Roby termenung cukup lama. Baru kali ini ia diabaikan seseorang. Bukan, bukan berarti di sekolah sebelumnya Roby merupakan siswa yang terkenal, most wanted atau apalah itu. Ia hanya dikenal sebagai siswa yang cukup ramah, meskipun tidak banyak murid-murid lain yang mengenalinya. Roby merasa heran, baru kali ini permintaan maafnya terabaikan.
Apakah bercandanya tadi keterlaluan? Sampai-sampai gadis itu sama sekali tidak menyahutinya.
Roby mencoba kembali fokus. Masalah ini, mungkin bisa dibicarakan nanti. Juga, mungkin saja gadis di sebelahnya ini terdiam karena KBM sedang berlangsung, enggan ditegor guru. Kalau memang begitu, Roby juga akan diam. Setidaknya sampai bel istirahat berbunyi nanti.
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Bel istirahat pertama telah berbunyi dua menit yang lalu. Tak sengaja, Roby melirik ke arah gadis di sampingnya. Gadis itu masih diam saja. Sepertinya tidak berniat berbicara. Apalagi mengajaknya kenalan.
"Mbak? Masih marah?" Roby mencoba kembali membuka pertanyaan.
Alya hanya menoleh kemudian fokus pada ponsel di tangannya. Jika boleh jujur, memang benar ia merasa kesal. Cowok baru di sampingnya ini sudah membuat ia malu setengah mati, bagaimana bisa Alya mencoba beramah tamah padanya? Lagipula ia sedang malas berbicara. Biarkan saja cowok itu berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Sok jual mahal, misalnya. Seperti yang pernah dikatakan teman sekelasnya dulu saat kelas sepuluh. Atau menganggapnya sombong, yang juga pernah diucapkan teman sekelasnya saat Alya sama sekali tidak memberi mereka contekan.
Alya berusaha tak peduli.
"Mbak beneran marah, ya? Maaf, dong. Bercanda doang." Roby berusaha lagi. Tapi sayang, hanya hening yang menjawabnya.
"Kalau masalah itu nggak mau dijawab berarti kalau saya nanya letak kantin dijawab dong, ya?"
Alya diam. Berusaha sibuk dengan ponselnya. Juga berusaha untuk tidak kesal. Cowok di sampingnya ini cukup cerewet juga.
"Kok nggak dijawab juga? Jangan-jangan mbaknya bisu. Eh, maaf-maaf." Roby segera menepuk bibirnya cukup kencang begitu Alya menoleh padanya. Menatapnya dengan tatapan yang entah Roby juga tak tahu apa artinya.
Roby merasa terpojok sekarang. Pasalnya hanya ada mereka berdua di dalam kelas. Semuanya berhamburan keluar begitu mendengar belum istirahat.
Setelah Alya kembali sok sibuk, Roby memikirkan cara apa yang ampun supaya Alya mau setidaknya membalas ucapannya. Tidak mungkin Roby kembali membuat gadis mungil itu tersinggung.
"Hmm, mbak. Boleh permisi? Saya mau lewat. Mau nyari kantin."
Alya kemudian beranjak. Memberi akses jalan untuk Roby keluar. Roby menghela napas lega. Sejujurnya ia kehabisan bahan untuk tetap membuat Alya berbicara.
Roby melangkah keluar. Mencari tahu mungkin ada yang bisa membantunya menghadapi gadis itu. Atau minimal mengetahui bagaimana karakternya. Roby tak akan betah jika terus diam-diam seperti tadi. Setidaknya untuk setengah tahun ke depan.
Alya yang melihat Roby mulai melangkah ke luar, mengambil novel beserta headset miliknya. Kemudian mengikuti Roby ke luar kelas. Ke mana lagi jika bukan ke perpustakaan, tempat favorit Alya di sekolah ini.
***
Roby melangkah entah ke mana. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya, siapa tahu bertemu teman sekelasnya di jalan. Sepanjang berjalan lurus melewati koridor-koridor kelas, Roby tak mengenali siapapun. Semuanya tampak asing. Apalagi sebenarnya ia juga belum cukup hafal wajah-wajah teman-temannya.
Tapi tiba-tiba.
"Hey, Rob."
Roby mendengar seseorang meneriakkan namanya. Ia berhenti melangkah persis di tengah-tengah koridor. Menatap bingung ke segala arah. Siapa yang memanggilnya? Jangan bilang kalau ternyata sekolah ini angker? Dan yang memanggilnya tadi adalah makhluk tak kasat mata? Roby merinding seketika.
Seorang pemuda berbadan cukup besar tiba-tiba menepuk bahunya. Roby langsung saja berseru kaget, memegang dada. Ia terkejut.
"Maaf ngagetin." Pemuda itu terkekeh.
"Kamu anak baru di kelas, kan? Roby, kan?" Roby menangguk. Pemuda ini teman sekelasnya ternyata.
"Kita belum kenalan. Nama saya Bass, double S tapi bukan temennya gitar. Ketua kelas." Roby mengangguk sambil ber-oh ria.
"Pasti lagi nyari kantin, ya? Sayangnya arah kantin bukan ke sana. Ikut saya," katanya dengan tegas. Roby hanya mengikutinya saja. Itung-itung jajan, ia juga sudah lapar.
Pemuda bernama Bass itu merangkul Roby kemudian, mengajak melangkah beriringan.
Roby hanya mengangguk kecil ketika Bass menjelaskan banyak hal padanya. Letak perpustakaan, ruang LAB, toilet, mushola ruang kelas. Semua yang ia pertanyakan sebelumnya sudah dijawab oleh pemuda itu. Roby berterima kasih kemudian. Penjelasannya cukup bagus, tanpa perlu dijelaskan dua kali, Roby sudah mengerti. Lagi pula ia bukan orang yang buta arah, tentu Roby cepat menghafal ke mana arah menuju ke mana.
Kantin ternyata tak begitu jauh dari kelas mereka. Melewati koridor kelas sebelas lurus ke arah timur, kemudian belok kanan, hanya butuh beberapa langkah lagi, Roby sudah sampai.
Tak jauh beda dari sekolah sebelumnya, kantin ini tidak begitu besar. Namun cukup menampung banyak orang. Sepertinya kantin ini memang khusus kelas 11, Bass juga menjelaskan tak akan ada kakak kelas di sini, juga jarang terdapat adik kelas. Jam Istirahat sudah terlewat 10 menit. Roby bergegas mengikuti Bass, memesan makanan lalu mencari tempat duduk yang nyaman. Akhirnya, baik Roby maupun Bass memilih duduk tak jauh dari tempat mereka memesan makanan.
"Gimana hari pertama sekolah?" Bass bertanya begitu mereka selesai makan.
"Biasa aja sebenarnya, sih. Nggak ada yang spesial." Jawaban yang Roby lontarkan membuat Bass terkekeh pelan.
"Sekolah ini memang nggak ada yang spesial. Sama aja kayak sekolah kebanyakan. Tapi kayaknya yang spesial itu karena kamu duduk sama Alya. "
"Alya? Apa hubungannya?" Bass terkekeh lagi. Roby rasa pemuda di depannya ini terlalu receh. Ia sedang serius Bass malah tertawa kecil. Di mana letak lucunya?
"Nggak, nggak ada hubungannya emang. Cuma aneh aja kalau cowok duduk sama cewek. Awkward, man."
"Biasa aja, sih. Tapi emang ceweknya rada aneh. Siapa tadi namanya? Alya?"
Bass yang sedang meminum air mineralnya berdeham. "Itu anak emang aneh."
"Memang aneh?"
Bass mengangguk. "Iya, jarang ngomong. Kalau ngomong pas ada perlunya doang. Makanya anak-anak pada nggak suka karena kesannya dia sombong, songong, nggak mau berteman. Apalagi badannya kayak gitu, pendek, gendut. Nggak ada yang mau temenan deket sama dia. Entah karena kesannya yang songong, atau apa, nggak tau juga."
Roby mengangguk. Pantas saja gadis itu mengabaikannya tadi. Ternyata memang orangnya seperti itu. Pendiam.
"Kenapa nggak coba dideketin aja? Maksudnya jadi temen? Kan kasihan kalau sendirian."
"Dianya yang kayak menarik diri. Nggak mau gabung. Kalau kerja kelompok, semua dia yang ngerjain. Katanya, nggak bisa diajak kerja sama. Padahal dulu orangnya nggak kayak gitu, dia masih punya temen. Tapi nggak tau, deh, ke mana temennya sekarang."
Roby mengangguk lagi. Lantas segera mengganti topik bahasan, ketika melihat raut wajah Bass yang sepertinya enggan terlalu membahas Alya.
TBC
Madura, 010520.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You
Teen FictionAlya selalu merasa dirinya si buruk rupa. Bertubuh pendek berisi, wajah kusam penuh jerawat. Tak akan ada orang yang mau berteman dengan dirinya. Oleh karena itu, Alya ingin masa SMAnya berlalu tanpa kenangan. Tanpa teman. Tanpa kisah. Tapi sayang...