2

41 8 0
                                    

Sedari sepulang sekolah tadi, Alvis terpikirkan oleh perkataan Mark. Sebenarnya dia juga penasaran dengan gudang terlarang itu.

Alvis berjalan keluar kamarnya, dia hendak mengambil minum di dapur. Niatnya itu terbatalkan karena saat keluar dia bertemu dengan Malvin.

"Bang, lo penasaran gak?" tanya Alvis langsung kepada intinya.

"Penasaran? Penasaran apaan?" tanya Malvin sembari berjalan mendahului Alvis.

Alvis diam tak menjawab, dia ikut menuruni anak tangga dan berjalan mengekori Malvin di belakangnya.

Kini mereka berdua duduk santai di depan televisi yang menyala, tetapi pikiran mereka tak ada disana. Entah, sudah melayang kemana.

"Eh, Dek! Lo tadi bilang penasaran? Penasaran apa emang?" tanya Malvin yang teringat dengan pertanyaan Alvis beberapa menit lalu.

"Perkataan Mark di sekolah tadi," jelas Alvis sembari melirik Malvin. "Btw, lo jangan pangil gue Adek dong, Bang!" sambung Alvis dengan kesal.

Mendengar perkatan Alvis yang selalu mengelak dipanggil Adik, Malvin malah semakin gemas dengan adiknya itu, "Ututu, apa sih Dedek gemess," ujarnya dengan menoel-noel lengan Alvis.

Merasa jijik dengan perilaku sekaligus nada bicara abangnya, Alvis memutuskan bergegas pergi  meninggalkan Malvin sendirian di ruang tamu. "Udahlah punya abang nyebelin amat!" gerutunya.

Sebenarnya Malvin sudah tau kemana alur pembicaraannya dengan Alvis. Hanya saja, dia ingin menjahili adik kecilnya itu.

Jangan lupakan juga, bahwa Malvin cukup penasaran pula dengan gudang sekolah yang mempunyai batas terlarang itu. Malvin merasa, jikalau ada sesuatu di balik eksistensi gudang itu.

Tak ingin membuat pikirannya pusing dengan sia-sia. Kini Malvin sudah menepis semua pemikiran tentang gudang terlarang itu dan mulai fokus kembali pada tayangan televisi.

¤¤¤

Di sisi lain, Alvis sedang berbaring di kamarnya. Kamar yang didominasi warna abu-abu itu tampak sangat menyegarkan mata, sedangkan sang pemilik kamar mulai mengatur nafas dan memjamkan mata. Alvis bersiap-siap menjelajah alam mimpi, siapa tahu mimpinya dapat memecahkan sebuah misteri.

Tak menunggu lama, Alvis pun sudah terjun ke alam mimpinya.

Alvis menatap sekelilingnya dengan asing. Pasalnya, sebelum itu dia tak pernah memasuki ruangan ini. Ruangan yang didominasi dengan cat putih sedikit kusam, serta bercak darah yang tercecer bagaikan karpet luas alas ruangan. Di bagian pojok, tampak sebuah kursi kayu berbekas cairan merah kering bagai cat yang sengaja dituang pada kursi. Sepertinya, kursi itu selalu dipergunakan saat mengeksekusi. Dan satu lagi, bau anyir seperti menjadi ciri khas parfum di ruangan ini.

Perlahan Alvis mendekati kursi itu. Dengan hati yang ragu, Alvis menyentuhnya, tiba-tiba sebuah adegan mengerikan terpampang jelas di depan matanya. Tampak seorang pria tengah menyiksa seorang wanita, bahkan mungkin berniat membunuhnya.

Akan tetapi, anehnya Alvis tidak dapat melihat wajah mereka. Padahal Alvis tepat di depan mereka, seolah-olah ada sebuah mantra yang melindungi jati diri mereka.

Tampak seorang wanita yang tergeletak tak berdaya di sana. Sekujur tubuhnya telah dipenuhi luka dan bermandikan darah, tetapi hal tersebut tak membuat sang pelaku iba untuk sekedar memberi jeda. Lelaki itu terus-menerus menyiksa wanita yang telah menjadi mangsanya.

"Oh, ayolah. Jangan menutup matamu, Baby." ucap pria itu dengan kesal menghadap wanita yang tengah berada di bawahnya.

"Aku mohon hentikan ... langsung saja membunuhku. K—kenapa kalau terlalu lama menyiksaku? Apakah ... tidak ada rasa iba sedikitpun di hatimu?" tanya sang wanita dengan suara lirih.

"Jangan banyak bicara, Baby! Aku tak suka mendengarkan suara sialanmu itu!" ucap sang pria sembari mengukir sebuah gambaran dipipi wanita itu.

"Jarimu terlalu cantik, Baby. Apakah aku boleh memilikinya?" tanya sang pria itu dengan nada manja tetapi penuh dengan penekanan.

Srettt....

Pisau yang dipegang pria itu memotong jari-jari sang wanita dengan sempurna, darah mengucur deras dari jari-jari wanita itu. Sedangkan jarinya sudah berserakan terlempar kemana-mana.

Alvis tak tahan melihat itu semua. Rasanya Alvis ingin enyah dari sana, tapi apa daya? Kakinya sama sekali tak dapat digerakkan, seakan-akan ada magnet yang menempel diantara kaki dan lantai ruangan.

Ternyata belum selesai di situ, sang pria kini memegang kapak bersiap untuk memenggal kepala sang wanita.

"Aaaaaaaa!"

Tepat saat kapak itu melayang di atas, Alvis terbangun dengan nafas yang memburu, keringatnya bercucuran dengan deras dari pelipis. Mimpi yang baru saja dialaminya terasa begitu nyata dan sangat mengerikan. Banyak sekali kejanggalan di dalamnya, tetapi kenjanggalam semacam apa itu. Alvis pun juga tak banyak tahu tentang itu.

Alvis melirik jam yang ada di atas nakasnya, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Dia harus bergegas mandi dan pergi kesekolah bersama Malvin. Kali ini Alvis dan Malvin akan mengkuti kegiatan MOS di sekolah barunya.

***

Kini, Alvis dan Malvin sedang berbaris rapi di lapangan sekolah bersama murid-murid baru lainnya.

Menurut perbincangan teman-temannya, hari ini akan ada semacam pembagian kelompok untuk kegiatan MOS yang berlangsung di hari besok.

Di depan sana sudah ada kepala sekolah, sebagian guru, dan para OSIS. Kepala sekolah mulai berucap tentang sambutan-sambutannya dan diteruskan oleh para OSIS yang mengumumkan tentang nama-nama kelompok.

"... anggota Planet Yupiter, Alvis, Jo, Malvin, Mark, dan Sherin ...," ucap kakak OSIS itu dilanjut dengan nama-nama anggota yang lain.

Malvin dan Alvis saling menatap, Alvis tersenyum sembari menaikkan alisnya. Malvin dibuat terkekeh kecil oleh Alvis, sungguh adiknya itu memang menggemaskan.

Sedang dari arah barisan utara, ada siswi yang mendumel hebat karena pembagian kelompok yang tidak adil menurutnya.

"Ish, gak adil! Masa gue cewek sendiri sih, iyuuh," gumamnya sembari mempermainkan ujung rambut keritingnya.

Tanpa siswi itu sadari, teman di sampingnya mendengarkan dumelnya itu, "Eh, Sherin! Emang lu gak mau sekelompok sama Mark? Dia cogan tau ...," ucap temannya setengah berbisik.

Mendengar kata cogan terucap dari mulut temannya itu, mata Sherin langsung melotot seperti ingin lepas dari tengkorak matanya. Bagaimana tidak, Sherin adalah pencita lelaki tampan.

"Serius lo?! Wah ... jadi gak sabar pengen ketemu Mark," cetus Sherin sembari mengibaskan rambut keritingnya ke belakang.

Wacheng

Seketika terdengar suara bersin tepat di belakang Sherin berdiri.

Sherin menoleh ke belakang, dilihatnya seorang pria jangkung dengan kulit pucat yang menatapnya dengan sorot mata tajam. Buru-buru Sherin menatap kembali ke arah depan, karena dia sudah punya firasat buruk dari pria tepat di belakangnya itu.

Puk

Sherin merasa ada yang menepuk pundaknya. Dia menoleh ke pria tadi dengan sedikit tersenyum kikuk.

"Lain kali kalo ngibasin rambut lihat-lihat dulu, orang bisa bersin karena bau rambut lo," ucap pria itu datar tapi menohok.

Sherin tersenyum kikuk dan mengucapkan kata maaf, setelahnya dia kembali menatap ke arah depan dengan wajah merengut.

Lain kali kalo ngibasin rambut lihat-lihat dulu, orang bisa bersin bau rambut lo. Hilih, gua keramas sehari lima kali ya. Sorry!

Batin Sherin mulai bermonolog mengejek pria itu, tanpa Sherin sadari ada yang bibir yang sedikit tertarik keatas karena kata-kata di batinnya.

_______

"Penasaran itu hal yang wajar, yang tidak wajar itu perasaan."

-Dimensi Waktu
____________

TBC.

Dimensi WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang