[1] Sekarang

37 7 9
                                    

***
Setiap ada cahaya, pasti ada bayangan.

Ingatlah..., Tak ada manusia yang sempurna.

***

"Hai!" Suara itu membuat lamunanku buyar.

Ku lirik dia dengan perasaan jengkel dan kesal.

"Apa." Kataku datar.

"Kenapa ekspresimu selalu seperti itu?!" Jawabnya dengan nada dibuat sedih.

Sedikit jengah aku mengalihkan pandanganku kearah jendela.

Bukan tanpa alasan, pemandangan yang indah terpampang jelas.

Sebuah ingatan terlintas dipikiran ku. Aneh..., Sebuah rasa yang tidak pernah kurasakan tiba-tiba menjalar keseluruh tubuhku,-ralat..., Tapi hatiku?

Entah apa itu tapi rasanya seperti..., Akh, bagaimana aku harus mendeskripsikannya?

Entahlah, tapi perasaan itu membuatku rindu akan sesuatu...

Aku ingin merasakan perasaan itu lagi.

Aku mencoba mengingat lagi apa yang tadi melintas di pikiranku..., Oh ya..., Itu adalah-

"Hei, hei! Kau dengar tidak?!" Lamunanku kembali buyar karenanya.

"Iya-iya, aku dengar." Kataku.

"Coba sebut, apa intinya?" Katanya dengan mata mengintimidasi.

Skatmat Aku terdiam seribu bahasa.

Dia memajukan mukanya. "Kau tidak mendengarkan..." Dia memundurkan wajahnya.

"Iya-iya..., Coba ulang lagi." Tentunya dengan nada bicaraku yang sangat datar.

Dia berdecak kesal. "Kau selalu seperti itu, memangnya apa yang sedang kau pikirkan?" Dia mendekatkan tubuhnya.

"Tidak ada, Hanya saja...," Apa aku harus menggantungnya? Atau aku lanjutkan saja?

"Hanya saja apa?" Dia menyipitkan matanya.

"Lupakan." Kataku ketus.

Ekspresinya seperti biasa..., Menghela napas, lalu menghembuskannya beberapa kali sambil mengelus-elus dadanya.

Aku selalu memperhatikannya.

"Ok..., Sekarang bisakah kau tidak se-datar dan se-menyebalkan itu?" Sepertinya dia kesal.

Aku menggeleng sebagai tanda jawaban.

Seperti yang kuduga, dia menghembuskan napas kasar.

Namanya Luin Chandice, dia sahabatku.

Awalnya diriku sendirian, tidak ada yang ingin mendekatiku.

Aku tidak bisa menyalahkan mereka, karena sifatku yang tentu saja acuh dan dingin, ditambah lagi dengan ekspresiku yang datar.

Tapi, tentunya aku berpikir dua kali. Aku tidak ingin dia terlibat masalah karena ku.

Bisa dibilang hal itu karena diriku yang sangat penutup disekolah ini.

Aku tidak ingin dia menjadi bahan ejekan bahkan pem-bully-an karena diriku.

Tapi dia bersikeras, walaupun diriku seperti es, tapi aku masih memiliki hati nurani.

The Fond MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang