🍃5

3.2K 271 4
                                    

Ku tahan tawa di dalam hati dan tetap mengeluarkan ekspresi marah.

"G-Gus, jangan begitu ekspresinya. Nanti banyak keriput," ceplosnya.

"Minggu depan, hafalkan lima puluh nadhom," ucapku lalu meninggalkannya pergi.

"Lima puluh? Yang bener aja ini, Gus," guman Atun terkejut.

Ku langkahkan kaki menuju ndalem.

"Om," panggil Ning Azhra yang keluar dari kamar asramanya.

"Dalem, ada apa, Ning?" tanyaku.

"Ummah belum kesini lagi ya, Om?" tanya Ning Azhra.

"Belum sayang. Udah rindu sama Ummah ya?" tanyaku balik.

"Nggih," jawabnya lesu.

Bagaimana tidak rindu, usia yang sangat muda memilih untuk mengaji di pesantren dan meninggalkan keluarga di sumatra.

"Jangan lesu gitu. Nanti Om beliin coklat, oke," ucapku.

"Wah, siap deh."

Pov Gus Fuad Off.

*****
Pov Gus Faid.

"Udah selesai, Mas?" tanyaku ketika melihat Mas Fuad memasuki ndalem.

"Udah," jawabnya singkat.

"Atun hadir?" tanyaku.

"Iya, tapi terlambat," jawabnya.

"Terus njenengan takzir? Apa takzirnya, Mas?"

"Nggih, kan sudsh peraturan pesantren. Cuman hafalan lima puluh nadhom alfiyah," jawabnya tanpa ada rasa bersalah.

"Jahat njenengan, Mas. Njenengan saja di suruh hafalan lima puluh nadhom alfiyah butuh waktu tiga minggu. La ini cuman njenengan kasih waktu satu minggu," ocehku.

"Kita liat nanti. Mas juga nggak akan kasih takzir hafalan banyak kalo santrinya nggak mampu. Mas yakin dia pasti mampu," balas Mas Fuad kemudian melangkah menuju dapur.

Aku hanya diam dan berfikir bagaimana wanita tersebut mampu menghafal lima puluh nadhom alfiyah dalam waktu satu minggu.

Ku buka kitab alfiyah ibnu malik dan mulai membacanya. Sebenarnya sudah khatam kitab ini, hanya saja wanita itu mengingatkanku dengan kitab ini. Tidak lama lagi wisuda alfiyah di pesantren Abi. Pada saat itu pula, wanita tersebut menetukan calon suaminya. Ku harap dia memilih yang terbaik di antara yang terbaik.

Setelah salat dzuhur, aku berpamitan dengan Abi dan Umi untuk mengajar di asrama putri. Sedangkan Mas Fuad mengajar di asrama putra.

Ku langkahkan kaki keluar ndalem. Langkah demi langkah ku iringin dengan membaca shalawat nabi. Setiap berpapasan dengan santri putri, mereka selalu menyapa. Entah hanya sekedar basa basi atau mencari sensasi. Terlebih lagi santri yang baru satu bulan masuk, ganjennya melebihi santri senior.

Aku memasuki kelas Khadijah. Seluruh santri putri telah menungguku.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka.

Setelah duduk, aku melihat ke arah para santri. Tunggu, sepertinya ada yang kurang.

"Ada yang belum dateng?" tanyaku.

"Ada, Gus," jawab mereka bersamaan.

"Siapa?" tanyaku.

Belum sempat mereka menjawab, ada ucapan salam di depan pintu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawabku.

Kisah Cinta si Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang