"Sekarang, tugas kamu itu hanya melepaskan." Kata psikolog yang menangani diriku selama sebulan kebelakang. Hatiku terus berkata agar hal tersebut tidak kulakukan. Wajar saja, semua yang terjadi saat ini merupakan akibat dari keburukanku di masa lalu. Jika aku pikir lagi, betapa bodohnya aku waktu meninggalkan dia begitu saja.
Saat ini, aku berada di dalam sebuah kafe yang didominasi berwarna putih. Kafe ini terletak di lantai satu perpustakaan pusat Universitas Indonesia. Dari dalam sini, terlihat Danau Kenanga yang dilalui sedikit orang. Terdapat mahasiswa asing dan orang umum yang sedang mencari ketenangan, atau mungkin hanya bersantai menghabiskan waktunya di kafe ini. Kafe ini dilapisi kaca yang bertuliskan "Javaroma" dengan stiker transparan yang sepertinya menggambarkan nama kafe ini. Stiker transparan ini terlihat seperti hiasan dari jawa. Ah sudahlah, aku tidak terlalu ambil pusing dengan makna stiker yang menempel di kaca kafe ini. Pikiranku sudah cukup terbebani dengan kehidupan asmaraku.
Begitu masuk dari pintu depan, keramahan kasir langsung menyambutku dengan hangat. Harga menu di sana cukup mahal, hanya saja tidak semahal kafe yang dulu berdiri disini. Aroma kopi di kafe ini cukup menyengat. Aku memang bukan pencinta kopi yang mengetahui perbedaan jenis-jenis kopi. Namun aku tahu jelas bahwa ini adalah aroma kopi. Beberapa meja panjang yang diiringi sofa dan meja bundar yang diiringi kursi besi bercat putih dengan hiasan berwarna kayu disana tidak terisi di pagi hari ini. Padahal, sofa yang terletak di sana seakan memanggil orang yang lalu-lalang untuk duduk sejenak di kafe ini, begitu pula dengan kursi yang memiliki bantal dengan warna putih dihiasi cokelat kayu. Lantunan musik-musik pop yang cenderung bertempo lambat tak jarang membuatku semakin sedih, gelisah dan bimbang untuk memutuskan untuk melepasnya atau tidak. Segelas green tea latte yang telah dipesankan oleh psikologku membuatku merasa lebih tenang.Bersama dengan sebuahbrownies cokelat,aku berdiskusi dengan psikologku yang memang sedang menjalani studi magister di Universitas Indonesia. Aku hanya bisa terduduk diam dan tenggelam di dalam empuknya sofa yang aku duduki saat ini.
"Jadi, kamu mau lepas atau engga?" Tanya psikologku.
"Tidak mbak. Aku tetap pada pendirianku yang akan terus menunggu dia. Yah meskipun tau dia bakal susah untuk menerima aku lagi, tapi ya tidak ada salahnya kan mencoba?" Psikologku tersenyum.
"Yasudah, yang penting kamu tahu resikonya?"
Aku hanya mengangguk mantap dan menghabiskan green tea latte milikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Tentang Dia
RomanceSudah 2 tahun lebih aku dibenci. Sekarang aku hanya berharap untuk kembali. Sedikit kenangan tentang kita yang pernah ada.