Tiga

13 0 0
                                    

🕊️🕊️🕊️

Jam sudah menunjukan pukul 16.00 yang artinya waktu kerjaku berakhir. Uh, betapa leganya. Sedetik kemudian aku teringat bahwa aku memiliki janji dengan om Winta. Ya, kemarin om Winta mengajakku untuk bertemu di salah satu kafe, katanya ada yang dia bicarakan.

"Zha, buru-buru banget. Ada apa emang?" Tanya Ramzan.

"Gue ada janji sama Winta." Jawabku sambil mengemas barang-barangku dan sesekali memeriksa ponsel.

"Cie, yang mau ngedate. Uhuy." Ledek Ramzan.

Ku tampar mulutnya, "Sembarangan aja ini mulut!"

"Sakit bangke!" Adunya kesakitan.

"Dih, apaan? Gue juga pukulnya pelan. Udahlah gue pergi, bye!" Aku melenggang meninggalkan Ramzan.

Jalanan memang padat di jam pulang kantor seperti ini. Macet adalah hal yang biasa dan sudah menjadi rutinitas. Aku mengecek jam tanganku, sudah lima belas menit aku terjebak macet padahal jarak kantor dan tempat yang aku tuju tidak terlalu jauh, hanya butuh dua puluh menit untuk mencapai tempat itu.

Setengah jam lebih aku terjebak padatnya lalu lintas ibukota dan akhir smpai juga. Aku segera masuk dan memesan minuman, gak sabar pengen meluruskan kaki. Aku memilih duduk di kursi paling pojok, siapa tahu omongan kita nanti cukup serius. Dua puluh menit berlalu aku menunggunya tapi belum kelihatan batang hidungnya. Aku sudah mencoba menelpon Winta, memberitahunya bahwa aku sudah sampai. Berkali-kali ku telpon tapi gak ada satupun yang dia angkat, ku kirim spam message pun gak ada satupun yang dia balas. Kopi yang tadi kupesan bahkan sudah ku habiskan setengahnya.

Jujur, aku bukan wanita lemah yang mudah menangis. Tapi aku benci sama orang-orang yang ingkar janji, dimana aku udah usaha nyiapin segala ataupun aku udah berusaha buat tepat waktu tapi malah di prank gini. Aku gak pengen nangis sama sekali, tapi ait mata kurang ajar ini merangsek keluar tanpa permisi. Menyedihkan banget gak sih?

Aku menghabiskan kopiku yang tinggal setengah, kemudian pergi setelah itu. Kututup pintu mobil dengan keras, persetan dengan orang-orang yang melihatku dengan aneh, aku gak peduli. Ah, sial. Masa aku lemah banget gini? Gara-gara Winta gak datang aja aku sampe nangis gini. Fuck lah!

"Bener-bener ini orang Dajjal banget, kelakuannya. Gimana nanti nasib gue kalo nikah sama dia, Ya Allah?"

Aku mengusap air mata yang merembes keluar dan terjun ke pipi, aku angkat dan kusatukan tanganku kedepan dada seraya berdoa meminta kepada Tuhan. "Ya Allah, dosa 'kah hamba berdoa seperti ini? Hamba bener-bener gak mau nikah sama om Winta, hamba gak mau jadi istrinya, hamba gak mau timbangan amal hamba nanti berat dosanya..."

"... Ya Allah, hamba tahu kalau hamba  bukanlah seorang yang taat tapi banyak maunya dan doanya mungkin gak mustajab*. Tapi hamba mohon sekali ini saja, tolong hidupkan Tante Renata kembali atau kalo gak matiin aja Winta dari muka bumi ini, Ya Allah. Aamiin." Kututup doaku. Aku suka gini, ibadah jarang-jarang tapi banyak mau. Hmmm....

Ish, bener-bener air mata sialan! Aku gak mau nangis tapi kenapa keluar terus si? Aku masih menangis di pelataran kafe, mungkin sudah lima belas menit aku menangis. Sial!

Ku hidupkan mobilku, melaju membelah padatnya jalanan ibukota. Suara dari radio dan segala sumpah serapahku mengisi perjalanan menuju rumah. Segala sumpah serapah memang pantas untuk Winta keparat itu. Bajingan.

"Jadi guys, seburuk apapun mantan Lo jangan pernah Lo doain doi yang jelek. Doain yang baik-baik guys, karena doa yang gak baik itu gak bakal dikabulkan malah bisa balik ke diri sendiri. Mampus gak tuh? Lo doain dia yang jelek malah balik lagi ke Lo."

When Winter Meet SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang