05 ; Podcast

34 5 0
                                    

***

Udah seminggu ya?

Haha, kirain makin baik-baik aja. Kirain akan terbiasa kayak yang udah-udah. Tapi rasa kangennya malah makin besar. Udah berusaha nahan kangen sebisa mungkin juga tetep aja kalah sama rasa kangen itu sendiri. Padahal perihal nahan menahan segala emosi, gue jago banget sih seharusnya. Nahan sakit bisa, nahan nangis sering, bertahan buat berdiri juga setiap hari. Tapi kenapa nih rasa kangen susah bener di tahan ya? Gila, pelet siapa dah ini gede bener. 

Ana berkali-kali ngehubungin gue untuk memberi pertanyaan yang sama setiap harinya. Jawaban gue juga selalu sama setiap harinya. 

"Kak, mau balik gak?"

"Mau, na"

"Kak, serius mau balik kan?"

"Iya, na. Serius"

"Yang lain mau balik juga gak, kak?"

"Mereka pasti mau, na"

"Kak--

"Berisik banget lo pompong"

Gak kok, yang terakhir bohongan. 

Gue gak tau, apa yang mau Ana lakuin. Apalagi semenjak chat an yang bilang kalau dia mau berusaha bikin kita semua balik. Gue khawatir deh serius. Kalau dia mau bikin kita balik, bukannya dia harus berurusan sama orang tua gak berakal itu? 

Yoyo belum tau perihal ini. Dia tau gue ngehubungin Ana aja udah ngamuk, apalagi tau perihal ini. Adu taekwondo kita yang ada. Tapi yang pasti, dia juga kangen Ana kok. Dia kangen kita. Dia kangen semua yang pernah kita buat. Namun memilih untuk berhati-hati dan melanjutkan perjalanannya, perjalanan kita, walaupun masing-masing. Gue sama sih kayak dia, tetap melangkah ke depan. Tapi bedanya, gue masih berani noleh ke belakang. 

Gue selalu bertanya pada, Yoyo ; "Kalau waktu bisa di ulang, lo mau balik gak?" Tapi dia juga berkali-kali mengindari jawaban. Dia gak bilang enggak, dia juga gak bilang iya. Yang dia lakuin cuma mengalihkan semua obrolan yang menuju hari itu. 

Malam itu gue tau gimana kagetnya kita, rapuhnya kita, gak terimanya kita, sakit nya kita. Di paksa menjadi asing dan menerima semuanya. It's hard men and it's hurt too. Kita perlu banyak waktu untuk lupa. Itupun kalau kita mau. Tapi  sayangnya enggak. Kita gak akan pernah mau untuk lupa sekalipun ada banyak orang yang memaksa atau menawarkan diri untuk membantu melupakan. 

Eyy, memori gak semurah itu untuk di lupakan. Bikinnya udah mahal banget soalnya. Itu alasan memori-memori itu menjadi sesuatu yang berharga. 

"Gimana tawaran kemarin? Udah lo terima?" 

"Jangan tanya dulu"

Yoyo dapet tawaran photoshoot, tapi dia bingungnya dua puluh empat jam cuma buat nerima tawaran itu apa enggak.

"Terima aja sih" Kata gue.

"Gue jawab setelah kita mulai anu lagi"

"Anu apa bangsat" Gue ngelempar bantal ke dia. 

"Otak lo jangan kemana-mana anjing. Udah ah" Yoyo jalan ke kamarnya. Gue cuma ngetawain dia disini.

Gue tau kok maksudnya, cuma bingung aja kenapa dia gak berani nyebut langsung padahal kita lagi di rumah. Orang tua itu juga gak akan seheboh itu kan masang penyadap disini? Dih gila. Kayaknya dia memang sehati-hati itu. It's okay, gak ada yang salah. 

"Kak hirnata, bisa nelfon gak?" Gue mendapatkan pesan dari Ana dan mengetikkan balasan untuk menyuruhnya langsung ketemu aja. 

Oceana gak akan pernah ngajak nelfon kalau itu bukan sesuatu yang penting untuk di bicarakan. Selama seminggu ini, Ana selalu membicarakan tentang bagaimana dia ingin membantu kita untuk kembali bersama, bekerja bersama, dan menikmati pekerjaan. I don't know what she wants to do. Gue cuma mengikuti dan mengiyakan apa yang dia bicarakan tanpa berniat untuk menghentikannya. Because it seems, i need her. We need her.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LCTOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang