Ocha mendesah lega setelah mengeluarkan hasrat terpendam yang sedari tadi ia tahan. Begitu sudah tuntas dan beres semuanya, ia keluar kamar mandi sambil bersenandung kecil menuju ruang keluarga.
Ah, bahagia ternyata sesederhana ini.
Lantas setelah semua ketegangan yang tadi tersimpan dan mengumpul di kantung kemihnya dia buang semua, dia baru tersadar tentang sesuatu yang ditinggalkannya. Kini semua mata menatap ke arahnya. Menuntut jawaban atau lebih tepatnya persetujuan atas pernyataan papinya tadi. Ludahnya diteguk berulang kali, mendadak tenggorokannya kering dan haus akan kasih sayang.
Ah, sengsara ternyata sesederhana ini.
"Jadi keputusan kamu?" tanya papinya.
Ocha gelisah di tempat. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. 4 pasang mata menatapnya penuh harap sedangkan sepasang mata sisanya menatapnya kecut.
"Emm..... kalo Ocha nolak gimana?" katanya sambil menggigit bibir.
"Kamu akan papi nikahkan dengan laki-laki pilihan papi secepatnya!"
"Bisa nego gak? Minimal bisa request deh bentuknya."
"Tidak bisa. Pilihan kamu adalah menikah dengan Aldina atau dengan laki-laki lain yang nanti papi pilihkan."
Kembali Ocha menatap Aldina.
"Tapi kita gak bisa seenaknya dong pi, selain aku, ada juga Aldina dan keluarganya yang harus papi tanya pendapatnya."
Uh, Ocha.... kamu pinter banget cari alasan. Aldina mana mau.
"Kalau soal itu, kami setuju," kata papa dan mama Aldina serentak.
"Terima kasih Pak Bram dan Bu Darlin, kalau Aldina?" kini papi Ocha bertanya pada perempuan yang sedari tadi sudah loyo di tempatnya.
Ditatapnya Ocha yang juga sedang menatapnya harap-harap cemas.
Aldina memejamkan mata, menarik napas, dan mengumpulkan segenap keberanian dan energinya yang tersisa, kemudian kembali menatap Ocha.
"Saya setuju," katanya pelan. Bibirnya bergetar bagai gitar saat mengucapkan 2 kata tersebut.
Kemudian pandangan mata perempuan di depannya berubah tajam seolah berkata LO YAKIN?
Aldina kemudian mengangguk yang kemudian dibalas Ocha dengan tatapan tidak percaya.
"Nah dari pihak Aldina dan keluarganya sudah setuju. Sekarang tinggal keputusan kamu Ocha," kembali papinya bersuara. "Mana yang kamu pilih, menikah dengan Aldina atau laki-laki pilihan papi."
"Uh, Aladiiiiiinnn!!!!! Kenapa gak ditolak aja sih!!!" Ocha mulai mencak-mencak sambil ngomel. "Wah, pasti papi ancam Dina nih!!!" kesalnya pada Sang Kapten.
"Heh! Mulutnya," mami sewot lantaran suaminya dituduh.
"Papi tidak pernah mengancam Aldina. Semua keputusan di tangan dia. Dan sekarang giliran kamu, mana yang kamu pilih?"
Kalau gue pilih dinikahkan sama laki-laki lain, belum tentu bentukannya se-perfect Bang Fadli atau Aldina. Seleranya papi juga gak bisa dipercaya. Kalau pilih Aldina sih not bad lah, udah kenal dekat juga, cuma tititnya gak panjang aja. Eh, tunggu dulu. ALDINA MANA PUNYA TITIT. DIA KAN CEWEEEEEEKKK.
"Yang bilang gue cowok siapa!!!" seru Aldina sebal.
Hah? Apa? Eh emang tadi gue bilangnya kenceng ya? Bukan di dalam hati?
"Eh, iya ya... Aldina kan cewek! Lho-lho-lho..... kalau aku pilih Aldina, aku nikah sama cewek dong berarti."
"Lha iya doooooonnnggg. Lemot amat kamu baru sadar," maminya gregetan.