🍃12

3.4K 308 16
                                    

Kami melaksanakan shalat magrib berjamaah di masjid pesantren. Kali ini Abi meminta Gus Lana untuk menjadi imam. Suara merdu serta hafalan surat dan pembacaan tajwid yang tepat, membuat kami semua larut dalam suasana. Berharap bacaan ini tidak akan pernah terputus. Memang Gus Lana adalah mantu Abi yang terbaik.

Setelah selesai shalat, Abi berjalan di depan kami dengan menggandeng Gus Lana. Dari sore tadi, aku heran kenapa Abi selalu mengutamakan Gus Lana.

"Abi kenapa to, Id? Tumben," tanyaku kepada Faid.

"Nanti juga njenengan tau, Mas," jawab Faid.

Padahal aku meminta penjelasan, tetapi malah di beri teka-teki.

Setelah selesai salat, kami makan bersama-sama dalam satu meja makan, termasuk Ustadz Khoirul dan Mbak Atun. Seperti biasa, Ning Dina selalu mengambilkan nasi untuk kami, kecuali Ustadz Khoirul. Biasanya setelah mengambil nasi, Ning Dina akan langsung makan, tetapi kali ini berbeda. Gus Lana memintanya untuk sekalian mengambil beberapa lauk dan sayur. Tidak hanya Gus Lana yang di ambilkan lauk dan sayur, tetapi juga Azam dan Azhra.

Tunggu, ada yang aneh antara Ning Dina dan Gus Lana. Sejak kapan mereka duduk bersampingan? Biasanya hanya berhadapan, karena meja makan kami berbentuk oval.

Ah, sudahlah. Mungkin memang si dedek bayi yang masih di dalam perut ingin berdekatan dengan Abinya.

Sebelum makan, kami tidak lupa membaca doa yang biasa dipimpin oleh Azam. Setelah itu kami lanjut menyantap makanan.

Keheningan menyelimuti suasana makan kami. Sudah biasa suasana ini hadir ketika makan, sebab Abi melarang kami untuk berbicara ketika makan. Apalagi mencela rasa makanan.

Seperti biasa, kami selalu makan menggunakan tangan. Entah mengapa ketika makan menggunakan tangan itu rasanya berbeda. Biarpun hanya makan sambal bawang dengan nasi pun akan terasa nikmat.

Setelah selesai makan, kuambil buah jeruk untuk pencuci mulut. Tiba-tiba netraku terfokus pada Ning Dina dan Gus Lana.

"Ning, tolong suapin minum ya. Tanganku kotor," pinta Gus Lana.

Ning Dina selalu menurut apa yang di perintahkan oleh suaminya. Dia rela menahan rasa malunya demi baktinya untuk sang suami.

"Wes, jomblo tak ngaleh," ucapku sambil membawa tiga buah jeruk dan satu toples kurma.

"Eh, Mas, itu kurmanya Faid," ucap adikku kemudian berjalan mengikutiku.

Kuletakan toples kurma dan jeruk di lantai ruang tamu. Membuka kulit jeruk lalu mulai memakannya.

"Jomblo kok gini-gini amat ya," ucap Faid tiba-tiba.

"Makanya, Id, nikaho," balasku dengan penuh penekanan pada kata 'nikaho'.

"Iya sih, Mas, yang bentar lagi mau nikah," lanjutnya kemudian mengambil toples kurmaku.

"Marah sih marah, tapi bagi ngapa kurmanya."

Akhirnya kami berebutan toples kurma, hingga Gus Lana melerai kami.

"Kok kaya Azam sama Azhra, hehe," ledeknya.

"Eh, Azam kan udah nggak pernah rebutan lagi sama Azhra, Bi," protes Azam.

"Wes, giliran Abi sama anaknya yang berantem," ledekku sementara Faid tertawa jahat.

Guyonan kami berheti ketika mendengar langkah Abi mendekat. Segera Abi duduk di samping Gus Lana, sementara aku duduk di antara Faid dan Ustadz Khoirul. Sedangkan kaum wanita berada di ruangan mereka.

Aura keseriusan terpancar dari wajah Abi. Abi menatap kami satu persatu.

"Ada apa to, Id?" tanyaku dengan berbisik.

Kisah Cinta si Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang