Mask Boy [2]

48 6 0
                                    

Gadis itu meremat rambutnya kuat-kuat, ia menggeram tertahan sebelum perlahan, ia mencoba untuk menetralkan akal sehatnya kembali. "Okay! Katakan padaku! Apa yang kau minta dariku, Taemin-ah?"

Si lawan bicara masih dengan raut ramah menengadahkan kepalanya menghadap langit biru yang terhalang rimbunnya dedaunan yang berasal dari pohon-pohon di sana. "Yang pertama, aku ingin kau bercerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya hingga anak pintar seperti Son Jiwon bisa terperangkap di tempat itu?"

Jiwon mendecih, siapa Lee Taemin baginya? Tak lebih dari seorang teman yang bahkan tidak terlalu akrab dengannya. Sedangkan Jiwon adalah tipe orang yang tidak bisa menceritakan kisah hidupnya kepada sembarang orang. "Jika aku tak mau?"

"Kenapa? Karena aku Lee Taemin? Ingatlah bahwa aku Mask Boy. Kau berhutang janji kepadaku. Kau telah menyetujui semua perjanjian itu." Taemin mengalihkan atensinya pada Jiwon. "Aku tak memintamu bercerita secara detil."

Kembali Jiwon mengusap kasar wajahnya. "Baiklah, ini semua karena janji sialan itu. Cih! Aku begitu bodoh" Gerutunya pelan, namun masih terdengar oleh Taemin. Pria muda itu hanya terkekeh ringan.

"Semua berawal dari pertengkaran orangtuaku yang menyebabkan mereka berdua berpisah satu tahun yang lalu. Ibuku pergi, dan satu minggu kemudian aku mendengar kabar bahwa ibuku menikah lagi. Kabar itu sampai ke telinga ayah. Sejak saat itu, ayahku mulai berubah. Ia menjadi gila kerja, pergi pagi, pulang lewat tengah malam. Tak pernah sekalipun ia mengajakku bicara, bertanya soal pelajaran dan teman-teman di sekolah, bertanya bagaimana hariku, atau memuji lukisan baruku seperti biasanya saat sebelum perpisahan itu terjadi. Aku kehilangan semuanya, Tae. Ibu dan ayahku. Dua-duanya tak menganggap bahwa aku masih ada dan masih membutuhkan mereka. Bahkan ayah marah besar padaku saat mengetahui bahwa aku tak lolos menjadi perwakilan sekolah di olimpiade sains. Raut marah itu, nada tinggi itu, berapa kasarnya kata-kata ayah, aku masih mengingatnya. Tak pernah sebelumnya aku mendapat perlakuan seperti itu." Jiwon menjeda kalimatnya. Ia menunduk kala kelopak matanya sudah tak mampu menahan genangan jernih di sana. Taemin menahan dirinya untuk tetap diam menyimak. Ia tahu Jiwon akan merasa tak nyaman jika tiba-tiba disentuh olehnya.

"Kemudian, suatu saat aku menangis di taman sekolah karena teringat amarah besar ayah semalam, hanya aku sendirian di taman sebelum Kim Dani, anak kelas sebelah yang juga temanku di klub lukis menghampiriku. Entah ada angin apa, aku menumpahkan semuanya pada Dani. Lalu malamnya, Dani membawaku ke tempat itu, dia bilang, aku dapat melupakan masalahku di sana. Aku menurut, karena memang aku sudah diambang rasa ingin mati saja, tak tahu harus hidup seperti apa lagi. Dan ya.. nyatanya aku memang melupakan semuanya di tempat itu, apalagi saat aku membuat mereka terkesima karena penampilanku. Aku mendapat banyak pujian, hal yang aku rindukan dari kedua orangtuaku yang tak lagi pernah memuji kerja kerasku." Jiwon mengusap wajahnya, menghilangkan jejak air matanya sebelum melirik pendengar di sampingnya. "Sudah. Puas?"

Taemin mengangguk, telapaknya terulur untuk mengusap pelan bahu Jiwon. Di luar dugaan, Jiwon tak melawan, justru ia merasakan hangat di sekujur tubuhnya hanya karena sentuhan kecil itu.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Jiwon mengerutkan dahinya saat mereka sampai di pintu masuk sebuah taman bermain. "Ini? Permintaanmu yang kedua?"

Pria di sampingnya mengangguk pasti. "Ayo masuk!" Taemin meraih telapak Jiwon.

"Kau mau naik apa?"

Jiwon menggendikan bahunya. "Whatever."

Sebuah wahana bianglala besar yang tak jauh dari tempat mereka berpijak menarik perhatian Taemin. "Untuk pemanasan, bagaimana kalau bianglala?"

"Tak masalah."

SHINee Oneshoot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang