Part 4 : Utusan Sultan

477 82 56
                                    


Wajah Najmi pucat seketika melihat sang Abah berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam dan tangan mengepal.

Ya Allah habislah aku

Najmi yang sangat tegang berkebalikan dengan Adriano yang tetap santai. Bagi Adriano kedatangan Abah justru kesempatan baginya untuk menyampaikan isi hatinya.

"Hei, Portugis!" sentak Abah pada Adriano yang tersenyum.

"Nama saya Adriano, Abah." ucap Adriano ramah.

"Siapapun namamu, kamu orang Portugis," Abah menatap sinis pada Adriano.

"Sou portugues mas gosto deste pais,"

"Bicara apa kamu?"

"Saya memang Portugis tapi saya suka negeri ini."

"Portugis pandai bicara, seperti kamu dan punya maksud terselubung. Untuk apa kamu ke sini? Mendekati Najmi?"

"Saya kesini atas perintah Jenderal Fransisco de Sa untuk melihat panen lada yang dijanjikan oleh Raja Pajajaran. Raja berjanji memberi kami 1000 karung lada."

Merasa tak pernah dikabari tentang hal ini, kening Abah mengernyit. Raja Pajajaran tidak pernah memerintahkan dirinya untuk menyerahkan hasil panennya pada bangsa Portugis.

"Kamu berbohong! Saya belum pernah mendapat titah Raja untuk menyerahkan hasil panen ini pada bangsa Portugis."

"Tidak lama lagi, Raja akan mengirim utusan. Semua hasil panen lada harus diserahkan pada kerajaan dan kerajaan akan menyerahkan lada itu pada kami."

"Itu hanya alasan kamu saja, kamu ke sini ingin bertemu Najmi bukan?"

"Saya tidak menduga akan bertemu Najmi di sini."

"Orang-orang Portugis pandai menutupi niat sebenarnya," sindir Abah.

"Saya bersyukur bertemu di sini. Saya suka Najmi,"

"Najmi putri saya, jauhi dia. Seorang Portugis tidak pantas untuk Najmi!"

"Ckckck, saya akan buktikan kalau saya pria terbaik untuk Najmi."

Mendengar ucapan Adriano membuat Abah naik pitam. Dikeluarkannya bendo yang ada di pinggang kiri dari sarungnya. Lalu ditempelkan di leher Adriano.

"Jauhi Najmi atau nyawa kamu taruhannya! Sekarang pergi dari sini sebelum saya hilang kesabaran!" ancam Abah dengan nada datar dan dingin.

"Baiklah, saya pergi. Tapi saya bisa pastikan suatu saat nanti Abah akan menyerahkan Najmi pada saya."

Najmi yang menyaksikan semua itu tak bisa berkata apa-apa. Baru kali ini ia melihat kilatan amarah yang begitu berkobar di mata ayahnya.

_____

Kejadian di kebun lada membuat Najmi semakin dikurung. Ia sama sekali tidak diperkenankan keluar rumah untuk kepentingan apa pun. Abah mengancam para pegawai yang bekerja di rumahnya jika berani membantu Najmi keluar.

"Assalamualaikum," Suara seorang pria sayup-sayup terdengar di telinga Najmi. Ia berhenti menyendokkan kerak telor yang masih mengepul di depannya.

Mang Sobri yang sedang memisahkan lada yang sudah matang (berwarn merah) dengan lada yang masih muda (berwarna hijau) bergegas menuju ke pintu gerbang. Dari balik pintu Najmi mengintip.

Seorang lelaki dengan memakai baju salontreng dan celana pangsi berwarna hitam-hitam masuk. Setelan baju salontreng dan celana pangsi ini kerap kali disebut baju pangsi oleh masyarakat. Najmi sering melihat Abah memakai baju sejenis hanya saja pria ini memakai ikat kepala berwarna biru sementara sang Abah memadukannya dengan kopeah.

Mang Sobri mengantarkan pria itu ke ruang khusus yang biasa dipakai Abah menjamu tamu penting.

Begitu Mang Sobri kembali menekuni kegiatannya Najmi mendekat. "Mang itu siapa?"

"Tamunya juragan."

"Iya tapi siapa?" tanya Najmi sambil ikut membantu Mang Sobri dan pegawai lain memilah lada.

Setelah lada-lada ini terpisah. Buah lada yang berwarna hijau (belum masak di pohon) akan direbus lalu dijemur yang kemudian menjadi lada hitam. Sementara buah lada yang berwarna merah (sudah masak di pohon) akan direndam beberapa hari sampai kulitnya mengelupas lalu dikeringkan dan jadilah lada putih. Harga lada putih jauh lebih mahal dari pada lada hitam.

"Mamang juga kurang tau, Neng. Dia bilang dari Cirebon."

"Jauh ya, Mang. Pantes Najmi belum pernah lihat."

"Kenapa Neng? Ganteng ya Kang Damar?"

"Kang Damar?"

"Iya, nama orang itu Damar."

"Owh, Kang Damar." Najmi mengangguk-angguk.

"Neng," panggil bi Mirah dari belakang Najmi.

Najmi menoleh, "Kenapa, Bi?"

"Juragan nyuruh Eneng anterin minum buat tamu,"

"Tumben, biasanya 'kan bi Mirah."

"Gak tau tuh, udah Neng ke sana gih. Bibi udah buatin minumnya di meja dapur, tinggal bawa."

"Iya."

Najmi melangkahkan kakinya ke dapur, dilihatnya minuman yang sudah siap diantar ke depan di atas meja. Sebelum membawa minuman itu, Najmi merapikan kebaya, kain dan kerudungnya.

Sambil menunduk, Najmi masuk ke ruangan tempat Abahnya berbincang bersama Damar.

"Damar, kenalkan ini putri abah satu-satunya. Namanya Najmi." Najmi mengangkat kepalanya melihat sosok Damar . Pria berkulit sawo matang dan bermata tajam itu tersenyum. Najmi mengangguk.

"Najmi, Kang Damar ini utusan dari kesultanan Cirebon. Dia yang akan membantu Abah."

Untuk apa Abah dibantu seorang utusan dari kesultanan Cirebon? Pertanyaan itu ada di benak Najmi.

"Damar, usia Najmi lebih muda lima tahun dari kamu dan putri Abah ini belum menikah. Kamu juga belum menikah 'kan?"

Ucapan Abah ini sama saja mengumumkan pada Damar bahwa ia sedang mencari suami untuk Najmi.

"Iya, saya belum menikah." jawab Damar sambil menatap ke arah Najmi. Mendapat tatapan tajam seorang pria Najmi menunduk.

"Pas lah," Abah bicara sambil terkekeh.

Apa Abah mau menjodohkan aku dengan Kang Damar?

22Juni 1527Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang