Empat

88 26 23
                                    

Setelah mendapat informasi bahwa Alya sering kali pergi ke perpustakaan, menghabiskan banyak waktu di sana, Roby segera bangkit menuju perpustakaan. Entah apa alasan ia melakukan ini. Roby hanya merasa ... penasaran.

Penasaran mengapa bisa remaja kekinian betah menjadi pendiam seperti itu. Padahal di sekitarnya banyak sekali gadis yang tidak bisa diam. Gosip sana-sini tanpa pandang bulu, membicarakan apa pun dari A sampai Z. Tapi Alya berbeda. Selain tubuhnya yang berbeda dari teman-temannya yang lain--lebih mungil-- Alya juga banyak berbeda dari hampir segala sikapnya. Mungkin itu yang membuat Roby penasaran hingga memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sepuluh menit sebelum bel berbunyi.

Roby mempercepat langkah kakinya. Waktunya terlalu sempit dan ia tak yakin Alya masih berada di sana. Dan semoga masih ada.

Roby melepas sepatunya dengan hati-hati begitu sampai di perpustakaan. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Di dalam sana tidak banyak siswa memang, tapi tetap saja Roby tak ingin menganggu mereka. Ia melangkah pelan-pelan sambil melihat kiri dan kanan, mencari keberadaan Alya.

Hingga beberapa detik kemudian, Roby melihat sosoknya. Sebenarnya sedikit ragu, namun saat melihat dan mengingat bagaimana model kunciran rambut Alya, Roby kembali yakin bahwa gadis yang duduk di salah satu kursi dekat jendela adalah Alya. Roby segera menyembunyikan tubuhnya di belakang rak. Mencoba untuk tidak terlihat. Sambil sesekali melihat Alya di sana. Tapi ada satu hal yang membuat Roby bingung. Di sana, Alya terlihat senang berbicara dengan seorang pemuda. Gadis itu banyak berbicara dan tersenyum saat pemuda itu berbicara. Terlihat hangat dan sangat akrab.

Roby jadi ragu apa yang dikatakan Bass itu benar.

***

"Kamu bener-bener suka Tere Liye, ya? Kayaknya tiap lihat kamu di sini, selalu baca karyanya." Ray membuka obrolan saat menghampiri Alya yang baru saja duduk di kursi favoritnya.

Alya mengangguk.

"Kenapa nggak koleksi aja? Sekalian buat perpus mini di rumah." Ray terkekeh di akhir kalimatnya.

"Kemahalan kalau beli semua."

"Ah, anak muda." Giliran Alya yang kini terkekeh kecil.

Obrolan kecil antara Ray dan Alya terus berlanjut.

Entah mengapa, mengobrol dengan Ray membuat Alya merasa nyaman. Tidak ada kesan segan yang Ray berikan saat pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu. Tak ada kesan mengintimidasi saat Ray pertama kali mengajaknya mengobrol. Ray seolah nyaman-nyaman saja berbicara dengannya. Mencoba mengajaknya bercanda. Seolah tak risih dengan penampilan fisiknya.

Kesan pertama yang Alya berikan pada Ray berbeda dengan teman-temannya yang lain. Alya mulai merasa nyaman kendati tetap berusaha menjaga jarak aman. Alya berusaha untuk tidak terlalu terbuka padanya. Bagaimanapun juga Ray masih orang baru dalam hidup Alya, yang kebetulan menerimanya apa adanya. Alya tak tahu banyak tentang Ray, begitu pula sebaliknya.

"Kamu coba jadi penulis, gih! Siapa tahu ada bakat. Lihat kamu sering baca gini, pasti lebih mudah ngarang. Biasanya kan, pembaca itu imajinasinya liar, sama kayak penulis."

"Nanti, saya pikir-pikir dulu, deh."

Obrolan-obrolan selanjutnya mengalir begitu saja. Mereka membicarakan banyak hal. Hanyut dalam obrolan sampai-sampai Alya urung membaca. Juga tak menyadari seseorang memperhatikannya di balik rak buku secara seksama.

***

Roby memerhatikan pembicaraan mereka, tidak begitu terdengar memang karena mereka berdua seperti sedang berbisik. Tapi setidaknya Roby bisa melihat siapa pemuda yang tengah berbicara dengan Alya itu. Pemuda itu sepertinya bukan anak SMA. Ia tidak memakai seragam siswa namun kemeja yang dikenakannya mirip sekali dengan kemeja-kemeja yang guru-guru lain juga pakai.

Apakah pemuda itu guru? Guru magang? Atau memang guru yang baru saja mengajar?

Entahlah Roby tidak bisa menebak siapa pemuda itu dan apa hubungannya dengan Alya. Kedatangannya ke sini hanyalah memastikan apakah Alya memang sering kali berada di perpustakaan atau tidak. Meskipun ternyata memang benar, gadis itu senang sekali berada di sini.

Mengenai pemuda itu, sebenarnya Roby tak mau tahu menahu. Terserah apa hubungan mereka. Ia hanya berniat meminta maaf. Tapi juga penasaran di saat yang sama. Alya ini seperti spesies manusia yang berbeda dari kebanyakan manusia-manusia yang lain, hanya karena itu. Roby tak merasa jatuh cinta pada pandangan yang pertama, bukan pula sedang mengincar mangsa untuk ia jadikan gebetan. Murni hanya karena rasa bersalah. Sepertinya bercandaannya tadi keterlaluan. Walaupun sebenarnya itu adalah hal yang sering ia lakukan, bercanda bersama teman-teman sekelasnya dulu.

Setelah melihat Alya beranjak dan melangkah keluar, Roby memerhatikannya sejenak. Sebelum akhirnya ikut keluar setelah tak sengaja bertatap mata sebentar dengan Ray. Tatapan tak sengaja, tapi tetap saja membuat Ray sedikit kebingungan di tempatnya. Ia merasa tak pernah melihat pemuda itu, tapi tak masalah. Mungkin murid baru yang sedang berkunjung.

Ray beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju rak-rak buku yang terlihat berantakan. Mencoba membereskannya.

Roby melangkah perlahan, bel masuk telah berbunyi beberapa detik setelah ia keluar dari perpustakaan. Tak ada Alya di depannya, Roby jadi merasa lega. Ia takut Alya merasa dibuntuti olehnya, meski itulah kenyataannya. Roby hanya tak ingin cewek mungil itu berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Bagaimanapun juga, mereka teman satu bangku untuk lebih dari enam bulan ke depan. Akan susah jika mereka tak kunjung akrab satu sama lain dan malah sama-sama bersikap kaku. Roby tak bisa membayangkan jika mereka akan terus seperti ini ke depannya. Sedangkan ia adalah pribadi yang cenderung aktif. Mencoba mengajak siapapun yang bisa diajak berdiskusi dengan baik. Tak terkecuali Alya.

Sebagai teman sebangku, posisi Alya tentu penting bagi Roby. Tak mungkin, kan, Roby selalu keluar dari bangkunya hanya demi mencari informasi lebih tentang sekolah atau tentang pelajaran. Pastilah orang terdekat yang akan Roby tanyakan terlebih dahulu. Namun jika keadaannya terus seperti ini, Roby tak yakin jika ia akan betah duduk bersama Alya bahkan untuk satu minggu mendatang.

***

Aksi diam-diaman masih melingkupi bangku Roby dan Alya. Satu patah kata pun tak terdengar dari bibir gadis di sampingnya itu. Dan Roby berusaha untuk tidak berisik. Ia masih harus memikirkan bagaimana cara membuat Alya banyak bicara padanya, tidak hanya mengeluarkan dua kata. Ya dan tidak. Ataupun mengangguk dan menggeleng. Sangat tidak nyaman rasanya jika ia bertanya panjang lebar tapi hanya dibalas dengan anggukan atau gelengan. Setidaknya bagi Roby itu sangat tidak nyaman.

Melihat Alya seolah nyaman-nyaman saja mengobrol dengan pemuda di perpustakaan tadi, membuat Roby ingin menemui pemuda itu. Setidaknya menanyakan siapa sebenarnya Alya dan apa yang membuat gadis itu menjadi sediam ini. Mungkin Roby akan mendapat jawaban dengan bertanya padanya. Tentu bukan jawaban seperti yang Bass utarakan. Itu tidak cukup membantunya.

Begitu bel istirahat kedua berbunyi, Roby langsung saja mengambil langkah lebar untuk pergi ke perpustakaan. Setidaknya, ia harus sampai lebih dulu di perpustakaan dibanding Alya jika tak ingin rencananya buyar begitu saja.

TBC

Madura, 020520

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang