Tuan Hujan

26 5 4
                                    

Aku berlari menembus derasnya rinai hujan. Biarlah, biarkan sukujur tubuhku basah kuyup. Aku tak peduli. Aku hanya ingin berlari menjauh. Menjauh dari hitamnya kenyataan. Setidaknya dengan diguyur hujan, tak ada seorang pun yang tahu jika aku sedang menangis.

Tahu rasanya mendapati seseorang yang kalian sayang tengah bersama orang lain? Aku baru merasakannya. Sakit? Sangat. Rasanya aku ingin lenyap seketika dari dunia. Akal sehat entah minggat ke mana. Peduli amat jika pulang nanti tubuhku terserang demam. Aku sungguh butuh pelampiasan sekarang.

Aku membiarkan tetes demi tetes air hujan membasahi sekujur tubuhku. Buliran yang menabrak kepala membuat otakku sedikit lebih rileks. Aku menikmatinya hingga sebuah payung biru mendarat dan menghalangi air hujan untuk membasahiku.

"Masa kecilmu tidak menyenangkan, ya?" Suara bas yang menggema membuatku membalikkan badan. Tampak seorang lelaki bermata biru berdiri, dengan tangan kanan memegang gagang payung yang lebih cocok jika digunakan seorang diri.

"Siapa kamu?" Aku bertanya dengan menggigil kedinginan.

"Lebih baik kamu pulang dan berendam air panas, sebelum kamu jatuh sakit."

"Kamu belum menjawab pertanyaan saya."

"Claudia!"

Aku menoleh ke arah suara. Rupanya adik perempuanku yang datang. Ia langsung berlari menuju ke arahku. Tangannya segera memayungiku agar tubuhku tidak semakin basah.

Tunggu. Basah? Di mana lelaki bermata biru tadi?

"Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin jatuh sakit?!" Dia langsung melempariku dengan pertanyaan ketus.

Aku tidak terlalu memedulikannya, masih celingukan mencari sosok yang telah memayungiku tadi.

"Di mana lelaki tadi?" tanyaku pada perempuan yang ada di sampingku ini.

Ia menaikkan alis keheranan. "Kamu sudah gila? Tidak ada orang di sini. Cepat pulang! Wajahmu sudah pucat seperti mayat."

Dia langsung menuntunku menuju mobil dan menaikinya. Otakku masih memikirkan di mana lelaki tadi berada.

*

Hufft....

Desember memang ladangnya tangisan langit. Kini aku tengah berdiri di lobi kantor. Hujan deras mengguyur kotaku malam ini. Tadi aku berencana untuk segera pulang dan tidur dengan cepat. Namun, dengan kondisi hujan deras seperti ini memorak-porandakan rencana yang telah kubuat.

Lokasi parkir masih sedikit jauh, tidak ada payung. Jika diterobos dengan berlari, tetap saja membuat pakaian basah. Jika sampai rumah dalam keadaan demikian, kenyang sudah diriku mendapat ceramah dari adikku yang sok pintar itu.

"Masih belum pulang?"

Aku sedikit terkejut mendengar suara bas yang langsung datang menginterupsi. Kepalaku pun langsung menoleh ke sumber suara. Lelaki itu, lelaki bermata biru yang kemarin memayungiku. Tatapannya lurus menatap hujan, tangannya memegang payung biru yang menguncup.

"Hei, dengar pertanyaan saya, kan?" Sekarang sepasang mata birunya beralih padaku yang masih mematung menatapnya. Buru-buru aku mengalihkan wajah dan berusaha menjawab dengan cepat.

"Hujan," jawabku cepat atau mungkin agak terlalu cepat dan datar.

"Kamu kan tahu sekarang Desember, ladangnya hujan. Seharusnya sediakan payung atau jas hujan."

"Saya tidak butuh diceramahi, saya butuh pulang." Aku menjawab sedikit ketus.

"Mari saya antar sampai parkiran. Kamu bawa mobil, kan?"

Catatan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang