1- wheel chair

655 86 63
                                    

Ami, wanita yang hanya memiliki nama dengan tiga huruf itu kini sedang mengobrak-abrik lemarinya. Dia terlihat sangat fokus dan sibuk.

"Nyari apa sih sayang?" tanya Ema di balik ambang pintu.

Ami memutar tubuhnya, "Eh Mama, ini lagi nyari rok batik favorit aku." jawab Ami.

"Oh itu, kemarin Mama simpan di lemari paling atas." sahut Ema.

"Ih Mama, kenapa disimpan di situ? Ami kan ngambilnya susah." balas Ami sambil memajukan bibir tipisnya.

Ema menatap Ami "Maaf sayang, besok semua pakaian kamu yang di atas Mama pindahin deh ke paling bawah. Jangan ngambek ya, kalau kamu ngambek nanti Mama gak akan masakin sop kesukaan kamu." rayu Ema.

"Gak ngambek kok Ma, gak apa-apa. Sekarang Mama bisa bantu Ami ambilin roknya enggak? Nanti Ami keburu telat nih." jawab Ami dilengkapi dengan senyum manis di bibirnya.

Roknya pun diambilkan, Ema membantu Ami memakai rok batiknya itu.

"Ma, Ami cantik gak?" tanya Ami sambil menggibas rok batik dengan tangannya.

"Jelas dong, siapa dulu Mamanya." balas Ema dengan memasang muka sombong. Ami pun tertawa melihat kelakuan ibunya itu.

"Ami berangkat dulu ya Ma, Mama istirahat jangan kemana-mana. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." jawab Ema sambil tersenyum.

---

"Ami, ini udah sampe di kampus kamu." kata Erdi, sahabat sekaligus supir pribadi Ami.

"Oh udah sampe, yaudah bantuin Ami turun dong Di." jawab Ami.

Erdi membantu Ami turun dari mobilnya, "Mau dianterin sampe dalem gak?" tanya Erdi.

"Gak usah Di, aku bisa sendiri." sahut Ami.

Erdi mengangguk menandakan bahwa dia mengerti, lalu Erdi pamit pergi untuk menunggu di parkiran.

Erdi adalah sahabat kecil Ami, dia bekerja menjadi supir pribadi Ami. Dia seorang anak yatim piatu yang tidak memiliki sanak saudara. Ayah dan ibunya meninggal tertabrak mobil satu tahun yang lalu. Selang beberapa hari setelah kejadian pahit itu, Erdi terlihat sangat sedih. Dengan idenya, Ami pun merengek meminta agar ibunya mengizinkan Erdi tinggal di rumahnya. Ibu dan ayahnya setuju, asal Erdi mau mengantar Ami kemana pun Ami mau.

"Permisi, mau tanya kelas seni di mana ya?" tanya Ami kepada seorang pria berkacamata bulat.

"Di sana." jawab pria itu sambil menunjuk sebuah ruangan kosong.

"Oke, terimakasih." sahut Ami sambil tersenyum manis kepada pria itu.

Karena Ami terburu-buru, dia jadi salah masuk ruangan dan menabrak salah satu ruang mekanik di sebelah kelas seni.

Brug!

"Aw!" jerit Ami. Dia tersungkur dan menangis di sudut sana.

Pria bertubuh kekar yang melihat kejadian itupun mendekati Ami
"Lo gak kenapa-kenapa kan?" tanya pria itu.
"Sakit!" bengis Ami.

Pria itupun membantu Ami agar duduk kembali di kursi rodanya. Dia mengobati luka di lutut Ami, Ami berterimakasih dan pamit pergi karena kelas seninya akan segera dimulai.

Namun saat dia akan melajukan kursi rodanya, dia mengecek rem kursi roda birunya terlebih dahulu.

"Lah, kok remnya jadi blong gini." gumam Ami.

"Kenapa?" pria tadi bertanya sambil menunggu jawaban dari Ami.

"Ini remnya blong, aku takut nanti nabrak lagi kalau dipaksain pergi." jawab Ami.

"Sini gue benerin." pria itu membantu Ami pindah ke kursi yang tersedia di bazar mekaniknya itu.

"Lo tunggu di situ, gue benerin kursi roda lo dulu." tegas Devandra, pria manis berkumis tipis itupun secepat mungkin memperbaiki kursi roda milik Ami. Ami tersenyum senang setelah mencoba kursi rodanya yang kembali normal.

"Wah, remnya jadi gak blong lagi. Terimakasih banyak ya." kata Ami sambil tersenyum ramah.

Saat Devan hendak beranjak pergi, Ami menatap Devan dan berhasil membuat Devan menghentikan langkahnya.

"Eh karena aku ini baik hati dan tidak sombong, sebagai gantinya kamu mau gak nanti siang makan bareng aku? Aku traktir deh beneran." tanya Ami, melanjutkan pembicaraannya.

Devan hanya mengangguk.

"Nanti aku kesini kalau kelas seni aku udah selesai." sambung Ami. Lagi lagi Devan hanya mengangguk.

Live in paralysis (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang