu membuat banyak siswa dan siswi bingung, mengapa tidak boleh? Apa karena kotor dan tidak bersih, apa karena itu bangunan yang sudah tidak dipakai, atau yang lain.

Saat Alvis menoleh ke arah pintu itu, lagi-lagi dia merasakan kilasan memori yang telah usai.

"Argh ...."

"Berasa lagi?" tanya Malvin yang hanya dijawab dengan satu anggukan.

"Baiklah, jangan terlalu dipikirkan, yang jelas kawasan itu dilarang. Lihat garis merah di sana," ucap OSIS pembibing sembari menunjuk garis merah panjang dengan lebar kira-kira sejengkal.

"Itulah batasnya. Jadi, kita gak boleh ngelewatin garis merah itu," sambungnya.

"Kalau melanggar?" tanya seseorang dari barisan siswi.

Osis pembimbing itu hanya mengangkat tangannya pertanda tak tahu. "Baiklah, karena sudah selesai. Kalian boleh istirahat," ucap OSISa pembimbing kemudian berpamitan meninggalkan para siswa dan siswi.

Malvin dan Alvis berjalan beriringan menuju kantin, banyak pasang mata melihat ke arahnya. Entah karena terpukau dengan pesona keduanya, atau hanya kagum dengan keajaiban yang diciptakan Tuhan. Ya, keajaiban menciptakan dua manusia berwajah sama.

Mereka berdua tiba di kantin, sedari tadi tidak ada orang yang meminta berkenalan dengan mereka. Entah, meraka berdua juga sama saja. Introvent memang sulit untuk mengawali pembicaraan.

"Pesan apa, Dek?" tanya ibu kantin setelah keduanya duduk.

"Emm---" Belum sempat Malvin menjawab, tapi omongannya sudah disambar saja oleh orang aneh di hadapanya.

"Gue duduk di sini, ya? Bi, saya pesen nasi goreng cumi satu, es teh satu. Terima kasih," ucap  siswa itu yang mampu membuat Malvin, Alvis, dan Ibu Kantin tercengeng.

Merasa dirinya sedang ditatap oleh tiga orang sekaligus, dia berujar, "Kenapa?" Tidak ada rasa bersalah, bahkan terlihat biasa saja.

"Kita samain aja, Bu," tukas Malvin pada ibu kantin, sedang Alvin hatinya sudah menyumpah serapahi siswa aneh di hadapannya.

"Baik," jawab Ibu Kantin kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.

Sekarang arah pandang Malvin dan Alvis tertuju pada siswa aneh itu, sedang yang ditatap seperti tidak merasakannya. Dia malah membuka satu bungkus kuaci dan memakannya tanpa berbagi.

"Ck," decak Alvis yang mampu membuat siswa aneh itu menoleh.

"Oh, gue lupa. Apa kalian mau?" tanyanya yang dihadiahi gelengan oleh Malvin dan Alvis.

Siswa itu hanya mengangkat bahunya acuh dan kembali memakan kuacinya. Malvin dan Alvis saling memandang, kemudian keduanya saling menggeleng menatap siswa gila itu.

"Ini silakan," ucap Ibu Kantin sembari membawa hidangan mereka bertiga.

"Terima kasih, Bu," jawab Alvis.

Kemudian Ibu Kantin itu pergi meninggalkan mereka. Malvin dan Alvis sudah tidak sabar ingin menyantap nasi goreng di hadapannya. Saat satu suapan hendak masuk ke dalam mulut.

"Kalian kembar, ya?"

Karena geram, Alvis pun angkat bicara, "Ya, kita kembar!" Dan jawaban Alvis pun hanya dijawab anggukan oleh siswa aneh bin gila di depan mereka berdua.

Satu suapan lagi-lagi tertunda karena suara siswa di depannya ini. "Kenalin, Gue Mark Sanjaya. Biasa dipanggil Mark, dipanggil ganteng juga gak papa," ujarnya sembari mengulurkan tangan.

Malvin dan Alvis menyalami Mark dengan rasa sebal, ketara sekali dari ekspresi wajah keduannya.

"Malvin Haddad Anendra, Malvin," ucap Malvin.

"Alvis Haddad Anendra, Alvis," ucap Alvis.

Malvin dan Alvis langsung bergegas menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Tak peduli bagaimana ekspresi Mark, yang jelas ini saatnya makan bukan wawancara atau perkenalan.

"Lo pada laper banget, ya? Kayak gak pernah makan setahun." Kata-kata itu sukses membuat Malvin dan Alvis berhenti makan.

Mereka berdua memandang Mark dengan tatapan tidak suka, sedang yang di tatap itu malah asik tertawa tidak jelas. Gila, akan tetapi tawanya itu langsung berhenti saat ada segrombolan OSIS masuk ke dalam kantin.

"Oh iya, lo pada penasaran gak sama gudang terlarang itu?" tanya Mark di akhir tawanya.

___________

Percayakah kalian dengan anugerah? Ya, seseorang yang mendapat karunia dari Tuhan. Tidak sembarang orang dapat memilikinya, mereka langka. Hanya orang-orang terpilih yang dapat merasakannya.

Tetep stay di cerita ini, ya!

Dimensi WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang