***
Orang-orang gak perlu iri lah seharusnya sama apa yang gue jalanin. Ketika mereka mengatakan kalau gue terlalu keren karena sanggup bertahan, gue cuma bisa mentertawakan kenyataan yang gak pernah mereka tau. Gue bisa bertahan sejauh ini juga karena ada proses nya. Dan seharusnya mereka gak perlu membandingkan nasib mereka dengan nasib orang lain. Masing-masing pasti punya perasaan yang gak orang lain tau. Sama aja kayak gue, keliatannya aja kuat, padahal mah nahan banget buat gak ngeluh. Nahan banget buat gak nangis di depan orang-orang. Nahan banget buat gak nunjukkin rasa sakit. Nahan banget buat gak nularin energi negatif. Kalau di antara kita semua nya ngeluh, semuanya capek, semuanya marah, siapa yang mau jadi air di emosi mereka? Seenggaknya harus ada satu yang terlihat baik-baik aja untuk nularin ke mereka.
Menyerah.
Buat gue itu gak ada. Itu cuma rasa lelah yang mampir di keadaan mereka.
"Capek banget mau nyerah"
Enggak. Itu lo cuma lagi capek sama keadaan dan kata-kata nyerah yang keluar di saat lo capek itu cuma angin lalu. Karena gue yakin deh, ketika perasaan lelah lo hilang, lo akan kembali mencoba untuk mencari jalur baru. Sama aja kayak lo capek karena berlari terlalu kencang, lalu berehat untuk sementara. Lo akan kembali berlari setelah semua tenaga lo balik. Lagian walaupun lo gak bisa berlari cepat, lo masih bisa berjalan cepat, berjalan, berjalan lambat, merangkak, berehat, nanti bangun lagi. Semua ada prosesnya, semua ada langkahnya.
Kayak, "Ya udahlah. Bumi belum berhenti berputar. Kenapa takut sama sekali kegagalan?"
Haha. Gue terlalu terbiasa menimbun pikiran positif dari dulu.
"Ta, lo mah scroll doang daritadi. Cepet pilih lagunya"
"Sabar dong" Gue kembali ngescroll melihat lagu yang ada di layar sampai akhirnya cewek di sebelah gue merebut remote dari tangan gue. Pusing kali ya dia.
"Dah lah. Yo, cabut skuy" Ajak gue.
"Gila lo"
"Sat, coba deh lo inget-inget. Pagi ini udah ngatain gue gila berapa kali?" Yoyo mendogakkan kepalanya pura-pura mengingat.
"Berapa coba?" Dia kembali melontarkan pertanyaan.
"Udahlah, gue mau cabut. Engap banget disini" Gue mengambil jaket yang berada di sandaran sofa.
"Ta, gak usah aneh-aneh" Yoyo mencoba untuk menahan gue.
"Gue mau ketemu Ana"
"Anjing. Nurut kenapa sih? Gak usah bikin orang lain ngerasa kepikiran gitu deh. Seenggaknya lo peduli abang-abang gitu" Yoyo menaikkan nada nya. Gue cuma diam dengan tenang. Mencoba untuk gak tersulut emosi.
Gue menghela nafas dan kembali duduk, mengambil alih kembali remote yang di pegang Harlyn karena ternyata dia masih sibuk milih lagu. "Sama aja lo kayak gue" kata gue kepada Harlyn. Dianya sih cuma mangut-mangut aja.
Gue gak jadi keluar bukan karena kalimat si Yoyo barusan, tapi karena-ya masa gue ninggalin si kunyuk berduaan doang sama cewek.
Hehe, enggak.
Cara gue bertahan hidup dengan dunia yang suka menyandung kaki gue gimana? Yang gue lakuin cuma nelen nasib yang ada aja. Kalau jatuh, ya bangun lagi. Gitu terus. Hidup udah kayak gak ada perasaan apa-apa lagi. Kayak udah terbiasa sama rasa sakit. Luka baru sembuh, nanti ada lagi yang baru.
"Gak capek lo?"
Capek mah iya. Istirahat aja dulu. Isi ulang tenaga. Nanti lari lagi.
Tapi sebenernya gue juga benci sih ketika orang-orang menatap gue kasihan ketika gue tersandung jatuh.