Part 1 : Pertemuan Manis

1K 153 70
                                    


Najmi duduk di atas sebuah delman yang dipacu cukup cepat. Di sampingnya ada sebuah wadah yang ditutup rapat dengan kain. Pandangannya asik melihat ke area yang ia lewati.

Matahari yang sudah tinggi menghasilkan hawa panas namun deru angin karena delman berpacu cukup cepat membuat Najmi merasa sedikit sejuk.

Krek!
Delman tiba-tiba oleng lalu berhenti.

"Apa itu, Mang?"

Mang Sobri turun dari delman lalu mengecek keadaan. "Patah, Neng."

"Apanya yang patah?"

"Rodanya, haduh gimana ini, Neng?"

Najmi turun dari delman lalu ikut melihat roda delman yang patah.

"Bisa dibetulin, Mang?"

"Bisa, tapi lama."

"Kalo gitu, saya jalan kaki saja ke pelabuhannya."

"Jangan atuh, Neng. Nanti mamang dimarahin sama juragan."

"Kalau nanti makanan ini terlambat diantarkan, pasti bakal dimarahi juga, Mang."

"Iya, tapi ..."

"Udah, Mamang betulin delmannya dulu aja. Saya ke tempat Abah. Nanti saya yang bicara sama Abah biar Mamang gak dimarahi."

"Terima kasih, Neng."

Najmi mengambil wadah besek yang berisi makanan untuk ayahnya. Wadah itu dilapisi kain berwarna merah marun.

Najmi berjalan diantara lalu lalang orang maupun delman, peluhnya mulai menetes. Di hadapannya terlihat Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal-kapal layar besar kokoh berlabuh. Najmi selalu terkagum-kagum melihat karya manusia yang luar biasa itu.

Dari kejauhan Najmi melihat jelas layar-layar putih besar berkibar dengan lambang Portugis di tengahnya. Ia ingat perkataan Abah bahwa mereka berasal dari negeri yang sangat jauh. Tetapi bagaimana orang Portugis itu Najmi tidak tahu, ia belum pernah bertemu.

Najmi melangkah ke tempat yang makin ramai, ia telah memasuki area Pelabuhan Sunda Kelapa. Berbagai etnis ada di pelabuhan ini. Cina, Arab, India dan penduduk pribumi seperti Najmi.

Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi pusat perdagangan internasional yang dimiliki oleh kerajaan Pajajaran. Gudang-gudang milik para pedagang bejejer rapi di sana termasuk gudang milik ayah Najmi yang merupakan salah satu seorang saudagar pribumi.

Lebih dari sebulan Najmi tidak ke pelabuhan, ternyata pelabuhan semakin ramai. Sambil berjalan Najmi asik memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi.

Para kuli panggul berseliweran membawa berbagai barang di punggung mereka. Tugas mereka mengangkut berbagai barang dari kapal ke gudang.

Bruk!
Najmi  asik melihat ke sana dan ke sini hingga tertabrak seorang kuli panggul yang tergesa mengangkut sebuah karung besar di punggungnya.

"Aww," rintih Najmi yang jatuh terduduk. Kakinya tertimpa barang bawaan sang kuli panggul.

"Maaf," ucap sang kuli panggul lalu berdiri, mengambil barangnya dan pergi. Dia sepertinya tergesa-gesa.

Najmi masih terduduk sambil memegang pergelangan kakinya yang terasa sakit. Wadah makanan untuk ayahnya pun terjatuh. Untung saja sebelum berangkat tadi ia menutupnya dengan rapi hingga kini isinya tidak tumpah.

"Nona, Anda baik-baik saja?" Suara dengan logat yang tak dikenali Najmi jelas terdengar. Najmi menoleh pada asal suara, seorang pria dengan mata berwarna abu-abu dan rambut berwarna coklat menatapnya lembut.

Najmi merasa tersihir baru kali ini ia melihat pria dengan wajah setampan itu. Gadis berusia 17 tahun itu menatap tak berkedip.

Meuni kasep (sangat tampan)

"Hei Nona, apa kamu baik-baik saja?"

"Eungh, baik."

"Bangunlah, Nona, biar saya bantu." Pria asing itu mengulurkan tangannya pada Najmi.

Najmi membenahi ujung-ujung kerudung panjangnya yang terlepas dari bahu. Lalu meraih tangan kokoh itu.

"Aww," ringis Najmi saat berusaha berdiri.

Ia kembali duduk sambil memijat pergelangan kakinya. Pria tampan itu memeriksa pergelangan kaki Najmi.

"Kaki Nona sepertinya terkilir, biar saya obati."

Belum sempat Najmi menjawab, pria tampan berbadan tegap itu menaruh tangan kirinya di punggung Najmi dan tangan kanannya di lipatan kaki Najmi lalu mengangkat Najmi dengan tangan kokohnya.

"Tu ... turunkan saya," Berdebar hati Najmi berada di gendongan pria itu. Wajah keduanya amat dekat bahkan Najmi bisa merasakan hembusan nafas pria itu.

"Biar saya obati dulu,"

"Saya harus ke tempat Abah,"

"Nona tidak akan bisa berjalan dengan kaki terkilir,"

Omongan pria itu ada benarnya, Najmi terdiam. Saat ia mulai berjalan tangan kanan Najmi berpegangan erat pada bahunya yang kokoh. Pria itu tersenyum, senyumannya membuat jantung Najmi makin berdetak cepat tak menentu.

Pria berpakaian tentara Portugis itu berjalan menuju gudang yang paling besar yang dijaga para prajurit Portugis. Mereka menunduk saat Najmi yang digendong oleh pria itu lewat.

Najmi merasa malu dilihat banyak pasang mata, ia menolehkan kepalanya ke ceruk leher sang pria. Aroma wangi dari tubuh sang pria terasa begitu jelas di hidung Najmi, memabukkan.

"Adriano, nama saya Adriano Lopez." ucap sang pria saat menaruh Najmi di sebuah bale panjang.

"Adriano?"

"Ya. Nama kamu?"

"Najmi Fathimah."

"Najmi, nama yang indah. Bintang, itu artinya 'kan?"

"Iya. Aww," Najmi kembali meringis. Tanpa ia sadari Adriano mulai memijit pergelangan kakinya.

***

22Juni 1527Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang