Bilangan, Aksara, dan Hujan

11 3 0
                                    

Desember memang ladangnya tangisan langit. Hampir setiap hari hujan turun. Tetapi, aku menyukainya. Aku menyukai aroma petrichor yang menyeruak hidung tatkala hujan turun. Hujan itu baik, ia rela dijatuhkan bertubi-tubi demi kebaikan tanah. Ia rela menahan rasa sakit demi serunai kesenangan anak-anak yang menantinya.

Kujulurkan tangan kananku menengadahi air hujan yang mengalir dari atap sekolah. Kupejamkan mataku sesaat lalu kembali membukanya. Titik-titik air hujan mengenai wajahku. Menyenangkan dan menenangkan.

"Hujannya kapan berhenti sih?" Kubuka mataku dan secara refleks mengarah ke sumber suara. Teman seangkatanku, Aksa. Ia tampak risau menatap hujan yang tak kunjung reda. "Bila, kamu betah sekali sih? Tidak ingin pulang ya?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng lemah. Aku memang tidak ingin pulang. Dahinya berkerut seakan meminta penjelasan.

"Bosan di rumah, paling nanti dimarahi lagi karena nilai ulangan matematikaku jelek," ujarku.

"Aku pikir matematikamu hebat, sesuai dengan namamu, Bilangan Cassandra," ujarnya sembari tersenyum padaku. Entahlah apa makna senyuman itu. Apakah itu senyuman mengejek atau simpati, aku tak tahu.

"Ya, banyak yang mengira begitu, padahal nama hanya sebagai cover," aku menjawab setelah tercipta hening beberapa saat. "Kalau dibandingkan, aku lebih suka deretan kata-kata daripada harus berkutat dengan berbaris-baris angka. Rasanya ingin muntah saja," aku melanjutkan kalimatku.

Dia terbelalak, "Kamu tahu tidak kalau ternyata kita ini kontradiktif? Kamu yang menyukai aksara dan aku yang mencintai bilangan." Senyumnya terpampang jelas di wajah rupawannya.

Aku memilih tidak menanggapi ucapannya. Kembali tenggelam dalam pikiran sendiri dan menikmati hujan yang kian deras. Rasa-rasanya aku tidak ingin beranjak pulang. Kondisi ini bisa menjadi alasan yang logis jika aku pulang terlambat. Setidaknya, dengan ini aku bisa sedikit mengurangi durasi omelan dari ibu.

"Kamu suka hujan ya?" Kalimat itu terlontar dari mulut Aksa, membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Apa yang kamu pahami tentang hujan?" tanyanya.

"Hujan itu baik. Dia rela menjatuhkan dirinya berkali-kali demi kebaikan semua makhluk di bumi." Sudut-sudut bibirku terangkat. Selalu menyenangkan membahas hujan.

"Kalau menurutku, hujan itu bodoh." Raut wajahku berubah seratus delapan puluh derajat. Pandanganku langsung mengarah padanya, meminta penjelasan. "Hujan itu terlalu bodoh. Ia rela menyakiti dirinya sendiri demi kebaikan makhluk. Padahal, tidak semua makhluk bahagia akan kebaikan yang dia beri." Dia mengendikkan bahu.

"Dia tidak bodoh, dia bahkan terlalu baik. Dia tidak mengharapkan apa-apa, bahkan ucapan terima kasih sedikitpun. Tujuannya hanya memberi kebaikan, tanpa mengharap imbalan," aku mendebatnya.

"Ya, dan hujan adalah kamu." Dahiku mengernyit bingung.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Kamu itu hujan. Kamu tetap berdiri tegak walaupun dijatuhkan berkali-kali. Makhluk di tempat yang kamu hujani tidak mengharapkan kehadiran kamu. Dia mendambakan panas, bukan hujan. Berkali-kali cahaya matahari hendak bersinar, namun terlalu banyak sumber air di tempat itu yang menguap dan membentuk awan lalu akhirnya menjadi hujan juga." Aksa menghentikan kalimatnya. Ia memandang langit yang masih terus menerus menumpahkan air yang menggenang di pelupuk matanya.

"Makhluk itu masih belum sadar akan manfaat hujan. Ia masih beranggapan bahwa hujan adalah malapetaka, bukan kebaikan. Tapi aku yakin, suatu hari kamu pasti bisa membuka mata makhluk di tempat itu dan memperlihatkan kebaikan yang kamu punya." Dia berkata takzim. Manik hitamnya menatapku dalam.

"Kamu bisa menyinarkan cahaya matahari. Tapi ingat, bahwa kamu itu hujan. Tunjukkan kebaikan itu, tetaplah turun walaupun tidak didambakan." Dia menepuk pelan pundakku. Aku hanya diam.

"Hujannya udah reda, aku pulang dulu ya. Kamu juga pulang, udah sore. Bye." Dia melangkah dan melambaikan tangan kanannya. Aku balas melambai. Iya, aku hujan dan hujan memiliki banyak kebaikan. Terimakasih Aksara.

__***__

Cek cek. Hai!
Ringan banget ya kisah kali ini. Tapi semoga kalian tetep suka ya😄.

Tinggalkan jejak dengan klik bintang dan komentar. Kritik dan saranku terbuka lebar😊.

Sekian.

Catatan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang