Cendol dan Dawet

46 2 0
                                    


   Matahari tepat berada di atas kepala setiap warga di kota metropolitan Jakarta. Panasnya cukup merambat begitu cepat, menyusup melalui celah-celah rambut dan menusuk ubun-ubun. Pada cuaca panas seperti ini, biasanya orang-orang akan mengumpat didalam ruangan atau mungkin bersembunyi dibalik bayangan batang-batang pohon yang rindang. Akan tetapi, panas tidak berlaku bagi personal yang sibuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Mereka tetap berjalan berlalu-lalang di trotoar walaupun keringat membasahi ketiak dan beberapa bagian tubuh lainnya. Begitu juga dengan keringat, keringat tak berlaku juga bagi orang-orang dengan kelas ekonomi menengah ke atas, sebab pada kenyataannya tubuh mereka tetap terjaga pada suhu sejuk yang dihasilkan oleh bilik kendaraan roda empat. Walau begitu, mereka tetap dalam ranah yang sama, yaitu bekerja. Dan satu hal lagi yang membuat mereka mempunyai kesamaan, yaitu soal dahaga. Dahaga tak permah mengenal status sosial, sekelas pejabat, konglomerat, pengusaha, atau artis yang punya banyak uangpun tak bisa mengmusnahkan sifat dahaga secara penuh.

   Karena dahaga itulah para pedagang minuman banyak bermunculan, mulai dari yang tawar sederhana sampai yang manis luar biasa. Pak Asep memilih berdagang minuman manis khas bandung, yaitu cendol. Warga Indonesia mana yang tak kenal dengan minumam yang lezat ini, rasa manis dari gula merah yang dipadukan dengan rasa gurihnya siraman santan kelapa, pastilah sangat menggugah selera dahaga ditengah panasya cuaca Jakarta. Mungkin dari segi caranya berdagang memang bisa dibilang niat tak niat, sebab ia hanya mengguakan sarana gerobak dorong. Akan tetapi, dagangnya selalu ludes oleh orang-orang. Karena itulah ia selalu meningkatkan produksi cendolnya dari hari ke hari.

   Saat itu gerobak Cendol Pak Asep sedang ramai pembeli, banjiran pesanan membludak dan membuat dirinya keteteran. Gerobaknya bagai gula yang dikerubungi semut hitam. Karena hidup ini penuh dengan kebutuhan dan berdagang adalah hal yang dianjurkan oleh Nabi, maka dari kejauhan terlihat pedagang minuman lain dengan gerobak juga. Gerobak dengan hiasan petruk dan semar mengiasi gerobak yang sedang menuju kerumunan pembeli cendol Pak Asep. Mendekat dan semakin mendekat sampai pada akhirmya gerobak baru bersandar tepat disebelah gerobak Pak Asep yang sedang sibuk-sibuknya melayani pembeli. 

   Melihat kedatangan pedagang baru, pembeli yang sudah tak tahan menahan rasa dahaga melirik ke arah pedagang yang baru singgah tersebut. Pedagang minuman baru yang bernama Pak Tejo itu berteriak Dawettt.. Dawett.. Dawet sembari mengetuk gelas kaca dengan sendok alumunium yang menyebabkan suara nyaring dan terdengar oleh sebagian pembeli yang sedang menunggu antrean Cendol Pak Asep.

   Mungkin Cendol Pak Asep memang lezat tapi orang-orang tak bisa menahan dahaga lebih lama lagi sebab panas Jakarta benar-benar menyayat tenggorokan. Alhasil separuh pembeli Pak Asep beranjak pergi dan beralih ke Dawet Ayu khas Banjarnegara Pak Tejo. Awalnya hanya bagian belakang antrean dari Pak Asep yang beralih sampai akhirnya bagian tengah dari barisannya pun ikut beralih. Mereka yang awalnya kebagian atrean akhir Pak Asep sekarang langsung menjadi antrean pertama di gerobak Pak Tejo. 

    Di saat sedang melayani pembelinya yang tersisa, Pak Asep melirik sedikit transisi pembelinya yang ternyata hampir separuhnya. Dalam batinnya ia bermonolog kesal dengan diriya sendiri. Kesal yang tidak sedikit. Ia mengkalkulasi tentang keuntungan yang besar jika semua pembelinya tak berpindah ke sebelah gerobaknya dan yang membuatnya tambah kesal adalah ia melihat bahwa pedagang disampingnya menjual minuman yang sama seperti yang ia jual. Ini merupakan plagiat merek dagang katanya dalam batin. 

                                                                                               ***

     Panas telah redup dan sekarang waktu telah bersiap menuju sore, pembeli dari kedua penjual minuman segar ini berkurang dan semakin berkurang, hanya satu atau dua orang dengan jarak waktu yang lama.Di sela waktu senggang saat tak ada pembeli, Pak Asep menyempatkan menghitung hasil jualanya hari ini. Lembar demi lembar rupiah ia hitung, kadang ia harus merapihkan uang yang lusuh dan kusut. Saat menghitung uang ia sambil berharap agar pendapatannya hari ini tak menurun dari hari sebelumnya. Ternyata harapanya pupus saat hasil pendapatannya anjlok dari pendapatan sebelumnya. Ia melirik dengan tatapan benci ke grobak Dawet milik Pak Tejo. Ia yakin betul bahwa pedagang baru itulah yang menyebabkan pendapatannya menurun drastis. Akan tetapi ada yang ia lupakan dari bencinya. Ia melupakan bahwa hidup adalah penantian ketidakpastian. 

     "Kehed, sia" Ujar Pak Asep sambil menendang dengan keras gerobak Dawet Pak Tejo.

   Pak Tejo yang sedang mencuci gelas-gelas kotornya terperanjat kaget seraya berkata "Juancuk ?". 

"Gara-gara maneh, saya jadi rugi"Ujar Pak Asep dengan nada lebih tinggi. 

"Heh.. Kamu sudah gila, ya ? wong aku gak salah apa-apa kok"Bela Tejo dengan suara Jawa yang khas.

"Kamu itu sudah mengambil pelangganku dan yang paling fatal adalah kamu menjiplak minuman khas daerahku yaitu Cendol" Kata Pak Asep.

 "Kamu itu orang indonesia asli bukan, sih ?. Jelas-jelas Dawet itu dari Banjarnegara, tempat kelahiranku"

"Tapi bentuknya sama dan itu artinya kamu menjiplak minuman khas orang sunda"

"Apa bukti otentiknya bahwa aku menjiplak minuman khas daerahmu ?" balas Pak Tejo.

"Akan aku cari buktinya dan jika ketemu, kamu akan aku gugat kepengadilan atas dasar pelanggaran hak cipta" Pak Asep mengamcam dengan serius.

"Sok !. Silahkan laporkan, aku ndak takut. Paling-paling kamu akan mati konyol disana karena sistem yang semeraut dipengadilan. Lagipula kamu punya uang berapa untuk menyewa pembela hukum ?. Kita ini hanya pedagang gerobakan jangan sok-so'an deh yang ada nanti malah kamu yang terjerat hukum" Ujar Pak Tejo.


    Mereka berdebat cukup lama, mulut mereka saling melemparkan kata-kata yang dianggapnya sebagai suatu kebenaran. Sebenarnya keinginan masing-masing dari mereka simpel, Pak Asep hanya ingin mendapat pengakuan dari Pak Tejo bahwa ia memang menjiplak minuman khas tanah sunda dan segera pergi dari wilayah tempat berdagangnya sedangkan Pak Tejo juga ingin mengakui bahwa dagangannya adalah murni dari tanah kelaihirannya juga. Akan tetapi, perdebatan itu semakin tidak relevan karena masing-masing dari mereka sudah mengejek fisik dan kebiasaan adat. Pak Asep menghina budaya jawa dan Pak Tejo menghina budaya sunda. Sungguh masalah yang tak seharusnya dibesar-besarkan. Mereka lupa bahwa kedua minuman itu berada pada satu tanah yang sama yaitu tanah Jawa dan yang terpenting adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. 


    Sejak kejadian itu mereka berpencar mencari wilayah baru. Pak Tejo memilih terminal untuk menjual daganganya dan Pak Asep memilih stasiun kereta. Mereka berdua selalu berharap untuk tidak bertemuan lagi. 


    Sementara ditempat bekas terjadinya konflik perdebatan mereka, telah berdiri sebuah warung minuman kecil yang menyediakan berbagai macam minuman. Disalah-satu daftar sajinya tertulis "Sedia Cendol-Dawet Khas tanah Jawa"

Dunia Ketawa-KetiwiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang