"Devan, cepat sini!" perintah Gandi.
Devan menghampiri Papanya dengan terburu-buru, karena dari nada suara Papanya itu menandakan bahwa Papanya butuh bantuan. Namun salah, ternyata setelah Devan membuka gerbang rumahnya dia mendapati sebuah mobil berwarna biru. Devan kaget, apa ini? Mobil?
"Ini hadiah dari Papa, ini mobil bekas tapi masih bagus kok." seru Gandi.
"Hadiah? Hadiah apa Pa? Emang Devan ulang tahun?" tanya Devan.
Gandi tertawa, karena ternyata anaknya lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.
"Kamu masih muda kok pelupa." jawab papanya.
"Pelupa? Emang sekarang tanggal berapa?" tanya Devan.
Devan langsung mengambil gaway di saku celananya. Di sana menunjukkan tanggal 7 Juni. Devan menatap papanya sambil terkekeh malu.
"Tapi kenapa Papa beliin Devan mobil? Padahalkan gak usah, Devan mau setia sama sepeda aja." sambung Devan.
Papanya menatap bangga anak semata wayangnya itu. Karena setelah bangkrut dan tak punya apa-apa, Devan tetap selalu tersenyum. Dia mau menerima ejekan apapun dari teman-temannya, karena menurut Devan hidup itu harus tetap dijalani.
"Besok kamu belajar ngendarain mobil lagi ya. Papa yang ajarin." kata Gandi.
Devan mengangguk bahagia, namun merasa aneh."Dari mana Papa dapet uang untuk membeli mobil mewah ini?" itu yang terbesit dipikiran Devan.
Meski sebenarnya dia masih trauma atau bahkan tak mau belajar mengendarai mobil lagi. Tapi apalah daya, ini demi sang pujaan hati.
Hari ini, Devan pergi ke kampus dengan sepeda birunya. Dia berniat untuk mentraktir teman-temannya begitupun dengan Ami. Dia menelepon Ami, memastikan bahwa Ami ada di kampus. Namun, telponnya tak dijawab.
"Mungkin Ami sibuk." gumamnya.
Ada titik kecewa di hati Devan. Lalu, dia masuk ke ruang mekaniknya untuk menjemput teman kurang warasnya itu."Van euy Van!" panggil Asep.
"Selamat ulang tahun bro!" Robi dan Aris memberi selamat kepada Devan. Devan tersenyum, dia senang teman-temannya tak pernah lupa akan hari ulang tahunnya itu.
•••
"Mi, tugas lo udah selesai?" tanya teman di sebelah bangkunya.
Ami diam lalu memberikan buku yang telah dia isi dengan jawabannya.
"Pusing gue liat buku lo, tulisannya sih emang bagus. Tapi jawabannya terlalu rumit." ucap Shanty sambil mengembalikan buku Ami.
Ami nyengir, menunjukkan sederet gigi putihnya.
"Syukur deh kamu gak nyontek jawaban aku." jawab Ami.Shanty menatap tajam temannya itu, lalu mencubit kecil lengan Ami. Ami pun membalas cubitan Shanty. Dan mereka saling membalas tawa. Shanty adalah satu-satunya mahasiswi yang mau berteman dengan Ami.
Dia sudah menganggap Ami sebagai adiknya sendiri. Mengapa? Karena Shanty memiliki tubuh seperti laki-laki, tegap dan tinggi. Berbeda dengan Ami yang mungil gemas-gemas gimana gitu. Shanty selalu melindungi Ami, ketika Ami dibully atau ketika Ami diganggu oleh teman-temannya yang lain.
Shanty sayang Ami, begitupun dengan Ami yang selalu bersyukur memiliki sahabat seperti Shanty. Karena hanya dia satu-satunya mahasiswi yang mau menemani Ami.
Ami keluar dari kelasnya, dia melihat Devan dari kejauhan yang terlihat sedang mencari sesuatu. Ami pamit ke Shanty untuk menemui Devan dan Shanty pun pamit pulang duluan.
"Devan!" teriak Ami.
Devan menoleh ke tempat Ami berada, lelaki itu tampak senang bisa melihat Ami. Apalagi sekarang Ami sedang tersenyum manis padanya.
"Gue ulang tahun hari ini, lo gue traktir makan ya. Lo harus mau, gak boleh nolak!" ujar Devan.
"Oh kamu ulang tahun. Tapi, maaf ya aku gak bisa ikut buat makan bareng. Aku ada acara keluarga." jawab Ami. Patah, itulah yang dirasakan hati Devan sekarang.
Lalu, Ami melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 15.00.
"Eh aku harus pulang, Ayah pasti udah nunggu di depan. Aku duluan ya." sahut Ami.
Devan hanya mengangguk. Hatinya hancur, sudah ditolak tak diberi ucapan pula. Devan kembali ke kantin untuk mentratik teman-temannya. Devan memang tak memiliki banyak harta, namun selalu murah hati dan selalu berusaha untuk saling berbagi dengan teman di kampusnya itu.
"Datang-datang kok cemberut? Mana cewek lo?" tanya Robi.
Devan diam, tak menjawab. Sudah tahu hatinya galau, Robi masih saja bertanya.
"Kalian makan aja, nanti gue yang bayar." kata Devan. Lalu dilanjut dengan menempelkan kepalanya di meja makan.
Teman-temannya yang sedikit gila itu tak menghiraukan Devan, mereka lanjut memakan hal yang enak dan gratis itu. Devan terus saja terdiam, dia berpikir bahwa Ami memang tak memiliki sedikit perasaan untuknya. Padahal setidaknya dia cukup mengucapkan selamat saja untuk Devan. Namun, ah sudahlah lupakan. Ami tak menyukainya, apalagi kan Devan miskin.
"Bro, lamun lo kalo kangen cewe lo telepon aja atu." kata Asep.
Devan diam, percuma di telepon juga. Gak akan diangkat, Ami kan orang sibuk.
Devan mengambil gawaynya untuk bermain game. Dia tak mempedulikan teman-temannya yang kembali asyik makan setelah di acuhkan oleh Devan barusan.
Pegel nih, lanjut part selanjutnya ya! Jangan lupa vote 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Live in paralysis (Completed)
RomanceAmi, wanita yang hanya memiliki nama dengan tiga huruf itu memiliki masa lalu yang begitu menyakitkan. Masa lalu yang membuat dia kehilangan rasanya berjalan, berlari, bahkan kehilangan bagaimana rasanya mencintai. Namun dibalik ke kekurangannya itu...