Delapan

57 17 1
                                    

Roby jadi tak fokus mendengarkan materi sejarah yang sedang dijelaskan oleh gurunya di depan. Ia berkali-kali melirik Alya yang sedang fokus sambil sesekali menuliskan materi yang disampaikan. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang. Roby harus mencari cara supaya Alya mau memaafkan dan berteman dengannya. Sepertinya menganggu Alya adalah cara yang salah. Roby harus mencari cara lainnya. Yang mungkin membuat Alya merasa dihargai dan mau melihat dirinya.

Roby sendiri tak mengerti mengapa ia sampai berbuat sejauh ini.

Jatuh cinta? Roby rasa tidak. Untuk sekarang. Tak ada perasaan aneh saat Roby bersama Alya namun hatinya terus berkata untuk membuat Alya menjadi pribadi yang lebih terbuka, lebih hangat dan lebih banyak bicara. Tidak hanya diam saja seperti sekarang. Mungkin ini murni hanya perasaan untuk teman. Roby juga hanya berniat membantu Alya untuk hidup bersosialisasi. Tidak selamanya Alya hanya sendirian bukan?

Cowok itu membuka halaman terakhir buku tulisnya. Merobeknya perlahan, lalu menuliskan sesuatu di sana. Beberapa saat setelahnya, Roby pura-pura fokus mendengarkan materi yang sedang dijelaskan sambil melempar pelan kertas yang tadi ia sobek. Perlahan pula, Roby melirik Alya di samping kanannya. Gadis itu mengambil kertas yang dilemparkan Roby. Kemudian menunduk, membacanya.

Maafin saya yaa.
Mari berteman. :)

Melihat Alya membaca surat kecilnya, Roby langsung mengalihkan pandangan. Mencoba fokus ke depan. Dalam hati, ia sangat ingin tahu bagaimana ekspresi Alya ketika membacanya. Tetap datar kah? Atau justru tersenyum kecil?

Sayangnya sampai jam pelajaran terakhir berakhir, Alya sama sekali tidak membalas pesannya. Jangankan membalas, meliriknya saja tidak. Roby menghela napas. Ia harus bekerja lebih keras.

***

Setelah semalaman berpikir keras bagaimana caranya membuat Alya lebih terbuka, akhirnya Roby menemukan caranya.

Pagi ini, ia menunggu Alya di dekat pintu gerbang. Kendati tak tahu Alya sudah berada di dalam kelas atau tidak, Roby tetap menunggu. Ia hanya mengandalkan instingnya kali ini.

Tak lama berdiri di dekat gerbang, Roby mulai melihat tubuh mungil Alya berjalan di antara puluhan murid yang mulai berdatangan. Roby melangkah lebih cepat. Agar terkesan tidak membuntuti, Roby sengaja segera menyamakan langkahnya dengan Alya. Kemudian berjalan di sisinya. Awalnya Alya sempat terkejut, namun ia begitu cepat menguasai ekspresinya untuk kembali terlihat datar.

"Harusnya begini, kompak!" Roby mulai berkata dengan suara pelan.

Alya menoleh, menatap Roby heran selama beberapa detik. Roby hanya tersenyum saat Alya menatapnya.

"Kita kan temen sebangku. Pulang pergi harus bareng. Iya nggak?"

Alya kembali memandangnya. Kini dengan tatapan aneh. Seolah gadis itu bertemu dengan orang yang super duper aneh. Roby mencoba bersikap bodo amat.

Rencananya kali ini harus berhasil. Roby harus terbuka untuk membuat Alya juga terbuka padanya. Semakin Roby terlihat memercayai Alya, membuatnya merasa berharga dan dihargai, semakin cepat pula Alya merasa nyaman dengannya. Nyaman dalam arti sebagai teman. Dengan Alya merasa nyaman, mudah bagi gadis itu untuk terbuka padanya. Itu tugas Roby sekarang. Terbuka untuk membuat Alya juga terbuka.

Semoga saja usahanya ini berhasil.

Dari quotes-quotes yang ia temukan di instagram kemarin, katanya cewek mudah merasa nyaman saat mereka merasa berharga dan dihargai. Semoga saja itu benar.

"Saya rencananya mau jemput kamu, tapi lupa nggak nanya alamat," kata Roby yang membuat Alya menoleh dan menatapnya untuk ketiga kalinya.

"Bercanda doang. Ya kali saya baru kenal kamu beberapa hari langsung main jemput-jemput aja." Ia terkekeh di akhir kalimatnya.

Keduanya berjalan beriringan hingga masuk kelas dan duduk bersama.

Pemandangan seperti tadi tentu saja mendapat perhatian dari teman-teman kelas lainnya. Pasalnya, Alya tak pernah terlihat bersama dengan seseorang baik saat datang maupun pulang sekolah sejak hari pertama naik kelas. Tentu saja teman-teman lainnya merasa heran mengapa Alya mau berjalan beriringan dengan Roby. Kendati tak tahu apakah mereka tak sengaja berpapasan atau tidak, tetap saja itu menarik perhatian.

Alya hanya menunduk begitu mata teman-temannya tertuju padanya dan juga pada Roby yang anteng-anteng saja berjalan di sampingnya. Untung saja hal itu terjadi tidak lama. Alya bisa bernapas lega.

Sedangkan Roby di sampingnya hanya memperlihatkan senyumnya. Roby tidak tahu jika Alya setengah mati menahan malunya. Terbiasa tidak diperhatikan di mana pun ia berada, membuat Alya merasa aneh saat banyak pasang mata tertuju padanya. Dan Alya tak ingin itu terus terjadi.

"Padahal saya cuma jalan di samping kamu, tapi mereka ngelihatinnya kayak saya jalan di dekat artis saja." Roby terkekeh, sedangkan Alya hanya bisa menatapnya dengan tatapan tajam.

Apa Roby pikir Alya senang diperlakukan seperti itu? Alya menggeleng. Bukan salah Roby karena memang itu haknya berjalan di mana saja termasuk di sampingnya.

"Maafin saya ya, saya ngeselin banget kayaknya selama duduk sama kamu. Padahal niat saya baik loh, saya cuma ingin berteman dan lebih dekat dengan kamu. Secara kita nggak cuma beberapa hari duduk bareng. Masih ada waktu lebih dari satu tahun. Dan saya rasa, kita perlu mendekatkan diri satu sama lain."

Alya masih terdiam. Tak menyangka Roby akan berterus terang seperti sekarang. Alya terkejut tentu saja. Apa tadi katanya? Berteman? Alya masih tidak siap untuk berteman dengan siapa pun. Termasuk Roby yang baru beberapa hari dikenalnya. Rasanya ia tak pantas menjadi teman cowok itu juga Alya tak ingin apa yang terjadi padanya satu tahun lalu kembali terulang.

Tolong, Alya butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan rasa percayanya kepada orang lain.

Jadi Alya hanya diam saja. Membiarkan Roby yang saat ini mulai mengoceh tentang banyak hal. Di pikiran Alya saat ini, ia masih bingung. Sungguh bingung.

***

Sejak hari itu, Alya merasa ada yang berbeda dengan Roby. Cowok itu berbicara lebih banyak dari biasanya. Juga lebih terbuka bahkan tanpa Alya minta. Ia menceritakan banyak hal tentang masa depan, juga tentang sekolahnya yang dulu. Bagaimana teman-temannya, bagaimana kehidupan kota yang tentu sangat jauh dengan kehidupannya sekarang. Terkadang juga menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di rumah. Tentang kucingnya, hobi, dan segala macam. Roby menjelma menjadi cowok dengan tingkat kebawelan yang tinggi.

Setiap ada kesempatan, Roby gunakan untuk bercerita. Katanya sharing pengalaman. Alya awalnya hanya mendengarkan. Sama sekali tidak menanggapi apa yang Roby ceritakan dengan suara. Kadang ia hanya menatap Roby yang sedang bercerita. Terkadang juga hanya mengangguk ataupun menggeleng.

Namun entah mengapa akhir-akhir ini Alya mulai merasa nyaman dengan segala cerita yang Roby suguhkan. Ia mulai menanggapi cerita Roby dengan sepatah dua kata. Terkadang pula menanggapi dengan balik bertanya. Kendati demikian Alya masih belum bisa terbuka pada Roby. Tapi tetap saja, diperlakukan demikian membuat Alya merasa berbeda.

Rasanya seolah Alya merasa dibutuhkan. Setiap kali ada masalah, Roby selalu menceritakannya padanya. Setiap ada soal yang tak cowok itu mengerti, Roby akan bertanya padanya. Roby juga terkadang menanyakan tentang buku-buku yang bagus untuk dibaca. Tentu saja Alya mulai menerima segala perlakukan cowok itu. Perlahan, Alya mulai menjawab semua pertanyaannya.

Sekarang, bolehkah Alya mengatakan bahwa Roby sedang membutuhkan kehadirannya? Mungkin sebagai seorang teman sebangku layaknya yang lain?

TBC

Madura, 100620

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang