Untungnya saat Roby baru saja sampai di perpustakaan, keadaan masih sangat sepi. Tak terlihat satu pun pengunjung termasuk Alya. Entah gadis itu sedang apa sekarang, yang perlu Roby lakukan adalah mencari keberadaan pemuda yang sedang mengobrol bersama Alya tadi. Dan menanyakan banyak hal tentang Alya. Hanya itu satu-satunya cara mengetahui orang seperti apa Alya itu.
Setelah melangkah perlahan, menyusuri satu per satu rak, akhirnya Roby menemukan keberadaan pemuda itu. Ia sedang berada di depan rak bagian fiksi, menata satu per satu buku-buku yang ada di sana. Membuatnya rapi. Roby memandangnya sejenak. Melihat penampilan pemuda itu dari bawah hingga atas. Dipikir-pikir pemuda ini terlihat keren. Dengan balutan celana berwarna hitam dan kemeja batik bermotif serta kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat penampilannya cukup menarik.
"Butuh sesuatu?"
Roby terkesiap saat tiba-tiba pemuda itu menegakkan badannya, menghadap Roby sepenuhnya. Membiarkan tumpukan buku yang belum sempat tertata begitu saja. Roby merasa salah tingkah. Segera ia menunjukkan senyumnya, sebagai bentuk sapaan.
"Anu, Pak. Eh?" Gugup? Tentu saja. Roby merasa gugup saat pemuda itu menatapnya begitu.
"Panggil saya Kak Ray aja. Penjaga perpustakaan yang baru. Kenapa? Mau minjem buku tapi bingung tempatnya di mana?"
"Itu, mau tanya-tanya, boleh?"
Ray mengangguk sembari melepas kacamatanya, kemudian menyimpannya di kantong kemeja.
"Kamu temannya Alya?" Sekali lagi Roby terkejut. Bagaimana bisa Ray tahu?
"Kemarin pas kamu keluar, saya nggak sengaja liat. Gerak-geriknya sih, kayak ngikutin Alya. Jadi bener, ya? Padahal saya asal nebak aja." Ray terkekeh kecil.
"Saya murid baru di sini, Kak."
Ray mengajak Roby untuk ikut duduk di kursi kosong sebelahnya. Roby pun menuruti.
"Pantes, saya asing banget sama wajah kamu. Oh, iya. Mau nanya apa?"
Roby terdiam sejenak. Takut pertanyaannya membuat Ray berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Walaupun sebenarnya Roby membutuhkan ini untuk dirinya juga ke depannya. Bukankah Roby sudah bilang jika ia tak bisa terus diam-diaman seperti ini dengan Alya. Sangat tidak nyaman rasanya tidak berbicara banyak satu sama lain selama itu. Jika boleh pun sebenarnya Roby ingin pindah tempat duduk saja. Namun sepertinya tidak ada yang bersedia menggantikan tempatnya. Roby juga tak ingin Alya terus menjadi pribadi yang seperti itu.
Tidak baik untuk Alya ke depannya. Bagaimanapun juga, Alya tetap makhluk sosial. Jelas ia membutuhkan bantuan orang lain demi keberlangsungan hidupnya.
"Tentang Alya, ya?" Ray tersenyum saat melihat reaksi Roby yang sepertinya terkejut. Untuk kedua kalinya, Ray bisa menebak isi kepala Roby.
"Alya memang gitu anaknya. Pemalu, pendiam, gengsian. Bukan berarti dia tidak mau berteman. Hanya saja, banyak sekali asumsi-asumsi negatif yang ia pikirkan. Kamu cukup jadi teman yang baik buat dia. Jangan pernah memandang fisik dalam hal pertemanan. Alya butuh diterima apa adanya. Bukan hanya karena tampilannya."
Roby kembali terdiam. Benarkah demikian? Memang ada apa dengan fisiknya? Roby menilai Alya sama saja dengan siswi lainnya. Meskipun tubuhnya sedikit lebih pendek dan lebih gempal, bukan berarti Alya begitu buruk di mata lainnya. Roby mendapat pencerahan sekarang. Mungkin karena itu, Alya menjadi orang yang tingkat percaya dirinya kurang. Benar kata Ray, Alya hanya butuh diterima apa adanya.
Baiklah, Roby sudah menemukan jawabannya sekarang. Ia harus berusaha membuat Alya menjadi pribadi yang lebih banyak bicara. Tidak hanya menjawab ya dan tidak atau menggeleng dan mengangguk.
Roby bangkit setelah mengucapkan terima kasih kepada Ray. Ray hanya tertawa singkat sembari berdoa dalam hati semoga Roby bisa mengubahnya.
***
Hal pertama yang Roby lakukan demi melancarkan misinya adalah mencoba mengajak Alya berbicara. Roby mencoba meminjam pen Alya, berharap gadis itu mau merespon permintaannya atau bahkan meminjamkannya.
Roby menatap Alya yang tengah fokus menyalin materi ke bukunya.
"Punya pen dua nggak?" tanya Roby dengan nada pelan dan hati-hati.
Butuh waktu beberapa detik untuk membuat Alya menoleh padanya. Roby tersenyum saat gadis itu menoleh. Dalam hati berharap semoga kali ini Alya mau meresponnya.
Satu menit Roby menunggu sembari mencoba untuk tidak terlihat sedang memerhatikan gerak-gerik Alya. Sepertinya usaha kali ini gagal. Dari ekor matanya, Roby tidak melihat Alya mengambil sesuatu atau apa pun untuk membantunya. Namun tiba-tiba, sebuah pen berada di atas bukunya. Lantas membuat Roby menoleh dan mendapati Alya sedang menatap pennya bergantian dengan menatap dirinya. Roby tersenyum mengetahui apa maksudnya.
"Makasih, ya."
Dalam hati, Roby bersorak senang. Usahanya kali ini berhasil. Kendati Alya masih enggan berbicara. Setidaknya, cewek itu sudah mau membantunya.
Keduanya kembali fokus pada materi yang sedang diajarkan, sampai jam pelajaran berakhir.
Sesaat setelah guru mereka keluar kelas, Roby segera melancarkan misinya. Kali ini ia berakting seolah tengah kehilangan sesuatu, segala macam benda di dekatnya ia obrak-abrik. Sepertinya Alya mulai menyadari Roby tengah kehilangan sesuatu. Ia menoleh menatap heran Roby yang tengah sibuk sendiri. Roby menyadari usahanya berhasil, ia segera menghentikan aksinya.
"Duh, pen kamu kayaknya hilang. Gimana, nih?" Roby bertanya dengan raut wajah melas yang dibuat senatural mungkin.
Demi apa pun, Roby yakin sekali jika Alya hanya akan menjawabnya dengan anggukan kepala sebentar lagi. Meski begitu, tak apa. Roby akan terus berusaha membuat Alya mau banyak bicara padanya. Ia yakin suatu hari, caranya akan berhasil. Entah mengapa membuat gadis di sampingnya ini berbicara terlihat lebih penting daripada mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya.
"Nggak pa-pa."
Roby tercengang sesaat. Demi apa Alya baru saja berbicara? Ini sungguh di luar dugaan Roby.
Roby mengangguk semangat. "Janji deh, nanti diganti," balasnya dengan harapan Alya kembali menjawab dengan suara alih-alih dengan anggukan.
Namun sayang, kali ini Alya hanya mengangguk. Tapi tak apa. Setidaknya Alya sudah mau berbicara padanya kendati hanya beberapa kata. Kemajuan yang bisa dibilang cukup singkat.
Beberapa menit berlalu, guru yang akan mengajar tak kunjung datang. Dalam hati, Roby bersorak senang. Pasti jamkos. Sama seperti kebanyakan murid lainnya, Roby tentu menyukai jam kosong, ia bisa bebas melakukan apa saja tanpa terpaku pada papan tulis di depan.
Roby hendak mengeluarkan ponselnya namun urung saat matanya melihat Alya yang sedang fokus membaca sebuah novel. Roby tersenyum jahil sebelum kembali melancarkan aksinya.
Cowok itu menidurkan kepalanya di atas lengan, mendekatkan diri pada bangku Alya. Kemudian menatap gadis itu lama, bahkan tanpa berkedip. Alya saat itu belum menyadari apa yang tengah Roby lakukan. Namun saat jemarinya membuka halaman baru, matanya tak sengaja menangkap Roby yang tengah menatapnya dengan bibir menyunggingkan senyum.
Sialan! Alya mendadak salah tingkah saat menyadarinya.
Demi menghindari Roby yang sepertinya enggan mengalihkan pandangan, Alya memilih untuk segera bangkit. Perpustakaan sepertinya tempat yang aman dibandingkan diperlakukan seperti itu oleh seseorang yang baru saja dikenalnya.
Roby tersenyum, masih dengan posisi yang sama. Melihat Alya salah tingkah tadi, entah mengapa membuatnya ingin terus mengganggunya.
TBC
Madura, 050520
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You
Teen FictionAlya selalu merasa dirinya si buruk rupa. Bertubuh pendek berisi, wajah kusam penuh jerawat. Tak akan ada orang yang mau berteman dengan dirinya. Oleh karena itu, Alya ingin masa SMAnya berlalu tanpa kenangan. Tanpa teman. Tanpa kisah. Tapi sayang...