Dua

81 16 4
                                        

~~•°Adam's Chronicle°•~~

Pukul 09.50, kantin SMA Harapan mulai disesaki murid-murid yang ingin mengisi perut. Di bagian pojok bangunan yang setengah terbuka itu, tepatnya pada meja nomor dua, Freya dan kedua sahabatnya duduk.

Mereka sibuk dengan semangkuk bakso masing-masing. Ya, tentu saja Arum dan Luna makan dengan lahap, tapi tidak dengan Freya. Sedari tadi ia hanya mengaduk-aduk baksonya.

“Kok, enggak dimakan, Frey?” tanya Luna.

Freya terjengit. “Gue makan, kok,” elak Freya seraya menyeruput satu sendok kuah baksonya.

“Mana? Dari tadi juga lu aduk-aduk doang,” Arum menjeda ucapannya sambil melirik mangkuk Freya yang isinya masih utuh, “lu kenapa, sih?” sambungnya.

“Tau lu, kalo ada apa-apa, tuh, bilang!” Luna menimpali.

Lagi-lagi Freya hanya menunduk. Ia tak tahu harus menceritakan hal itu kepada Arum dan Luna atau tidak. Lalu apa mereka akan tetap menjadi sahabatnya setelah ia menceritakannya? Dan saat di kelas tadi, apa mungkin ada orang lain yang sudah tahu? Atau jangan-jangan beberapa dari mereka memang sudah tahu? Lalu apa yang sebenarnya terjadi malam itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Freya. Ingin sekali rasanya ia berteriak meskipun itu tidak akan menyelesaikan apapun.

“Frey!” panggil Arum.

“Eh, apaan?” jawab Freya tersadar dari lamuannya.

“Ngelamun mulu! Dateng telat, ngelamun, kagak konsen, ditanyain gak jawab, lu kenapa, sih?” cecar Arum. Akhirnya, jiwa emak-emaknya yang telah meronta sejak tadi pagi bisa keluar juga. Arum memang yang paling keibuan di antara mereka bertiga.

“G-gue ... mmm,” Freya menggigit bibir bawahnya, “sebenarnya ada yang pengen gue ceritain.” Ia meneguk salivanya setelah menyelesaikan ucapanya.

“Yaudah, cerita aja, Frey. Kayak sama siapa aja, lagian lu mau curcol ke siapa kalo gak ke kita?” ujar Luna. Gadis itu tidak secerewet sahabat Freya yang satunya, Arum. Pembawaanya memang santai dan kalem, kecuali kalau ada cowok ganteng lewat. Luna akan seketika berubah menjadi cewek alay yang teriak histeris sambil jingkrak-jingkrak.

“Gue mau cerita, tapi enggak sekarang. Gue butuh waktu,” jawabnya.

“Emang ada masalah apa? Tumben gak langsung cerita?” ujar Arum.

Freya hanya menggeleng seraya tersenyum kecut. Ia pun segera menyantap baksonya.

Tak berapa lama tiga mangkuk bakso itu telah tandas. Mereka langsung kembali ke kelas setelahnya.

Namun, di tengah jalan menuju kelas, Freya pamit ke toilet pada kedua sahabatnya. “Rum, Lun, kalian duluan aja ya, gue mau ke toilet bentar.”

“Mau gue temenin?” Arum menawarkan diri.

“Gak usah, deh, gue bisa sendiri, kok,” tolak Freya.

“Tapi jangan ngelamun lagi di kamar mandi! Entar lu kesambet! Jangan kelamaan juga, bentar lagi bel. Ampe telat, abis lu dihukum Pak Kumis,” pesan Arum pada Freya layaknya ibu yang khawatir dengan anak gadisnya saat keluar malam.

“Iyaa, bawel banget, sih, udah kayak emak-emak aja.” Freya meledek diikuti tawa kecil Luna.

“Gue khawatir, bego!” Arum berdecak kesal, tak terima dikatai emak-emak.

“Pfft ..., kita balik duluan ya,” pamit Luna.

“Iya.” Freya mengakhiri jawabnya dengan senyum sampul.

Adam's ChronicleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang