🍃22

2.6K 276 54
                                    

Ketika sedang fokus merapihkan diri, netraku fokus dengan tatanan make up di atas meja rias. Ada macam-macam make up dengan farian warna dan bentuk berbeda-beda. Aku membaca satu persatu manfaatnya. Baru juga tiga produk yang aku baca, kepala ini sudah pusing. Hampir semua produk khusus untuk wajah. Lalu bagaimana bisa wanita menggunakan semua produk ini dalam satu kali pakai?.

Tiba-tiba aku mendengar suara gagang pintu yang di tarik ke bawah. Segera aku menatap ke arah sumber suara.

Ningku telah selesai merias diri, menggunakan pakaian berwarna merah maron. Ini kali pertama aku melihat Ningku berpakaian selain warna hitam. Lirikan sekilas dari netranya menandakan rasa malu pada dirinya. Hanya hitungan detik saja netra kami saling bertemu, setelah itu kami kembali menunduk.

Ning Ifah duduk sisi kanan tempat tidur, sementara aku duduk di sisi yang lain. Saling diam dalam keheningan. Hanya lantunan ayat suci Al-Qur'an dari pengeras suara masjid pesanter yang menemani keheningan kami, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga ketukan pintu dari luar membuyarkan keheningan ini.

"Ning, Gus, di panggil Abah dan di tunggu di meja makan," ucap seseorang dari luar.

"Nggih," jawab kami bersamaan.

Aku menata Ning Ifah dan mempersilahkan dia untuk jalan terlebih dahulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.

Di meja makan sudah ada Abah Ansori, Kiyai Hasyim serta Bu Nyai yang sedang menunggu kami berdua.

Menikmati masakan khas Turkey yang di buat langsung oleh Bu Nyai. Rasanya sebelas duabelas dengan yang aslinya. Pandanganku tertuju pada kebab yang masih mengepul. Ingin rasanya mengambil kebab tersebut, tetapi masih ada kecanggungan di hati. Hingga Ning Ifah memberikan piring berisikan kebab kepadaku dan mempersilahkanku untuk mengambilnya. Ah, sungguh istri yang perngertian.

Tidak perlu waktu lama, aku segera mengambil kebab tersebut dan tidak lupa mengucapkan terima kasih serta melempar senyum kepada istriku. Ning Ifah membalas senyumku sambil menunduk malu.

Setelah selesai makan malam, Ning Ifah membantu Ummahnya membereskan meja makan. Sementara aku duduk di teras ndalem. Rutinitas pesantren berjalan seperti biasanya. Selepas salat magrib, para santri bertilawah Al-Qur'an dan di lanjutkan dengan khitobah.

Ini adalah suasana yang baru untukku. Tidak ada canda tawa dari keponakanku, tidak ada adik yang selalu menjahiliku, dan tidak ada Gus Aris yang bisa kuajak bertukar pikiran. Mencoba untuk terbiasa dengan situasi ini dan mulai memahami karakter setiap orang.

"Melamun, Gus?" ucap seseorang.

Aku mencari sumber suara, hingga menemukan sosok laki-laki yang sedang mengelap mobil di sisi kananku.

"Mboten, Kang," balasku.

Laki-laki tersebut berhenti mengelap mobil dan mulai duduk bersamaku. Dia memilih tempat duduk agak rendah dariku.

"Gus Fuad, dari dulu ndak ada yang berubah dari njenengan. Masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu," ucap laki-laki tersebut.

"Sampeyan siapa? Gimana bisa kenal denganku?" tanyaku penasaran.

"Iwan, teman satu kamarmu waktu di pesantren Al-Islam," jawabnya.

"Masyaallah, Iwan. Kemana aja njenengan? Setelah lulus dari pesantren, lalu menghilang tanpa kabar," tanyaku setelah memeluk teman sekamarku waktu nyantri dulu.

"Dulu setelah lulus dari pesantren, ayahku memintaku untuk melanjutkan pendidikan. Hingga akhirnya aku menjadi sopir pribadi Kiyai Ansori. Dan sekarang nggak nyangka, ternyata teman seperjuanganku menjadi menantu dari Kiyai besar," jelasnya.

Kisah Cinta si Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang