"Devan! Engges atu gak usah gelut." pinta Asep.
Untung kali ini Devan berhasil menahan amarahnya kalau tidak, dia sudah menghabisi temannya itu.
"Minta maaf lo sama Devan!" seru Aris, temannya.
"Dev, gue minta maaf. Gue gak bermaksud nyinggung perasaan lo." kata Robi sambil memohon dengan sangat kepada Devan.
Ya, Devan adalah cowok paling mengerikan di gengnya, meski dia tidak pernah marah dan berkelahi selain kejadian waktu itu. Tapi tetap saja, Devanlah yang paling ditakutkan.
Devan memaafkan Robi, lalu dia pergi meninggalkan ketiga temannya itu."Ami kemana sih?" tanya nya lagi, masih dengan bertanya ke diri sendiri.
Devan melirik jam tangannya, ini sudah waktunya dia pulang.Keesokan harinya dia bertemu dengan Ami, masih seperti hari-hari sebelumnya Ami diantar oleh Ayahnya. Ami pun terlihat buru-buru masuk ke kelas musiknya. Sepertinya dia terlambat hari ini, mana dosennya killer banget.
"Ami, tunggu!" teriak Devan.
Ami acuh, dia terus saja mendorong ban kursi rodanya itu."Ami kok ngejauh dari gue ya? Apa mungkin ayahnya yang nyuruh?" gumam Devan.
Setelah kelas musiknya selesai, Ami pergi ke ruang mekanik. Dia mencari Devan, di sana terlihat dua orang lelaki yang sedang membelakangi Ami.
"Hey! Devan!" panggil Ami. Ternyata benar itu Devan, Ami telah mengenal bagaimana bentuk tubuh Devan dari belakang.
"Ami." sapa Devan kaget, dia sangat senang Ami datang ke tempat mekaniknya.
"Lo dari mana aja?" sambung Devan.
"Maaf ya, kemarin aku gak ke kampus. Aku ikut jemput Erdi soalnya." jawab Ami.
Devan tidak banyak bertanya, dia lanjut meminta nomor telepon Ami. Siapa tahu kalau Ami hilang lagi, dia akan sangat mudah ditemukan.
"Mi, minta nomor telepon lo dong." pinta Devan. Ami merebut gaway milik Devan dan mencatat nomor teleponnya.
"Simpan ya, kalau kangen telepon aja." kata Ami sambil terkekeh geli.
Devan terdiam, apakah ini kode?
"Becanda." sambung Ami.
"Ahhh geer lo Dev!" batinnya berkata.
Lalu Devan mengajak Ami pergi ke kantin bersama, dia memesan banyak makanan untuk Ami terutama ice cream."Lo suka ice cream ya?" tanya Devan.
"Hem, kok tahu?" Ami balik bertanya.
Devan diam, otaknya mencari jawaban yang tepat."Ya tahulah masa tempe." ya, Devan berhasil mengalihkan pembicaraan.
Ami tertawa dan menepuk bahu Devan."Eh besok lo diantar siapa?" tanya Devan.
"Kayaknya diantar Ayah lagi deh, soalnya Erdi belum pulih dari sakitnya. Seandainya aja ada yang bisa gantiin Erdi pasti aku gak harus nyusahin Ayah. Karena katanya dia sering datang terlambat ke kantor." jawab Ami.
Devan terdiam. Dia tahu kalau dia tak mungkin bisa menggantikan sosok Erdi di kehidupan Ami.
"Kok kamu diem?" tanya Ami.
Devan melanjutkan makannya, Ami hanya bergidik ngeri. Udah aneh lagi aja sikap anak ini.Lalu Devan membuka mulutnya, bercerita panjang lebar bahwa dulu, Devan pernah memiliki mobil berwarna biru. Mobil kesayangannya, namun jadi mobil kebenciannya setelah Ibunya meninggal. Bagaimana tidak? Devanlah penyebab Ibunya meninggal, saat hendak mengantar Ibunya ke rumah sakit, Devan menabrak salah satu pohon besar diseberang jalan. Karena dia terlalu terburu-buru mengendari mobilnya. Dan kejadian itulah yang membuat Devan membenci mobil bahkan membenci dirinya sendiri.
"Ooh, aku ngerti." jawab Ami.
"Tapi sekarang gue udah gak benci diri gue sendiri lagi, karena masa lalu gue udah terlewati. Sekarang gue harus fokus mencapai masa depan gue." sahut Devan.
Ami terdiam, dia kembali mengingat masa lalu yang menyakitkan itu.
•••
"Pa, Devan mau belajar ngendarain mobil lagi!" kata Devan dengan sangat tegas. Papanya bingung.
"Devan kenapa? Kok tiba-tiba pengen belajar mobil lagi?" tanya Papanya.
Devan diam, dia mengerti bahwa Papanya tidak mungkin membelikan mobil baru untuknya. Apalagi sekarang keluarga mereka sudah terbilang miskin.
Sejak Ibunya meninggal, Papa Devan depresi berat. Perusahaannya bangkrut, rumahnya disita, bahkan semua fasilitas Devan pun disita dan Papa Devan hampir saja bunuh diri. Namun, Devan menyadarkannya. Beruntung memiliki anak berpikiran jernih seperti Devan.
"Papa bakalan berusaha buat nyari uangnya ya." jawab Gandi dengan lembut.
Devan bukan anak manja, tapi Papanya selalu ingin memberikan hal terbaik untuk anak semata wayangnya itu.
"Gak usah Pa, Devan tadi becanda." jawab Devan.
Gandi mengangguk, dia mengerti kalau anaknya berbohong. Lalu, Devan pergi meninggalkan Papanya. Dia menatap cermin dikamarnya,
"Lo harus bisa ngendarain mobil lagi. Biar lo juga bisa dapetin Ami." Devan berbicara sendiri layaknya orang yang kurang waras. Di balik ambang pintu, Papanya mendengar ucapan Devan."Oh jadi ini alasannya." gumam Gandi dalam hati.
Gandi suka kepada Ami, dia memberikan pengaruh baik untuk anaknya. Karena bagaimanapun juga, sangat sulit membuat anak semata wayangnya ini untuk berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Live in paralysis (Completed)
RomanceAmi, wanita yang hanya memiliki nama dengan tiga huruf itu memiliki masa lalu yang begitu menyakitkan. Masa lalu yang membuat dia kehilangan rasanya berjalan, berlari, bahkan kehilangan bagaimana rasanya mencintai. Namun dibalik ke kekurangannya itu...