Dua tahun lalu, aku mengirimkan pesan kepada De. "Kamu dimana?" tanyaku. De adalah kekasihku kala itu. Seorang wanita berkulit putih dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dengan rambut sepunggungnya yang khas. Tidak kusangka, ternyata dulunya ia memiliki rasa yang mendalam untukku yang biasa dimirip-miripkan dengan oli tumpah yang hitam dan kotor.
"Aku di tempat kesukaan kita. Coba kamu tebak. Kalau kamu benar, nanti aku cium." Pesan tersebut masuk ke telepon genggamku. Tanpa membukanya, aku langsung menuju tempat yang dimaksud oleh De.
Aku melihatnya dari kejauhan. Kupeluk ia dari belakang secara tiba-tiba.
"Aku tahu ini kamu, sayang." katanya. Aku menjulurkan kepalaku ke samping badannya. Langsung kulepas badannya dan memberikan kode untuk mencium bibirku. Ia menggeleng, namun kemudian mencium pipiku hingga nampak bekas lipstik merah muda yang sering sekali digunakan oleh De.Kita bertukar cerita kuliah kita di hari itu. Aku memiliki banyak kelas kosong dan memilih untuk tidur di salah satu gedung, sedangkan ia cukup pusing dengan mata kuliah di jurusannya yang termasuk 3 program studi tersulit di tempatku berkuliah.
Klaster, akronim dari kelas terbuka. Bagiku, lebih tepat menjadi taman. Klaster terletak di samping jembatan yang menghubungkan fakultas teknik dan fakultas ilmu pengetahuan dan budaya. Jika turun lagi dari klaster, akan ditemukan danau Mahoni. Dari Klaster ini, terlihat gedung Pusgiwa (pusat kegiatan mahasiswa) yang bentuknya cukup modern.
Tempat ini menjadi saksi betapa indahnya hubungan antara aku dengan De (yang menurutku merupakan wanita tercantik nomor dua. Nomor satunya tetap saja ibuku). Di sanalah kami berbaring bersama, makan siang bersama, menatap indahnya langit sore sambil sesekali mencubit pipinya yang merah itu atau bahkan memainkan rambutnya yang cukup panjang itu. Badanku yang berat ini seringkali ditopang oleh sejuknya rerumputan yang ada di Klaster. Tapi tidak dengan kepalaku yang berbaring di pangkuan De. Rumput di sini memang terlalu nyaman untuk ditiduri. Tak jarang, rumputnya juga basah karena hujan bekas malam sebelumnya. Aroma natural yang susah sekali dicari di tengah kota Depok yang sumpek dan banyak polusi ini menjadi poin tersendiri di Klaster ini. Bahkan aromanya masih sering kali tercium di hidungku ketika aku kesana.
Siang ini, aku berada di Klaster untuk sekadar menikmati makan siang yang aku bawa dari rumah. Walaupun panasnya siang di Klaster cukup menyengat, hal itu tetap membuatku bertahan hingga saat ini.
Aku benar-benar melihat sosok De di Klaster siang ini. Ia terlihat sangat manis seperti biasanya. Suara tawanya yang khas serta rambutnya yang cukup panjang membuatku mengetahui bahwa ia benar-benar De, bukan diriku yang berhalusinasi. De ada di sana, di bawah pohon yang selalu memberikan kesejukan kepada aku dan De yang tengah tertidur di Klaster.
Hanya saja, aku tak pernah berani memeluknya lagi. Kesalahan yang aku buat terakhir kali membuat ia pergi dan tak kembali hingga saat ini. Tak ada tempat untuk merebahkan kepala, tak ada lagi cubit-cubitan, tak ada lagi obrolan-obrolan ringan di sore hari, atau sekedar ciuman-ciuman kecil yang kuberikan kepadanya. Sekarang, tempat ini masih menjadi rutinitasku. Hanya saja, ada yang hilang dari rutinitasku ini. Yaitu, De.

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Tentang Dia
RomanceSudah 2 tahun lebih aku dibenci. Sekarang aku hanya berharap untuk kembali. Sedikit kenangan tentang kita yang pernah ada.