Tujuh

49 15 1
                                    

Inginnya kembali fokus membaca, Alya malah memikirkan reaksi Roby tadi. Cowok itu pasti kebingungan, Alya pasti terlihat sangat aneh di matanya. Bukankah ia memang aneh?

Alya menggeleng perlahan. Ia tak ingin pikiran buruk itu terus menghantui. Tapi bagaimana caranya? Setiap kali persepsi buruk tentang dirinya muncul di kepala, Alya seakan merasa apa yang ia pikirkan akan terus muncul setiap saat.

Alya sendiri bingung mengapa. Ia sudah pernah mencoba berbagai cara. Mulai dari belajar bersyukur, sampai membaca buku tentang pengembangan diri, mencoba bersikap bodo amat. Tapi ternyata tak bisa. Perkataan-perkataan mantan temannya satu tahun yang lalu selalu terngiang-ngiang. Alya yang pendek tak akan memiliki nasib baik ke depan. Mana ada orang menerima pekerjaan untuk orang pendek? Perkataan-perkataan kecil seperti itu mampu membuat Alya berpikiran buruk tentang dirinya sendiri.

Benarkah nasibnya di masa depan tak akan baik?

Alya yang pendek tak akan pernah bisa diterima di perusahaan besar. Alya yang pendek pasti selalu mendapat penolakan. Belum lagi masalah jerawat. Wajahnya memang tak semulus wajah teman-temannya. Alya berusaha untuk tidak peduli. Tapi setiap kali ingin merubah diri, perkataan mereka kembali menghantui.

Seburuk itukah ia?

Karena itu Alya tak pernah ingin memiliki teman lagi. Menurutnya, semuanya sama saja. Hanya berteman dengan memandang fisik dan harta, apalagi kepintaran. Alya tak percaya ada orang tulus yang mau menerimanya selain keluarganya. Mana ada orang yang sudi berteman dengan dirinya? Sudah fisik tak mumpuni, harta hanya milik orang tuanya, pintar pun tidak.

Namun mengapa Roby gencar sekali mendekatinya akhir-akhir ini? Apa yang cowok itu lihat darinya? Tak ada satupun hal yang menarik tentang Alya. Tapi mengapa Roby memilih mengikutinya ke sini dibanding bersenang-senang dengan teman lainnya?

Alya tak mengerti isi kepala anak baru itu. Mungkin saja Roby hanya penasaran, lalu pergi begitu saja ketika apa yang ia inginkan tak bisa didapatkan dari Alya. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemungkinan itu adalah kemungkinan yang paling mendekati. Alya berusaha untuk tidak menanggapinya lagi.

Bisa saja Roby sama seperti temannya itu, kan? Baik di depan dan busuk di belakang. Mungkin memang benar, Alya tidak memerlukan seorang teman untuk sekarang. Semuanya masih bisa ia lakukan sendiri, seperti biasanya.

Saat sedang sibuk memikirkan itu semua, Roby tiba-tiba menyenggol lengannya. Entah disengaja atau tidak, hal itu membuat Alya tersadar dan segera kembali membaca novel di tangan, juga berusaha untuk tidak melirik Roby yang sejak tadi terus memandangnya.

"Lima menit lagi pergantian jam, saya ke kelas dulu, ya," pamit Roby.

Cowok itu kemudian menutup buku yang tadi dibacanya, lalu beranjak meninggalkan Alya yang masih mencoba fokus membaca. Kendati kenyataannya, diam-diam Alya melirik Roby sampai cowok itu tiba di pintu, kemudian menghilang dari pandangannya.

***

Roby terkikik begitu selesai melakukan apa yang harus ia lakukan. Jiwa keisengannya sejak tadi meluap. Ia tak sabar melihat wajah kesal Alya. Siapa tahu dengan gadis itu kesal, ia bisa mendengar Alya lebih banyak bicara. Tidak diam saja.

Roby melangkahkan kaki dengan senyum tertahan. Aktingnya harus benar-benar bagus kali ini. Ia juga harus siap dengan apa pun yang akan terjadi ke depannya. Entah Alya yang kesal lalu mengomelinya atau justru Alya yang jauh lebih diam daripada biasanya.

Ia memang baru saja mengenal Alya. Juga baru saja menjadi teman sebangkunya. Tapi Roby rasa, ia mulai mengetahui bagaimana karakter Alya. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang Alya lakukan tak luput dari pengelihatan Roby tadi. Kendati tak mengerti apa yang sedang gadis itu pikirkan hingga melamun seperti tadi, Roby berharap yang sedang Alya pikirkan adalah dirinya.

Terkesan percaya diri memang, tapi Roby benar-benar berharap hal itu benar. Karena menurutnya, semakin Alya memikirkan dirinya, semakin mudah pula untuk Roby masuk ke dalam hidupnya. Tidak lama lagi, ia pasti bisa membuat Alya terbuka padanya. Mengapa sampai segitunya? Entahlah. Roby juga tak mengerti. Rasanya seolah ia ingin menjadi teman dekatnya. Roby bahkan tak ingin berteman dekat dengan Bass.

***

Entah apa yang Roby pikirkan, Alya hanya bisa menggelengkan kepala. Cowok itu bilang, lima menit lagi pergantian jam. Padahal masih ada sekitar 15 menit lagi. Entah Roby yang tak hafal jadwal pergantian jam, atau justru sedang ada yang akan cowok itu lakukan. Alya menggelengkan kepalanya begitu menyadari ia baru saja memikirkan Roby. Lagi dan lagi.

Alya sendiri tak mengerti mengapa nama Roby dan sosoknya sering kali menganggu pikirannya akhir-akhir ini. Apa mungkin karena keseringan mendapati tingkah aneh cowok itu? Alya mengendikkan bahu, tak mengerti.

Alya segera bangkit dari duduknya, ia harus segera kembali ke kelas. Lima menit lagi, pergantian jam yang seharusnya. Ia mengambil novel serta ponselnya kemudian melangkah keluar, namun begitu sampai di pintu perpustakaan, hendak mengambil sepatunya, Alya terdiam. Seharusnya hanya ada sepasang sepatu Alya di rak itu, namun gadis itu hanya melihat sebelahnya saja.

"Kurang ajar," ujarnya pelan. Alya benar-benar tak mengerti isi kepala Roby. Mengapa cowok itu sering kali mengganggunya seperti ini? Di mana pula ia menyimpan sepatu sebelah kiri Alya?

Sepuluh menit mencari, akhirnya Alya menemukannya. Roby menyimpan sepatu itu di belakang tempat sampah tak jauh dari posisi rak sepatu. Memang dasar kurang kerjaan, Alya jadi telat masuk kelas sekarang.

Gadis itu melangkah menuju kelas dengan raut muka sebal. Benar-benar tak mengerti jalan pikiran Roby. Juga tak mengerti mengapa cowok itu sampai memerlakukannya seperti ini. Apakah Alya sangat pantas menjadi bahan candaan seperti ini? Jika saja Alya punya kuasa, Alya tak akan pernah mau duduk dengan cowok seperti Roby. Sayangnya Alya tak bisa menolak permintaan wali kelasnya.

***

Alya duduk dengan sedikit mendapat nasihat. Raut wajahnya kesal. Ia bahkan tak mau menatap Roby. Sedangkan Roby hanya bisa diam saja. Ia ingin tertawa sebenarnya tapi melihat wajah seram Alya, ia mengurungkan niatnya. Gadis itu pasti tahu siapa pelaku yang menyembunyikan sepatunya mengingat hanya ada mereka berdua di perpustakaan tadi.

Roby jadi tak enak sendiri. Niat hati mengerjai Alya supaya ia kesal dan jadi banyak bicara, Roby malah mendapatkan balasan yang jauh lebih seram. Alya bahkan menunjukkan gelagat seolah tidak ingin melihatnya. Roby tahu, Alya sedang sangat kesal padanya saat ini.

Katakanlah Roby keterlaluan mengerjai Alya. Tapi niatnya benar-benar karena ingin membuat Alya lebih banyak bicara daripada hanya diam saja. Roby jadi merasa sangat bersalah sekarang. Cowok itu bahkan tidak berani melirik Alya di sampingnya.

Bagaimana jika Alya memutuskan untuk pindah tempat duduk atau bertukar tempat duduk?

TBC

Madura, 100620

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang