Part 6 : Penangkapan Abah

341 66 27
                                    

Najmi melihat Damar yang baru saja datang entah dari mana. Damar berjalan tergesa sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Najmi lalu kembali melakukan aktivitasnya mengangkat lada yang telah mengering karena hari sudah sore.

Sudah beberapa hari Damar tinggal di paviliun sebelah timur rumah Najmi. Paviliun itu biasa digunakan untuk menginap pegawai Abah. Walau tinggal di area yang sama mereka jarang sekali berkomunikasi. Hanya saling bertatapan dari jauh.

Damar sering kali keluar masuk seperti itu 2 hari ini, Najmi tidak tahu aktivitas apa yang dilakukan Damar di siang hari. Ia hanya tahu setiap malam Damar melatih Abah dan para pegawai bela diri silat.

Najmi terbangun di malam hari, kali ini ia justru terbangun bukan karena ada suara-suara mereka yang berlatih bela diri tetapi Najmi merasa malam ini sangat hening. Ia penasaran kenapa tidak ada latihan beladiri silat lagi.

Najmi turun dari ranjangnya dan berjalan keluar kamar. Sayup-sayup terdengar suara Abah dan Damar bicara lalu pintu depan terbuka, Najmi mengintip lewat jendela. Damar berjalan keluar pagar membawa gembolan yang entah berisi apa.

Kemana Kang Damar tengah malam begini? Bahkan ia tidak membawa obor.

Banyak hal misterius mengenai Damar yang Najmi tidak tahu jawabannya. Ia sungkan bertanya ini itu tentang seorang pria. Kalaupun ia memberanikan diri bertanya pada Abah belum tentu Abah akan memberi jawaban bisa jadi Abah justru akan segera menikahkannya dengan Damar.

~~~

Fransisco de Sa memimpin rapat para petinggi militer Portugis. Di mejanya terbentang sebuah peta bergambar Sunda Kelapa dan sekitarnya. Di sekeliling meja ada 4 orang salah satunya adalah Adriano.

"Pergerakan pasukan dari Kesultanan Demak dan Cirebon telah terlihat, menurut mata-mata mereka telah ada di sini dan di sini." Fransisco de Sa menunjuk beberapa lokasi di peta.

"Dua kesultanan itu bersatu?" Seorang perwira yang berdiri di sebelah Adriano bertanya.

"Ya, untuk mengimbangi kekuatan kita mereka bersatu ditambah lagi warga di sekitar Sunda Kelapa yang ikut memihak mereka."

"Maksud Jenderal?" Adriano penasaran.

"Mata-mata kita telah melihat utusan mereka menginap dan melatih beberapa orang warga pribumi."

"Itu berbahaya sekali Jenderal." ucap salah seorang perwira yang berambut pirang.

"Mereka tidak bisa dibiarkan, kesempatan berkuasa yang diberikan oleh Raja Pajajaran bisa musnah. Kita harus bisa menguasai Sunda Kelapa seperti kita menguasai Selat Malaka."

Tahun 1511 Portugis masuk ke selat Malaka, awalnya mereka hanya berdagang namun belakangan ingin menguasai Selat Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan di kawasan Asia. Mereka berhasil menghancurkan Kesultanan Malaka dan mengelola perdagangan di Selat Malaka untuk kepentingan bangsa Portugis.

"Ya. Karena itu saya sudah mengutus prajurit untuk menangkap para pribumi yang berpihak pada kesultanan Demak dan Cirebon."

Ada rasa tak tenang di hati Adriano, apakah Abah termasuk golongan yang dikatakan Jenderalnya mengingat Abah sangat membenci bangsa Portugis.

~~~

Najmi menyiapkan makan malam, Bi Mirah dan Mang Sobri telah pergi sejak siang tadi. Mereka meminta izin pada Abah untuk menjenguk orang tua Mang Sobri yang sakit.

Nasi, ikan goreng, sambal dan lalapan ditatanya di atas meja makan. Setelah semua siap, Najmi bergegas memanggil Abahnya. Belum sampai ke ruang kerja Abah gedoran di pintu nyaring terdengar.

Siapa yang menggedor? Kenapa bisa melalui pagar depan tanpa terdengar kegaduhan? Itulah pertanyaan di kepala Najmi. Seharusnya sebelum pintunya digedor siapapun yang datang harus melalui pagar yang dijaga anak buah ayahnya.

"Buka pintu!" perintah suara berlogat Portugis dari depan pintu.

Najmi mendekat ke arah pintu lalu membukanya.

Brak!
Baru saja palang pintu dibuka, para prajurit Portugis itu mendorong pintu keras-keras.

"Mana Abah Mansur?" tanya seorang prajurit berwajah bengis.

Najmi tidak segera menjawab, dilihatnya dua orang penjaga gerbang rumahnya telah dilumpuhkan prajurit Portugis.

"Hei Nona, jawab!" bentak Prajurit itu pada Najmi.

"Ada apa ini?!" Abah keluar dengan sarung dan baju kokonya.

"Tangkap pribumi itu!" perintah pimpinan kelompok prajurit itu.

Alarm bahaya di otak Najmi seakan berbunyi. Abahnya dalam bahaya, "Lari Abah!" teriaknya sambil melihat ke arah Abah.

Alih-alih pergi  Abah justru merangsek ke depan  melakukan perlawanan dengan ilmu bela diri yang ia miliki karena khawatir dengan keselamatan putrinya.

Seorang Prajurit Portugis berusaha menusuk Abah dengan senjatanya berupa senapan yang berujung seperti pisau. Abah berhasil menghindar lalu memukul punggung sang prajurit. Datang lagi satu prajurit dengan senjatanya ingin melakukan hal yang sama namun gagal lagi.

Sementara Najmi juga bergelut dengan prajurit yang ada di depannya, sekuat tenaga ia menginjak kaki prajurit itu hingga mengaduh kesakitan . Najmi lalu mendorongnya dan melemparkan sebuah guci keramik yang ada di dekatnya.

Prang!
Guci itu meleset dan pecah berkeping-keping di lantai.

Pria Portugis itu menarik pisau di pinggangnya lalu mendorong Najmi ke dinding. Pisau itu ditaruh tepat di leher Najmi.

"Menyerahlah atau putrimu menghadapi kematian!"

Abah mendengar suara ancaman itu lalu melihat Najmi yang ketakutan dengan pisau di lehernya, sedikit saja bergerak lehernya pasti terluka. Abah mengangkat tangannya tanda menyerah.

"Sebelum kalian membawa saya katakan apa salah saya?"

"Bekerja sama dengan utusan dari kesultanan Demak dan Cirebon,"

Abah paham dengan maksud perkataan mereka, ini pasti terkait Damar. "Sebentar lagi kalian akan musnah, terusir dari negeri kami." Abah menyeringai.

"Bawa Abah Mansur!" Pemimpin para prajurit itu memberi perintah. Dua prajurit memegang lengan Abah dan menarik paksa.

"Hentikan! Jangan bawa Abahku!"

Para prajurit tidak peduli protes Najmi. Pisau yang ada di lehernya pun dilepas setelah Abahnya keluar dari rumah.

22Juni 1527Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang