04 ; Move

22 5 0
                                    

***

Ada seseorang yang pernah bilang ke gue ;

"Mau di kehidupan nyata, di dalam cerita, di dalam imajinasi. Perpisahan gak akan pernah mungkin menjadi hal yang bisa di terima dengan baik. Hanya berlaku untuk kenangan yang juga baik" 

Seseorang yang pernah mengatakan hal itu adalah dia yang sedang duduk di hadapan gue dengan hasil percobaaan di tangannya. Masakkan percobaan yang baru aja dia buat dan menunya gak berubah dari kemarin. Dia gak bisa masak, tapi hampir seminggu dia maksa gue untuk menemani dia melakukan uji coba di dapur rumah gue.

"Coba makan, ya" Dia mengarahkan sendok ke mulut gue. Kepala gue spontan menjauh dengan muka yang terlihat —akh, menahan rasa gak suka. Dari bentuknya aja udah aneh banget. 

"Gak, gak mau" Tolak gue. 

"Kita udah bikin ini bareng. Jangan di buang"

"Kan lo yang maksa gue buat bantuin lo. Lagian kenapa lo tiba-tiba mau belajar masak? Belajarnya sama gue lagi. Gue bisanya bikin lagu, bukan bikin makanan. Aneh lo minta belajar sama orang yang gak bisa masak"

Gak aneh kok. Gue tau alasan utama dia yang belakangan rutin ke rumah gue.

"Udah ngomongnya? Berisik banget deh. Mahta gak suka"

"Ih?"

Mahta diam untuk beberapa saat sambil mencicipi hasil percobaannya. Ekspresinya keliatan kayak lagi mikir. Enak apa ya? Dari kemaren dia yang makanin hasil percobaannya, terus mukanya kayak gak keganggu gitu sama hasilnya.

"Ini tuh sebenernya gak enak, tapi gue paksa telen. Kayak setiap nasib buruk yang dateng kehidup gue, gue paksa buat nerima. Karena kalau enggak bisa maksain diri untuk menerima dan memilih untuk membuangnya, gue gak akan pernah bisa belajar"

Selain numpang berantakkin dapur disini, dia juga berkali-kali mengeluarkan kata-kata yang cukup untuk menampar gue. 

"Gue makan ini, biar tau apa yang kurang dari rasanya" Dia memandang gue, "Untuk menjadi lebih enak, gue harus tau apa yang kurang dari makanan ini. Ini namanya proses"

"Dih bahasa lo dangdut banget"

Dia berdiri dari sofa, "Ayo ya, bantuin gue lagi" Mahta kembali melangkah ke arah dapur dan gue cuma memandang punggungnya menjauh.

Mahta sejak hari itu selalu ke rumah gue dengan alasan mau belajar masak. Ketika gue tanya kenapa harus dapur gue yang dia jadiin korban, mulutnya cuma mengatakan kalau dia gak ikhlas mau ngeberantakkin dapur di rumahnya. Jadi mendingan berantakkin dapur di rumah gue. Hehe, nyebelin sih alasannya. Tapi pasti alasan utamanya bukan itu. 

Mahta tau kalau gue gak pernah suka sendiri, dia tau gue benci sendiri. Dia kesini hanya bentuk inisiatif dari diri sendiri tanpa harus menghilangkan imagenya di mata gue. Maksudnya, dia gak pernah mau nunjukkin rasa perhatian dia ke seseorang yang dia pedulikan secara terang-terangan. Tapi bukan berarti dia bisa sepenuhnya nutupin itu. Bentuk perhatiannya terlalu jelas dimata gue.

"Ya, kira-kira ini kurang apa ya?" Gue baru saja menginjakkan kaki di dapur dan sudah di suguhi ekspresi dia yang kebingungan. 

Dahi gue mengerut, "Ya mana gue tau?"

"Makanya cobain sini" Dia mengarahkan sendok kecil ke arah mulut gue untuk yang kedua kalinya. Gue ingin menolak, tapi penasaran dan berakhir membuka mulut gue untuk menyicipi. Berkali-kali gue mengecap-ngecapkan lidah untuk merasakan apa yang kurang dari makanan ini. Dia menunggu respon dari gue dengan ekspresi kayak ๏_๏ "Kurang enak —akh" Dia memukul lengan atas gue, "Kok mukul lo?"

LCTOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang