***
Perasaan dimana semua yang terjadi adalah tanggung jawab lo, perasaan dimana lo ngerasa bersalah atas kesalahan yang gak lo lakuin adalah suatu perasaan yang paling menyiksakan.
Dia bilang semua yang terjadi bukan kesalahan gue dan gue tau itu. Tapi perasaan bersalah yang keluar tanpa izin ini selalu aja hadir. Ini nyiksa banget sih parah. Pikiran positive buat ngusir perasaan bersalah aja gak mempan. Rasanya kayak, lo punya hutang akan sesuatu.
Hari ke dua semenjak kejadian itu tidak membuat gue semakin baik-baik saja. Sejak kemarin gue mematikan handphone untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang mengenal gue. Gue perlu waktu, seenggaknya untuk membuat pikiran gue menjadi baik lagi. Walaupun terkesan gue sedikit menghindari masalah yang ada.
Yang paling bikin gue nyesek adalah, ketika orang-orang itu membuat aturan yang harus kita jalanin. Inti dari aturannya adalah; kita di suruh menjadi asing untuk satu sama lain disaat kita gak pernah mau. Ya walaupun gue tau sih, semua dari kita akan melanggar aturan itu. Tapi gak gampang buat melanggar. Dia orang besar dan dia punya kekuasaan.
"Sannan, keluar gak lo" Seseorang mengetuk pintu kamar gue. Lebih seperti mau mendobraknya. Gue menyibakkan selimut yang sedari tadi menutupi seluruh tubuh gue. Memaksa diri gue untuk bangun dan membukakan pintu, mendapatkan sosok perempuan dengan tatapan yang siap untuk memarahi gue. "Ah letoy banget lo. Makan cepet" Perintahnya setelah memandang gue dari atas sampai bawah.
"Gak laper, kak"
"Kapan sih lo lapernya, anjing. Gue udah bilang ke nyokap kalau lo baik-baik aja biar dia gak panik. Tunjukkin ke nyokap kalau lo emang baik-baik aja"
"Emang gue baik-baik aja kok"
"Bullshit, lo. Cepetan keluar, makan" Dia berlalu mendahului gue dan gue mengekorinya dengan lesu.
Rasa bersalah memang terlalu nyiksa banget sih parah. Gak bisa tenang mau ngapa-ngapain juga. Bawaannya mau minta maaf ke semua orang yang mengenal gue.
Gue tinggal berdua bareng kak aya ditengah kota. Kak Soraya. Kita sama-sama cari uang disini, sama-sama mengejar mimpi, sama-sama punya keinginan. Tapi tengah kota terlalu keras dan akan selalu menjadi keras. Keinginan lo gak akan dengan mudah berjalan lancar. Gue udah mengalaminya berkali-kali. Berkali-kali mau nyerah, berkali-kali mau mati, berkali-kali bangkit lagi. Capek deh pokoknya. Kalau keadaan tengah kota membuat lo terjatuh, lo akan mendapati dua pilihan. Mendapatkan jalur baru atau berhenti di tengah jalan.
Tapi pilihan berhenti gak pernah keren untuk menjadi pilihan.
Gue menatap meja makan kecil yang cukup untuk kita berdua selama beberapa detik, lalu kembali melanjutkan pergerakkan untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Makanannya gak terlalu mewah, masakkan rumahan kayak biasanya, tapi gue yakin ini akan selalu berakhir enak. Tapi sayangnya mood gue sedang tidak mendukung. Kak aya duduk di hadapan gue, berkali-kali juga gue denger helaan nafas berat dari dia. Dia pasti frustasi punya adek yang gak berguna kayak gue.
"I am always proud of you. Don't feel useless" Katanya tiba-tiba. Tangan gue yang sibuk mengaduk makanan spontan berhenti bergerak dan menatap dia yang sedang sibuk dengan makananan di hadapannya, kaget. Dia bisa denger gue?
"Gak usah kaget. Muka lo ke baca dan lo selalu punya pikiran jelek kayak gitu" lagi-lagi katanya, tanpa menatap muka gue. Gue kembali mengalihkan padangan fokus pada makanan yang kayak nya lebih banyak gue mainin daripada masuk ke mulut.
"Abis ini lo mau ngapain?"
"Rest untuk beberapa waktu"
"Setelah itu?"